IBL

Perjalanan ke SEA Games 2019 Filipina lalu meninggalkan banyak pemikiran di kepala saya. Jujur saja, saya memiliki terlalu banyak cerita yang ingin saya bagi, tapi cukup sulit mengutarakannya dalam bentuk tulisan. Beberapa hal yang menarik perhatian saya antara lain, budaya Filipina sendiri, persaingan basket antarnegara Asia Tenggara, fasilitas basket di sana, hingga Vietnam.

Ya, Vietnam jujur saja membuat saya terkesima sepanjang SEA Games 2019. Sebagaimana diketahui, Vietnam berhasil membawa pulang dua medali perunggu di cabang basket. Satu dari nomor 3X3 putra dan satu lagi dari nomor konvensional basket putra 5v5. Catatan di atas terasa lebih istimewa setelah melihat bahwa dua medali tersebut merupakan dua medali pertama Vietnam di basket.

Jika Anda mengikuti gelaran ASEAN Basketball League 2018-2019, maka Anda seharusnya tak asing dengan deretan pemain Vietnam, utamanya yang tampil di dua nomor tersebut sekaligus. Khoa Tran, Chris Dierker, dan Justin Young adalah wajah yang familiar. Mereka bermain untuk Saigon Heat musim lalu. Praktis hanya Thanh Tam Dinh yang menjadi bagian dari dua tim tersebut tapi tak membela Heat musim lalu. Ia baru akan membela Heat musim ini.

Aturan ABL yang memperbolehkan pemain keturunan atau berdarah campur turun dengan label “pemain lokal” membuat beberapa hal menjadi bias. Ambil contoh di tubuh CLS Knights Indonesia, Brandon Jawato yang belum punya paspor Indonesia hingga sekarang dianggap sebagai pemain lokal. Pertanyaan lantas muncul kenapa namanya tak masuk di skuat Indonesia. Begitu pula dengan Wong Wei Long, statusnya sebagai “pemain lokal” jadi cukup rancu mengingat ia adalah salah satu ikon basket Singapura untuk waktu yang lama.

Status ini juga membuat bias status para pemain Vietnam. Banyak yang mengira bahwa para pemain yang membela Heat di ABL adalah pemain berdarah campur Vietnam-Amerika Serikat. Nyatanya, setelah saya konfirmasi, hanya Chris Dierker yang memiliki darah campur. Itu pun, bukannya Vietnam-Amerika Serikat, melainkan Vietnam-Jerman.

Pemain-pemain seperti Khoa Tran, Tam Dinh, Justin Young, lalu ada lagi seperti Stefan Nguyen, dan Thanh Sang Dinh adalah pemain yang asli berdarah Vietnam. Namun, tak semua dari mereka lahir dan tumbuh di Vietnam. Kepastian ini saya dapatakan dari  Connor Nguyen, Presiden Saigon Heat sekaligus pendiri dari the Saigon Sports Academy yang juga menjabat sebagai manajer timnas Vietnam.

                                                                     Connor Nguyen, otak di balik kemajuan basket Vietnam

Pertanyaan tentang status para pemain tersebut menjadi satu dari sekian pertanyaan saya kepada Connor.

Connor menjelaskan, perjalanan skuat Vietnam yang kita lihat di SEA Games 2019 bermula dari keikutsertaan Heat di ABL pada tahun 2014 lalu. Munculnya tim basket asal Vietnam tersebut membangkitkan gairah basket di sana. Lalu, aturan ABL yang memperbolehkan pemain campuran menjadi “pemain lokal” memunculkan ide di kepala Connor untuk mencari deretan pemain Vietnam yang tinggal di luar negeri.

David Arnold adalah pemain campuran Vietnam yang mereka temukan dan langsung bergabung dengan Heat. Di musim 2017-2018, ia masih tampak mengobrak-abrik pertahan CLS Knights Indonesia di GOR Kertajaya bersama Maxie Esho dan Akeem Scott. Di tahun 2015, Connor lantas jadi salah satu penggagas lahirnya liga basket profesional Vietnam, Vietnam Basketball Association (VBA).

“Setelah memiliki Saigon Heat, kami ingin mengembangkan basket lebih besar lagi di Vietnam. Kami tidak ingin basket hanya ada di kota besar, kami ingin satu Vietnam mulai menyukai basket. Oleh karena itu, kami membuat VBA,” ujar Connor.

“Kami sekarang punya enam tim yang empat di antaranya berada di Ho Chi Minh City. Secara struktur, kami berkaca pada model bisnis olahraga yang serupa dengan di Amerika Serikat. Dari sana, setiap pemilik tim memiliki hak kepemilikan saham yang sama untuk liga. Intinya, kami berusaha bersaing di lapangan, tapi di luar lapangan, kami semua adalah rekan bisnis.”

“Untuk membuat bisnis ini berkelanjutan, maka kami memiliki aturan-aturan yang sangat ketat terkait finansial. Kami mengatur dengan sangat seksama semua pengeluaran tim, salah satunya adalah pembatasan gaji pemain (salary cap),” lanjutnya.

Tak sampai di situ, Connor dan para pemilik tim juga sepakat untuk meratakan kekuatan demi liga yang lebih menarik. Jika aturan tim terburuk musim sebelumnya mendapatkan hak memilih pertama di malam draft musim selanjutnya sudah terlalu biasa, VBA menerapkan aturan setiap tim hanya boleh mempertahankan sebagian pemainnya. Intinya, sulit sekali untuk menjadi tim yang dominan di VBA.

“Dengan semua cara dan aturan yang kami gunakan tersebut, setiap tim bahkan para penggemar jadi cukup bersemangat untuk menyambut musim yang baru. Semuanya tak sabar untuk datang ke gim-gim VBA karena semua tim punya peluang yang sama untuk menjadi juara,” terus Connor.

Meski sudah berusaha sebaik mungkin meramu liga yang kompetitif, Connor mengakui bahwa 15 gim musim reguler masih terlalu sedikit untuk sebuah liga. Oleh karena itu, mereka menggandeng satu lagi pengusaha Vietnam untuk membuat tim baru musim depan. Ya, di gelaran tahun 2020, VBA akan diikuti oleh tujuh tim.

Connor dan koleganya lantas juga menyepakati penambahan kuota satu pemain asing dan satu pemain keturunan (darah campur atau yang tinggal di luar negeri) yang sudah dilakukan sejak musim ini. Kesepakatan ini mereka rasa sudah cukup bagus dan akan terus mereka lanjutkan untuk musim depan.

Jadi, pemain-pemain yang sudah saya sebutkan di atas, tidak akan bermain dalam satu tim yang sama di VBA. Khoa Tran, Chris Dierker, Justin Young, Tam Dinh, Sang Dinh, hingga Stefan Nguyen hanya akan bermain bersama di ABL dan tim nasional. Di luar itu, semua akan bersaing menjadi juara untuk tim yang mereka bela dan otomatis akan memancing setiap pemain untuk berkembang jadi lebih baik dari musim ke musim.

Semua penyelenggaran VBA juga berlandaskan dana swasta dari para pemegang saham. “Hal terbesar yang ingin kami capai dari liga ini adalah untuk menumbuhkan popularitas basket di Vietnam. Namun, kami harus menjalankan semuanya dengan tanggung jawab besar. Karena seperti yang saya ucapkan, kami tidak dapat suntikan dana dari pemerintah atau pihak lain. Semua dana datang dari pemilik tim.”

“Para pemilik tim bukanlah berasal dari orang yang cinta mati dengan basket, mereka adalah murni pengusaha. Oleh karena itu, kami harus membuat segalanya terus tumbuh untuk masa depan. Model bisnis ini adalah model bisnis yang kami sepakati bersama dan kami harap ke depannya akan terus berkembang ke arah yang baik,” tutupnya.

Connor mendaku bahwa para pemilik tim masih belum mendapatkan untung hingga kini. Namun, semuanya diharapkan bertumbuh dengan baik hingga dalam 2-3 tahun ke depan, mereka sudah bisa meraup keuntungan secara finansial. Di saat yang bersamaan, Vietnam akan menjadi tuan rumah SEA Games 2021. Pria lulusan University of Kansas ini lantas berharap di tahun 2021, semua upaya yang ia dan koleganya bangun di VBA dan ABL akan berujung pada hasil yang lebih baik di SEA Games.

Connor dan Vietnam memberi bukti bahwa pemerataan kekuatan di liga adalah salah satu kunci utama untuk membuat basket tumbuh menjadi lebih baik. Menariknya, tak hanya secara teknis permainan, dengan meratanya kekuatan tim, aspek bisnis basket juga bisa tumbuh lebih baik. Sekali lagi, meski Connor dan koleganya belum mendapatkan keuntungan secara finansial, bergabungnya lagi satu tim baru di liga menunjukkan bahwa model bisnis ini semakin dilirik di Vietnam.

Di sisi lainnya, sebagai bagian dari manajemen timnas, Connor juga memasang target yang jelas dengan langkah yang konkret. Target mereka adalah meraih medali yang lebih baik di SEA Games 2021. Caranya, mereka akan menambah jumlah permainan dan menjadikan Heat dan ABL sebagai wadah uji coba serta meningkatkan kemampuan mereka. Ke depan, jika Connor dan kolega berhasil menjaga atau bahkan meningkatkan stabilitas liga mereka, bukan tidak mungkin melihat Vietnam menjadi kekuatan baru di basket Asia Tenggara.

Foto: Mei Linda

 

Komentar