IBL

Pengurus Pusat Perbasi tak pernah berhenti berinovasi. Gebrakan demi gebrakan dilakukan Perbasi untuk terus memperbaiki mutu basket Indonesia. Terbaru, Perbasi melalui pengumuman resmi mengabarkan bahwa akan ada seleksi pencarian 15 pemain di kelompok usia 13 sampai 18 tahun untuk dikirim ke Lituania. Sebanyak 15 pemain ini nantinya akan berlatih di Lituania selama enam bulan. Tahapan paling awal dari program ini adalah pencarian 100 pemain dari 14 kota yang sudah dipilih oleh Perbasi. Satu lagi syarat yang diberikan Perbasi adalah tinggi minimal di angka 180 sentimeter. 

Program yang disebut akun instagram @official_timnasbasket sebagai program spektakuler ini adalah hasil dari rencana kerjasama yang dibangun Perbasi dengan federasi basket Lituania beberapa waktu lalu. Jajaran pengurus Perbasi berkunjung ke Lituania untuk bertemu dan melihat pengembangan basket di sana. Hasil dari kunjungan tersebut adalah melakukan seleksi yang sudah tertulis di paragraf pembuka. Sekali lagi, ini program yang sangat spektakuler. 

Meski tampak spektakuler, seperti program-program sebelumnya, Perbasi tidak menjelaskan apa tujuan program ini. Bahkan, saat Perbasi mengeluarkan video di mana Ketua Umum Danny Kosasih berbincang dan menjelaskan program ini, pertanyaan atau penjelasan tentang tujuan dari program ini tetap tidak ada. 

Mengapa ini penting? Bagi kami, karena jelas usia para pemainnya. Usia 13-18 tahun. Jika sudah terpilih 15 nama yang ke Lituania, berlatih di sana, kembali setelah 6 bulan, lantas apa yang akan mereka lakukan di sini? Apakah mereka akan masuk tim nasional? Apakah 15 nama ini adalah program pembentukan tim nasional kelompok umur? Kalau bukan kelompok umur, apakah tim nasional senior? Apakah tim nasional senior akan diwakili pemain berusia 15 tahun? Apakah mereka yang akan mewakili Indonesia di berbagai ajang? Saya bisa terus melaju dengan pertanyaan-pertanyaan ini karena memang tidak ada kejelasan mengenai ini. 

Jika tim nasional kelompok umur memang benar jawabannya, apa target dari tim tersebut? Apakah bermain di level Asia Tenggara? Atau coba mengikuti gelaran-gelaran FIBA lainnya? Jika ini targetnya, siapa pelatihnya? Andai semua ini belum dipikirkan, maka benar sekali bahwa ini adalah program yang sangat spektakuler.

Sekarang sebaliknya. Jika targetnya bukan untuk tim nasional kelompok umur, apa yang akan dilakukan 15 pemain ini saat kembali?. "Oh nanti mereka bagus akan dilirik oleh tim asal Lituania?" Meski peluang ini ada, tapi saya yakin tidak mungkin seluruh 15 pemain ini akan diambil. Lantas, bagaimana dengan sisanya? Kembali ke sekolah dan klub masing-masing dengan pelatih Indonesia lagi?

Beberapa pecinta basket menghubungi saya mengenai ini. Mereka menyampaikan kekhawatirannya mengenai program ini karena berkaca pada olahraga sepakbola yang sudah pernah melakukan aksi serupa. Beberapa tahun lalu, sepakbola Indonesia melakukan hal yang kurang lebih serupa. Melakukan seleksi dan membentuk tim yang belajar di Uruguay bernama timnas SAD. Program berjalan selama empat tahun di kurun 2008 sampai 2012. Program ini berlalu begitu saja.

Beberapa pemain sempat mencoba peruntungan di liga luar negeri, namun yang konsisten hanya satu nama, Yanto Basna. Sisanya beredar di Liga Indonesia bersama pemain-pemain lain yang tak perlu ke Uruguay. Bahkan, sekarang mayoritas dari skuad ini tak pernah lagi dipanggil timnas. 

Dari sini banyak pecinta basket yang merasa bahwa program mengirimkan pemain ke luar negeri, tanpa tujuan yang pasti, di usia yang masih sangat belia, bisa menjadi bumerang untuk karier si pemain. Sekali lagi, kalau ujungnya hanya berlaga di liga profesional dalam negeri, menurut saya tidak perlu melakukan program spektakuler ini. Cukup ikut seleksi saja di tim-tim IBL saya rasa peluang untuk masuk juga masih terbuka lebar. Apalagi jika IBL terus mewacanakan ekspansi tim, maka slot yang tersedia pun makin lebar. 

Kita sejauh ini juga sudah ditunjukkan bahwa program secara tim ini tak pernah benar-benar berhasil. Indonesia Patriots yang total berlaga selama tiga musim di IBL juga tidak jelas akhirnya. Oh ya beberapa nama seperti Muhamad Arighi, Yesaya Saudale, Ali Bagir, Kelvin Sanjaya, sekarang ada di liga. Namun, apakah mereka jadi tulang punggung tim nasional? Sampai sekarang baru Yudha Saputera yang terlihat berhasil menjadi sosok krusial di tim nasional. Sisanya, sering hanya masuk-keluar seleksi, bahkan banyak yang tidak pernah dipanggil untuk seleksi saja. 

Kini harapan kita untuk tim nasional adalah Derrick Michael Xzaverio. Seperti diketahui bersama, sejak SMA, Derrick mendapatkan kesempatan bergabung ke NBA Global Academy di Australia. Ia berkembang pesat di sana, utamanya secara fisik. Kemudian ia melanjutkan karier di NCAA Divisi 1 bersama Grand Canyon University. Derrick adalah contoh nyata bahwa kita tak perlu sebuah tim untuk berangkat dan berlatih selama beberapa periode di luar negeri. Yang kita butuhkan adalah beberapa pemain saja, untuk berlatih dan terus berkompetisi di sana, tanpa perlu pulang sebelum ada kejuaraan yang benar-benar penting untuk diikutinya. 

Satu hal lagi yang membuat saya bingung dengan keputusan program Lituania adalah program Perbasi yang lama. Pada unggahan Perbasi di 4 Desember 2022, mereka mengumumkan bahwa pemusatan latihan (Training Center) yang dilakukan Indonesia Patriots di Amerika Serikat kala itu berhasil meningkatkan kemampuan mereka sampai 50 persen. Menurut saya program ini seharusnya dilanjutkan karena peningkatannya sudah sangat pesat. Harusnya, tak perlu membuat program spektakuler baru ke Lituania jika latihan di Amerika Serikat bisa membuat peningkatan sepesat itu. 

Terakhir yang ingin saya soroti adalah diskriminasi yang dilakukan oleh Perbasi dalam program Lituania ini. Diskriminasi ini terlihat dari syarat tinggi badan minimal yang mereka cantumkan. Entah harus berapa kali lagi perkara tinggi badan ini jadi obrolan panjang.

Pemahaman ini sangatlah ketinggalan zaman. Perkara ring adanya di atas, yang lebih tinggi akan lebih diuntungkan sudah tak relevan, utamanya di Indonesia. Bisa dilihat, pemain dengan tinggi paling tinggi tak pernah menjadi pemain terbaik. Bahkan, timnas sendiri bergantung pada Abraham Grahita, Andakara Prastawa, dan Yudha Saputera. Beruntungnya, nama-nama ini udah memasuki usia senior. Kalau tidak, mereka jelas tidak akan pernah dipanggil timnas. 

Selain itu, di usia 13-18 tahun, siapa yang bisa menjamin bahwa tinggi badan pemain saat usia ini tidak lagi berkembang. Berkaca ke NBA, pemain seperti C.J. McCollum, Anthony Davis, hingga Derrick White tumbuh pesat saat usia 17-18 tahun setelah sebelumnya selalu dianggap pemain kecil. Berkaca ke Piala Dunia FIBA 2023 lalu pun, pemain seperti Arturs Zagars juga belum setinggi sekarang di usia belasan tahunnya. 

Tidak henti-hentinya kami berkaca pada Jepang yang punya gara-garda hebat yang tak sesuai dengan syarat Perbasi. Yuki Togashi, Yuki Kawamura bisa menari-nari di hadapan pemain-pemain Eropa dan membawa Jepang lolos langsung ke Olimpiade. Yago Santos dari Brasil bahkan kini bersaing di EuroLeague bersama KK Crvena Zvezda. Tinggi badan bukan masalahnya, kemampuan individu adalah permasalahannya. 

Munculnya pemain di bawah 180 sentimeter sebagai pemain andalan memang tidak sering atau amat jarang. Namun ketika ia muncul, apalagi di level dunia, itu artinya memang tidak ada yang lebih hebat di posisi itu selain pemain dengan tinggi di bawah 180 sentimeter itu.

Pemahaman-pemahaman konvensional ini harus diubah. Kita memasuki tahun 2024 di mana era semuanya semakin digital, ilmu pengetahuan bisa didapat di mana saja. Sayangnya, para pengurus ini masih terjerat dengan ilmu batin tanpa dasar. Yang penting spektakuler (menurut mereka). Sudah waktunya revolusi terjadi di basket Indonesia. Sudah waktunya Indonesia sadar diri, menyadari kekurangan, mencatat semuanya, dan menyusun kerangka berpikir dan pembangunan basket yang baru. Ini semua benar-benar hanya buang-buang waktu, tenaga, dan dana. Basket Indonesia layak mendapatkan yang lebih bagus daripada ini. 

Foto: Ariya Kurniawan 

Komentar