IBL

Pada awalnya, olahraga bola basket dan seni rupa boleh jadi adalah dua hal yang terlalu jauh benang merahnya. Namun bagaimanapun juga, bola basket, NBA dan "segala produk turunannya" telah menjelma menjadi sebuah produk budaya yang penuh dengan berbagai dinamika serta kompleksitasnya tersendiri. Baik itu bicara soal akulturasi budaya, rasisme, politik, gaya hidup, kesetaraan gender, bahkan sampai kesenjangan ekonomi sekalipun. Dan di sinilah peranan seni rupa mampu hadir untuk merespon berbagai polemik yang dihadapi masyarakat dunia dengan menjadikan basket (dan segala polemiknya) dalam menghasilkan sebuah karya seni.

Berikut adalah karya- karya seniman yang melibatkan budaya basket dalam kekaryaannya:

Gina Adams

Honoring Modern Unidentified 27, Spirit That Remains, 2015.

Gina Adams, seniman yang masih memiliki darah Indian Ojibwa dan Lakota, mempersoalkan masalah gender dan kultural-historis bahwa basket adalah olahraga pria dan tidak pernah ada native American yang bisa berkompetisi di liga basket. Gina merespon "premis ngawur" itu dengan membuat representasi (replika) bola basket kuno dari keramik yang direspon oleh gambar-gambar yang disadur dari temuannya di museum sejarah. Karya ini mampu menembus harga 4,3 juta dollar AS di balai lelang Sotheby’s.

Jean- Michel Basquiat

Famous Negro Athletes, Oil stick on paper, 1981.

Nama Basquiat sudah menjadi legenda dalam dunia seni internasional. Sebagai seniman berdarah African-American yang lahir di Brooklyn era 60-an, kekaryaannya sudah tentu banyak mempersoalkan tentang kesetaraan hidup yang didasari oleh polemik antarras di Amerika Serikat. Bahkan dalam beberapa kajian khazanah budaya African-American, Basquiat bukan lagi hanya sebatas nama besar seniman. Namun lebih dari itu, Basquiat sendiri telah menjelma menjadi sebuah semangat solidaritas atas berbagai tekanan-tekanan yang timbul dari polemik rasisme di Amerika Serikat. Karya Famous Negro Athletes menjadi sebuah ironi tersendiri dalam sejarah olahraga Amerika pada era itu. Ketika bagaimanapun ketenaran dan kesuksesan yang mampu diraih oleh seorang atlet African-American, mereka hanya dianggap tak lebih dari orang-orang kulit hitam pada umumnya.

Didasari oleh berbagai peristiwa yang dipicu oleh pertentangan antarras di Amerika Serikat baru-baru ini, maka di pengujung tahun 2020 kemarin, klub basket Brooklyn Nets membuat penghormatan dengan menggabungkan trade mark Basquiat sebagai bagian dari City Edition Jersey mereka.

Daniel Arsham

Bronze Eroded Basketball, 2019.

Patung berbentuk bola basket ini dibuat dari material perunggu dengan menggunakan teknik bakaran tertentu sehingga membentuk efek warna pelangi yang berpendar. Terinspirasi dari jangkauan budaya basket yang mendunia, karya ini merupakan bagian dari serial Daniel Arsham yang berjudul Arsham’s Fictional Archeology. Arsham menjelaskan, bahwa karya Bronze Basketball ini merupakan perpaduan dari masa lalu, sekarang dan masa depan. Begitu ungkapnya dalam sebuah konferensi pers. Di hari pertama peluncuran karyanya, karya Bronze Basketball terjual dengan harga US$ 9500 atau setara dengan 1,3 Miliar rupiah.

Jeff Koons

One Ball Total Equilibrium Tank ( Spalding Dr. J Silver Series), 1985.

Karya patung yang sederhana ini mengandung banyak kompleksitas dalam pembacaannya sebagai karya rupa. Karya ini bahkan dianggap sebagai salah satu karya yang paling berpengaruh dalam sejarah seni rupa kontemporer dunia. Koons kerap bermain-main dengan persepsi material dalam karya-karyanya yang dipenuhi oleh komedi satir. Koons menjelaskan bahwa bola basket adalah salah satu sarana orang untuk naik ke level yang berbeda dalam strata sosial di masyarakat. Dengan menggunakan "simbol optimisme" ini, Koons merujuk pada sosio-ekonomi, janji abadi kapitalisme Amerika tentang mobilitas sosial dan kekuatan industri periklanan yang memanipulasi mimpi sebagaimana yang digambarkan dalam poster-poster populer Nike pada 1980-an.

Esmaa Mohamoud

One of the Boys (Yellow Back), 2018.

Esmaa Mohamoud adalah seniman keturunan Afrika–Kanada yang menetap di Toronto, Ontario. Karya–karyanya kerap berfokus seputar maskulinitas kulit hitam dalam budaya olahraga (NBA dan NFL) dan secara politik di Amerika Utara pada umumnya.

Esmaa tumbuh sebagai satu-satunya putri dalam keluarga dengan lima anak. Sejak kecil dia suka bermain bola basket dengan saudara-saudara laki-lakinya, tetapi ibunya melarang dan bersikeras agar dia mengenakan gaun.

Karya One of The Boys, ia menyelidiki stereotip gender dengan mengubah kostum basket menjadi gaun pesta. Di karya ini dia menyoal bagaimana tubuh pria kulit hitam dan gagasan soal maskulinitas dari sudut pandang yang selama ini terbentuk dalam masyarakat.

Victor Solomon

Church, 2019.

Sebagai anak muda yang terlahir dari etnis campuran di Boston, Victor Solomon merasa bahwa ketika dalam lapangan basket, semua perbedaan ras dan etnis seolah menghilang. Terinspirasi dari pengalamannya itu, maka ia membuat serial "The Church", papan dan ring basket dengan menggunakan material kaca patri yang kerap menjadi bagian ornamen dari gereja maupun katedral. Tak hanya itu, ia pun menggunakan material mewah lainnya seperti emas dan kristal untuk menggambarkan mimpi dan cita-cita anak muda di Amerika dalam menggapai kesuksesan. Karya ini menjadi ironis karena walaupun sudah meniru bentuk dan ukuran papan basket, namun bahan-bahannya yang mewah sekaligus rapuh menjadikannya mustahil untuk dimainkan.

Alipjon

Sauze Park & Critical 11, 2020.

Gampang- gampang susah bila kita coba mengupas karya seniman urakan yang tengah naik daun ini. Berbagai landasan teoritis seni kekinian seolah tampak jadi tidak berlaku lagi apabila kita berhadapan dengan karya-karyanya. 

Diwawancarai via sambungan telepon, Alipjon mengaku bahwa ia cukup banyak terpengaruh oleh basket era 90-an. Menurutnya, budaya basket di Amerika, berhasil masuk, diterima dan diinterpretasikan dengan cara yang berbeda di Indonesia. Bagaimana basket jalanan di Indonesia era 90-an itu dimainkan dengan hanya menggunakan sandal jepit dan bahkan nyeker sekalipun. 

Walaupun belum pernah menghasilkan lukisan yang "berbau basket" di atas kanvas sebagaimana yang kerap ia lakukan, namun Alip sudah melukis di atas dua lapangan basket. Sauze Park di Jakarta dan Critical 11 di Bandung. Cara menikmati lukisan gigantiknya di atas lapangan basket itupun cukup sederhana, sesederhana kamu menikmati permainan bola basket itu sendiri. Sikat Jon! 

Uji "Hahan" Handoko

Wall Street Gymnastic, 2017.

Hahan kerap bermain-main dengan dinamika medan sosial senirupa dalam karya-karyanya. Dalam pameran tunggalnya Wall Street Gymnastic di Roh Project 2017 lalu, Hahan mengeksplorasi gagasan tentang mekanisme pasar senirupa di mana relasi kuasa dan kepentingan menimbulkan tegangan-tegangan di tiap entitasnya sehingga memengaruhi posisi dan kekaryaan seorang seniman.

Walaupun karyanya sangat "basket banget", tapi karya Hahan kali ini justru hanya menyerempet sedikit soal basket sebagaimana yang kita pahami. Ia justru berbicara panjang lebar tentang kondisi pasar, politik dan perekonomian dalam dunia senirupa.

Menurutnya dunia seni tidak jauh berbeda dengan dunia olahraga yang kerap dipenuhi dengan iklim yang kompetitif, bekerja dalam tim dan penuh dengan spekulasi.(*)

Komentar