IBL

Tulisan berikut adalah sambungan dari tulisan sebelumnya: "Langkah Awal Termudah agar Para Pemain Basket Indonesia Bersatu".

---

Melanjutkan pembahasan mengenai pembentukan liga yang baik dan berkaca pada NBA, ada satu hal yang harusnya dibahas. Ia adalah Collective Bargaining Agreement atau yang dikenal dengan akronim CBA. Secara pengertian, CBA disebut sebagai kontrak antara NBA (Komisaris NBA dan 30 pemilik tim NBA) dengan NBPA (Asosiasi Pemain NBA) yang mengatur tentang berbagai hal yang berhubungan dengan pemain dan liga.

Beberapa hal yang masuk di dalamnya adalah kontrak pemain, pembagian keuntungan, NBA Draft, pertukaran pemain, ruang gaji (salary cap), dan banyak detail lagi di dalamnya. Menilik CBA terakhir yang disepakati pada 2017, terdapat sekitar 480 halaman yang mengulas mengenai hal-hal di atas secara detail.

Dalam bahasa singkatnya, CBA ini bisa disederhanakan dengan istilah “Perjanjian Kerja Bersama” (PKB) yang sering kita dengar di Indonesia antara perusahaan dengan serikat pekerja. Selayaknya PKB, CBA tak berlaku selamanya. Kesepakatan ini berkembang seiring perkembangan yang terjadi di dunia industri. CBA sendiri tak memiliki waktu pasti dalam setiap kesepakatannya. Waktu negosiasi ulang CBA sendiri ditentukan di kesepakatan sebelumnya. Namun, mayoritas negosiasi ulang terjadi enam tahun setelah kesepakatan sebelumnya.

Seiring berjalannya, negosiasi CBA tak melulu berjalan mulus. Tercatat ada empat kali negosiasi antara NBA dan NBPA mandek hingga memakan cukup banyak waktu. Mandeknya negosiasi ini akrab disebut dengan “NBA Lockout”. Tahun 1995 tercatat sebagai NBA Lockout pertama yang terjadi sepanjang sejarah. Meski tak membuat musim menjadi lebih pendek (berkurangnya jumlah gim), kejadian ini membuat transaksi pemain (selain NBA Draft) tertunda selama tiga bulan.

Menariknya, setahun berselang, NBA Lockout kembali terjadi. Jika di tahun 1995 NBA Lockout terjadi lantaran banyak hal baru yang harus dibahas, NBA Lockout 1996 hanya berpusat mengenai pembagian keuntungan AS$50 juta dari hak siar televisi. NBA menyarankan 50 persen keuntungan tersebut masuk ke ruang gaji pemain (slary cap) sedangkan NBPA meminta lebih dari jumlah tersebut. Menariknya, NBA Lockout ini hanya terjadi satu hari. Beberapa jam setelah pengumuman lockout, NBA dan NBPA sepakat untuk penambahan AS$14 juta per musim kepada ruang gaji pemain.

NBA Lockout 1998 jadi NBA Lockout ketiga sekaligus yang memakan waktu paling lama kala itu. Total NBA Lockout 1998 terjadi selama enam bulan (204 hari) dan memaksa musim terpangkas menjadi 50 gim saja dan menghapus laga All Star musim tersebut. Masalah utama di lockout kali ini adalah ruang gaji pemain.

NBA dan para pemilik tim meminta ruang gaji pemain diturunkan karena menurut data yang mereka punya, 15 dari 29 tim mengalami kerugian yang membuat 57 persen dari Basketball Related Income (BRI) habis hanya untuk membayar pemain. Kesepakatan sebelumnya menyebut bahwa ruang gaji pemain memakan 48 persen BRI dan maksimal 51,8 persen BRI setelah tiga tahun kesepakatan berjalan (sepakat di tahun 1995). Namun, data tersebut disanggah oleh NBPA. Data yang dihimpun NBPA menyebutkan bahwa hanya ada empat tim yang mengalami kerugian di tahun tersebut.

Selain urusan ruang gaji, NBA dan pemilik tim juga mempermasalahkan “Larry Bird Exception” dan kontrak jangka panjang untuk ruki. NBA dan pemilik tim berharap Larry Bird Exception harus memiliki batas maksimal (sebelumnya tidak ada). Begitu juga dengan kontrak ruki, para pemilik tim tidak ingin kontrak enam tahun AS$126 juta untuk pemain tahun ketiga, Kevin Garnett, yang kala itu masih berusia 21 tahun terjadi lagi di masa mendatang. Secara singkat, Larry Bird Exception adalah kondisi di mana sebuah tim diperkenankan membayar seorang pemain pilihannya yang memenuhi syarat hingga melebihi total ruang gaji pemain. Tim boleh menentukan siapa pemain yang dianggap memiliki hak pengecualian ini, tapi setidaknya sudah main di tim yang sama selama tiga musim dan tak pernah pindah tim sebagai pemain bebas transfer.

NBA Lockout 1998 nyaris membuat musim dibatalkan. Negosiasi berjalan sangat alot bahkan masing-masing perwakilan dikabarkan sempat melakukan aksi walk out. Komisaris NBA kala itu, mendiang David Stern, lantas memberi ultimatum sampai 7 Januari 1999 sebagai batas akhir negosiasi atau musim 1998-1999 benar-benar dibatalkan.

Namun, satu hari sebelum tenggat waktu yang diberikan Stern, kedua belah pihak akhirnya sepakat. Sayangnya, hilangnya waktu enam bulan membuat NBA mengalami banyak penurunan pendapatan. Hilangnya laga All Star dan Natal juga menambah buruk situasi. Pun demikian, kedua belah pihak berhasil terus menjalankan musim hingga akhir.

Di sisi lain, NBA Lockout 1998 sebenarnya cukup membuat publik geram. Selain karena kehilangan hiburan, publik seolah disuguhkan aksi serakah dari masing-masing pihak yang berupaya untuk mencari keuntungan setinggi mungkin. Salah satu penulis olahraga Amerika Serikat, Tony Kornheiser, bahkan menyebut ini adalah perang antara “Tall Millionaire” melawan “Short Millionaire”.

NBA lantas berjalan tanpa halangan sampai pada 2011. Setelah CBA terakhir habis (kesepakatan pada 2005), negosiasi kembali berjalan alot. Dimulai sejak awal tahun 2011, proses kesepaktan CBA ini berlangsung sampai delapan bulan. Meski secara resminya, NBA Lockout 2011 memakan waktu 161 hari (1 Juli – 8 Desember 2011), di mana tim tak boleh merekrut pemain dan pemain tak boleh menggunakan fasilitas tim sama sekali.

Bersamaan dengan itu, perkembangan dunia maya semakin gencar. NBA Lockout 2011 menyuguhkan banyak rekaman aksi pemain di pertandingan masyarakat biasa. Aksi Kevin Durant di Rucker Park adalah satu dari rekaman selama Lockout. Selain itu ada pula aksi Kobe Bryant lawan James Harden di sebuah pertandingan eksibisi plus aksi-aksi LeBron James di berbagai lapangan “kecil”.

Masalah utama NBA Lockout 2011 adalah restrukturisasi pembagian alokasi BRI dan juga penetapan Luxury Tax. NBA dan pemilik tim meminta alokasi ruang gaji pemain terhadap BRI turun dari 57 persen menjadi 47 persen. Usulan tersebut dibalas oleh NBPA dengan mengajukan angka 53 persen. Sedangkan mengenai Luxury Tax, NBA dan pemilik tim meminta digunakannya “Hard Luxury Tax” yang memaksa tim-tim tidak bisa fleksibel saat memiliki gaji di luar batas ruang gaji pemain. Selama ini, ketetapan yang digunakan adalah “Soft Luxury Tax.” Alasannya perubahan ini adalah untuk menambah ketat persaingan di liga.

Kesepakatan akhirnya dicapai dengan pembagian BRI menjadi 49-51 persen untuk pemain dan tim. Luxury Tax pun mengalami perubahan dengan ketentuan tim akan membayar AS$1 per kelebihan AS$1 setelah tim memiliki ruang gaji lebih dari AS$5 juta batas Luxury Tax. Selain itu, panjang kontrak dan kenaikan gaji mereka juga mendapatkan perubahan.

CBA 2011 disepakati berlangsung selama 10 tahun (hingga 2021) dengan opsi untuk kembali bernegosiasi pada 2017. Pada 2017, NBA dan NBPA berunding dengan lancar yang akhirnya disepakati CBA baru yang efektif selama enam tahun (2023-2024) dengan opsi percepatan satu tahun, lebih tepatnya pada 15 Desember 2022.

CBA adalah hal yang lumrah di sebuah industri. Seperti yang tertulis di awal artikel ini, CBA tak ubahnya adalah PKB antara perusahaan dengan serikat pekerjanya. Selaiknya NBA, di Indonesia praktik negosiasi PKB antara perusahaan dan serikat pekerja juga kerap menemui lockout. Namun, satu hal yang harus dipegang teguh dalam semua proses ini adalah pola pikir (mindset) yang sama untuk saling mensejahterakan satu sama lain. Jika mindset ini belum terbentuk, maka peluang kesepakatan tercapai juga semakin sulit.(*)

(..bersambung)

Foto: Unsplash

IBL

Komentar