IBL

Kami di Mainbasket selalu menyukai basket Indonesia. Bahkan boleh jadi lebih suka daripada NBA. Kami ingin melihat basket Indonesia maju. Prestasi dan industrinya (tentang industrinya, semoga nanti bisa kita bahas di tulisan berbeda).

Setiap menyaksikan laga-laga IBL atau timnas Indonesia, bahkan di level pelajar (DBL), kami senang ketika menemukan bakat-bakat baru yang bisa sangat jago di masa depan. Kami mengagumi gerakannya, kami mengagumi semangatnya.

Selain senang menemukan bakat-bakat baru, kami juga memperhatikan kekurangan-kekurangan. Kenapa seorang pemain melakukan gerakan tertentu atau tidak melakukan gerakan tertentu. Kenapa seorang pemain tidak terlihat jago seperti biasanya. Dan pastinya, kenapa timnas kita kalah ketika kalah.

Ketika timnas kalah, atau bahkan salah satu tim IBL kalah, kami pastinya akan menyoroti satu-dua pemain atau lebih yang performanya tidak memuaskan. Dulu, sekali lagi, dulu, pertanyaan-pertanyaan atau pernyataan-pernyataan berikut ini kerap kami lontarkan ketika atau setelah menyaksikan timnas atau tim-tim IBL berlaga.

“Kenapa dia tidak melakukan boxout?”

“Kenapa ia gampang sekali dilewati? Kenapa ia tidak menjaga lawannya?”

“Kenapa ia tidak langsung menembak saja?”

“Kenapa ia melakukan foul itu?”

“Ia seharusnya tidak terjebak di aturan 8 detik!”

“Kenapa ia tidak lewati saja pemain lawan itu? Padahal gerakan lawannya lamban!”

“Kalau saja kita bisa masukkan 40 persen tembakan, kita bisa menang. Tadi hanya 30 persen.”

“Sayang banget tembakan gratis hanya masuk 60 persen.”

..dan sebagainya.

Pertanyaan-pertanyaan dan pernyataan-pernyataan serupa kerap berulang. Setiap tahun. Saat timnas berlaga setiap tahun di berbagai ajang. Setidaknya satu, dua, bahkan lebih dari daftar pertanyaan-pernyataan di atas akan terlontar.

Sampai pada satu titik, kami menyadari sesuatu. Ini penting: pemain kita bukan tidak mau melakukan hal-hal yang benar. Tetapi mereka tidak tahu bahkan tidak punya kemampuan untuk melakukan itu. Seperti tulisan gw sebelumnya, kita harus dengan rendah hati mengatakan bahwa level kemampuan bermain basket kita rendah, bila tak ingin dikatakan jelek sekali.

Dari sana, bersama-sama kita harus berupaya memutus rantai menggulung yang kelihatannya terus berulang ini. Setidaknya selama belasan tahun ketika gw intensif mengikuti perkembangan basket Indonesia.

Tahun 2010, ketika musim perdana NBL Indonesia akan dimulai, panitia liga terlebih dahulu memulai sebuah kamp pelatihan. Sebanyak 40 pemain di bawah 25 tahun berkumpul di GOR C-Tra Arena Bandung untuk berlatih bersama. Beberapa pemain masih bermain di IBL hingga musim ini.

Mereka berlatih di sebuah ajang bernama Indonesia Development Camp 2010. Kamp ini bertujuan menyiapkan para pemain muda untuk memasuki level kompetisi profesional dengan bekal yang cukup baik. Alasan lainnya, musim kompetisi sempat vakum beberapa bulan. Kasarnya, ini ajang pemanasanlah! Dengan cara berlatih bersama.

Dalam Indonesia Development Camp (IDC), hal-hal yang dilatih kelihatannya sangat sederhana. Fundamental. Dasar-dasar bermain basket. Bermain basket yang benar tapinya.

Bersama pemain legendaris Seattle Supersonics Detlef Schrempf dan staf pelatih Toronto Raptors Jama Mahlalela, 40 pemain yang terpilih berlatih hal-hal yang sangat-sangat mendasar. Saking mendasarnya, beberapa pelatih yang ikut mengamati sampai ada yang berkomentar, kurang lebih, “Wah, begini saja? Biasa banget yaak.”

Memang “biasa banget”. Namun perlu diketahui, seperti kata Jama waktu itu, paket latihan serupa adalah paket yang juga rutin ia berikan atau dilakukan oleh Chris Bosh dan kawan-kawannya di Toronto Raptors. “Para pemain NBA, yaa latihannya begini,” begitu kurang lebih kata Jama waktu itu. Jama kini menjadi asisten pelatih di Golden State Warriors.

Para pemain harus mengikuti beberapa pos latihan fundamental. Mengasah kemampuan box out, satu lawan satu, shell drill defense, pick and roll, shooting, passing, bahkan triple threat, dan lain sebagainya. Dari luar, memang kelihatan biasa saja atau begitu-begitu saja. Namun, gw yang ikut terlibat waktu itu, tahu dan merasakan ada satu hal yang sangat-sangat berbeda. Yaitu:

Perhatian terhadap detail.

Waktu itu, latihan akan dihentikan bila para pemain keliru menjalankan instruksi. Kekeliruan sekecil apapun bisa membuat latihan dihentikan. Misalnya, ketika seorang pemain akan memutar badan untuk melewati lawan, hanya karena langkah kakinya kurang lebar, maka latihannya berhenti dan diulang dari awal. Misalnya lagi, pada praktik teknik pick and roll, hanya karena pemain yang melakukan pick atau screen kurang menempel ke lawan, maka rangkaian latihannya akan diulang. Hanya karena, pelantun bola tidak menyisir menempel kawannya yang melakukan screen, maka rangkaian latihannya disetop dan diulang. Pelantun bola terlalu melebar, diulang. Hanya karena, nah, ini terdengar sederhana, namun percayalah, hanya karena ini tidak dilakukan, rangkaian latihannya bisa diulang: hanya karena si pemain yang akan melakukan screen tidak memberi kode sebelum rangkaiannya dimulai, maka rangkaian latihannya disetop dan diulang. Kode untuk melakukan screen dalam paket pick and roll adalah kepalan tangan. Kode umum. Hanya karena pemain yang melakukan screen keliru memutar badan setelah si pelantun bola melewatinya, maka rangkaiannya diulang. Itu baru pada sesi pick and roll. Belum pada sesi-sesi lainnya. Pengulangan demi pengulangan terus dilakukan. Hingga para pelatih merasa bahwa drill yang dilakukan sudah sempurna.

Salah satu favorit gw lainnya adalah shell drill. Sebuah paket latihan bertahan. Penyebab pengulangannya bisa sangat sederhana, namun bisa fatal bila diabaikan. Hanya karena pemain yang berhadapan dengan pelantun bola tidak berteriak, “Bola! Bola! Bola!”, maka latihan bisa dihentikan, diulang. “Bola! Bola! Bola!” Setiap pemain, yang berhadapan dengan pembawa bola wajib meneriakkan ini. Bila tidak, atau sekadar tidak terdengar, maka latihan diulang.

Teriakan “Bola! Bola! Bola!” adalah yang pertama. Ada teriakan-teriakan tambahan. Setiap pemain harus memberi informasi tentang hal-hal penting yang sekiranya memang wajib dikabarkan. “Switch!” atau “No switch!” wajib dikatakan bila pemain sedang satu lawan satu dengan lawan dan ia kiranya membutuhkan pergantian penjagaan atau tidak. “Help!” Wajib diteriakkan, ketika sekiranya si penjaga membutuhkan bantuan penjagaan, atau posisi di belakang pemain penjaga bola harus segera diisi. Bila para pelatih menangkap ada yang tidak teriak padahal ia seharusnya berteriak mengabarkan situasi, maka latihan diulang. Begitu terus.

Alhasil, lapangan jadi riuh. Adrenalin akan tambah naik. Melelahkan.

“Bola! Bola! Bola!”

Switch!”

No switch!”

“Ada gue! Ada gue!”

Help!”

“Bola! Bola! Bola!”

“Tutup kanan! Kirinya lemah!”

Dan sebagainya. Ramai. Intinya, kita sudah tahu bersama: membangun kebiasaan komunikasi. Yup, bahkan dari latihan shell drill di mana hal utamanya adalah koordinasi saat bertahan, ternyata juga berujung berlatih membangun komunikasi. Tak henti bicara. Melelahkan. Pastinya. Dan itu masuk ke dalam ranah yang detailnya harus dijaga. Hanya karena pemain, lupa atau kelelahan hingga tak mengatakan sesuatu dengan lantang padahal ia seharusnya melakukan itu, maka latihan dihentikan. Diulang.

Percaya gak percaya, pada kamp pelatihan ini, form cara menembak, cara mengoper bisa dikoreksi oleh para pelatih bila keliru. Demi mendapatkan form terbaik.

Para pemain muda yang tadinya seolah sudah siap memasuki kompetisi profesional bak mobil tua masuk bengkel. Banyak yang harus diperbaiki.

Banyak. Banyak sekali perhatian terhadap detail yang diterapkan. Dari luar, sekali lagi, memang hanya terlihat sebagai latihan biasa. Namun di dalam, perhatian pada detail dan kesetiaan untuk menjalaninya menjadi pembeda. Bila tak dilakukan, akan ketahuan mana yang akan berkembang dan mana yang akan stagnan. Godaan untuk kembali ke kebiasaan lama setelah kamp tentu saja sangat besar, karena dampak dari kamp ini bukanlah serta-merta. Dibutuhkan konsistensi dan disiplin dan memori yang baik terhadap materi-materi yang benar untuk bisa akhirnya merasakan dampaknya.

Indonesia Development Camp kembali dilaksanakan pada tahun 2011. Kali ini tujuannya berbeda. Persiapan tim nasional menghadapi SEA Games 2011 di Jakarta. Pesertanya terbatas. Hanya calon-calon pemain tim nasional yang ikut. Para pemain senior. Salah satu pelatih yang hadir adalah Ron Harper, juara NBA lima kali. Tiga kali bersama Bulls, dua kali bersama Lakers. Ron juga sempat menjadi asisten pelatih di Detroit Pistons selama dua tahun setelah karir sebagai pemainnya selesai.

Setelah 2011, IDC tak ada lagi.

Demi kemajuan basket nasional, kamp semacam IDC di tahun 2010 dan 2011, gw rasa menemukan signifikansinya di masa kini. Ia bisa jadi salah satu solusi untuk meningkatkan kualitas pemain-pemain Indonesia. Bentuknya tak harus sama dengan yang tahun 2010 atau 2011. Bahkan ada yang harus dievaluasi. Namun hal penting yang harus ada adalah ia harus dipandu oleh para pelatih andal yang berasal dari negara-negara dengan level basket terbaik di dunia. Bisa dari Amerika Serikat (NBA), Australia (NBL Australia), atau negara-negara dengan kualitas basket terbaik lain dari benua eropa. Mereka punya ilmunya.

Proses pembuatan atau pelaksanaan kamp sejenis IDC pun bukan hanya seminggu dalam setahun. Ia harus jadi salah satu bagian saja dari rangkaian panjang program pembenahan peningkatan kualitas para pemain profesional Indonesia. Apa saja yang harus ada di dalam rangkaian program tersebut?

Gw mencoba menyarikan.

Pertama, harus ada panitia kecil. Panitia kecil, mungkin maksimum lima orang saja yang bertugas memetakan kualitas para pemain yang saat ini ada di IBL. Mereka sudah harus bertugas jauh sebelum kamp nantinya dimulai. Isinya, beberapa pelatih, baik dari Indonesia, maupun dari luar negeri yang nantinya akan bertugas di kamp.

Pada saat kompetisi IBL berjalan, panitia kecil ini harus menyaksikan langsung semua laga. Menyaksikan kembali rekaman-rekaman pertandingan. Mereka harus melihat dan bisa menangkap kekurangan-kekurangan para pemain Indonesia. Kekurangan-kekurangan yang tak kasat mata orang-orang awam.

Awalnya bisa saja berbentuk pertanyaan-pertanyaan. Misalnya saja, kenapa saat bertahan, para pemain kita gemar sekali mencoba memukul bola di tangan lawan, alih-alih hanya mengangkat tangan dan menjaga diri dari peluit wasit tetapi tetap kokoh menjaga lawan? Kenapa pada transisi bertahan, para pemain kita sering menabrak pelantun bola, alih-alih hanya menempel ketat tanpa melakukan foul? Kenapa para pemain kita banyak yang malas boxout? Pada saat menyerang, kenapa masih ada pelantun bola yang bergerak mundur atau ke samping padahal tak ada yang menjaga, alih-alih melakukan penetrasi lurus ke arah ring? Kenapa masih banyak yang melakukan “kickout” padahal ring sudah ada di depannya dan relatif tak ada penjagaan? Kenapa buanyak sekali yang masih keliru melakukan tahap-tahap pick and roll, padahal banyak serangan berbahaya bisa dimulai dari sini? Kenapa masih banyak tim yang memutar-mutar bola tanpa sadar bahwa waktu 24 detik sudah habis? Dan sebagainya.

Oleh karenanya, panitia kecil ini harus paham betul teknik-teknik basket sampai tetek-bengeknya. Fundamental maupun lanjutan. Ia mampu menemukan kekeliruan-kekeliruan kecil yang kerap atau seriing terjadi di lapangan basket IBL. Gw rasa, banyak di Indonesia yang mampu melihat ini. Bedanya, berapa banyak yang peduli untuk segera mengoreksinya. Bedanya lagi, apakah ada atau tidak yang mampu melakukan koreksi. Itulah mengapa dibutuhkan sosok-sosok asing dari negara-negara yang level basketnya jauh di atas kita.

Nah, setelah panitia kecil ini memetakan hal-hal yang harus dibenahi, mereka kemudian menyarikan, mana saja yang tingkat urgensinya cukup tinggi untuk dibenahi, untuk kemudian dibuatkan formula atau paket latihan untuk kamp nantinya.

Hal lain yang tak kalah penting untuk dilakukan oleh panitia kecil ini adalah mencari siapa saja yang harus ikut dan wajib ikut serta. Syukur-syukur kalau bisa semuanya. Bila tidak, tentukan skala prioritas. Tolok ukur usia barangkali bisa diterapkan. Hanya yang muda-muda saja.

Sekali lagi, menemukan pelatih-pelatih dari negara asing dengan level kualitas basket yang jauh lebih tinggi daripada kita adalah sangat penting. Seperti pada tulisan gw sebelumnya, kita sebaiknya, atau harus mengakui bahwa level basket kita rendah. Kita harus belajar kepada yang lebih pintar. Sedikit intermeso di paragraf ini, pernah gw berbicara dengan salah seorang pelatih tim nasional. Ia dulu mantan pemain yang sangat piawai dan mantan pemain nasional. Ia mengakui mudah melihat kekurangan pemain-pemain yang ia tangani. Namun ia tidak tahu bagaimana cara untuk membenahinya. Begitulah. Penting untuk ada pelatih asing yang mengerti. Dari NBA, NBL Australia atau EuroLeague-lah!

Pekerjaan panitia kecil tidak selesai setelah kamp selesai. Langkah selanjutnya setelah kamp adalah memastikan bahwa apa yang diberikan di kamp terus berlanjut di level klub masing-masing. Harus ada mekanisme yang baik untuk memastikan bahwa materi-materi kamp juga dipraktikkan terus oleh para pesertanya ketika kembali ke klub. Bila perlu, ada sanksi bila pemain melupakannya. Komitmen ini harus disepakati dari awal (walau ini cukup sulit dalam pengaplikasiannya). Mengharapkan bahwa pemain akan disiplin atau sukarela mengulang apa yang didapat di kamp bisa jadi tantangan tersendiri.

Proses ini kemudian diulang lagi pada musim kompetisi berikutnya. Panitia kecil menyaksikan IBL terus-menerus, mencari kebutuhan untuk dibenahi, menjalankan kamp yang benar, memastikan pengulangan di level klub, menyaksikan IBL lagi, begitu seterusnya. Tak berhenti. Sebuah program jangka panjang. Kalau perlu, tak putus-putus. Bertahun-tahun.

Apa yang bisa diharapkan dari proses atau kamp ini?

Bagi gw, sederhana. Di level tim nasional, kita mulai bisa menikmati para pemain kita “hustle” saat bermain. Hustle dalam bentuk bekerja keras karena memang tahu apa yang harus dikerjakan dan bisa mengerjakannya. Mereka mampu menjaga ketat pemain asing lawan. Mampu berjibaku merebut rebound lewat duel boxout yang bahkan kerap dimenangkan. Mampu melantun bola dengan tenang nan aman tanpa bisa direbut lawan. Mampu melakukan penetrasi berbahaya lurus ke arah ring dan mencetak poin. Mampu mengambil keputusan-keputusan kapan menembak, kapan menjaga tempo, bahkan kapan harus melakukan foul. Tidak lagi sembarangan. Mampu menjaga penguasaan bola dengan turnover yang sangat-sangat sedikit, dan sebagainya, dan sebagainya.

Gambaran serupa pun tergambar di level profesional atau IBL. Permainan jadi indah dan lezat untuk dinikmati. Tak ada lagi atau sedikit sekali pemain yang berusaha memukul tangan lawan yang memegang bola. Variasi serangan jadi beragam karena teknik-teknik mendasar sudah dikuasai dengan benar. Tak ada lagi “broken play” di mana pemain-pemain terlihat kebingungan mau ngapain setelah rencana pertamanya gagal. Tidak ada lagi yang tak sadar bahwa waktu 24 detik akan habis namun timnya tak juga segera melepaskan tembakan. Dan lain sebagainya.

IDC 2010 dan 2011 tidak sempurna. Indonesia bahkan hanya meraih perunggu di SEA Games 2011. Banyak aspek harus dielaborasi. Faktor-faktor penting yang sangat berpengaruh tetapi tidak terlihat harus dideteksi untuk ditemukan cara-cara untuk memperbaikinya.

Misalnya saja, kekuatan dan kecepatan pemain. Sebuah teknik dasar yang benar sangat mungkin tidak terksekusi dengan baik di lapangan karena fisik si pemain tidak mendukung untuk melakukan itu. Badannya tidak bertenaga, stamina tidak mendukung, misalnya. Ini juga nanti nyambung ke pola makan para pemain. Pola pengaturan gizi yang tepat bagi para pemain. Program ini harus menyeluruh. Yup, pekerjaan panitia kecil ini tidak kecil. Besar sekali.

Berat? Berat. Proses panjang? Sangat panjang. Makanya harus segera dimulai. Bila tidak, 20 tahun lagi mungkin tulisan ini masih akan selalu relevan dan signifikan. Jadi tulisan klasik. Hahaha.

Mahal? Nah ini, pastinya akan mahal. Namun dengan latar belakang sosok-sosok di balik Perbasi yang cemerlang, IBL yang bertabur sponsor, kalangan pengusaha di balik klub-klub peserta IBL bahkan klub-klub amatir, rasanya masalah mahal ini akan dengan mudah menemukan jalan keluar.

Kita harus segera mulai. Atau paling tidak, mulai mempertimbangkan ini. Karena kalau tidak, ya akan begini-begini saja. Mungkin selamanya.(*)

Foto: Hari Purwanto dan Ariya Kurniawan.

Komentar