IBL

Beberapa waktu lalu, di Mainbasket Podcast, kami sempat mengulas keresahan kami mengenai NBA di era sekarang. NBA semakin ke sini semakin terasa seperti sebuah pertunjukkan ketimbang pertandingan basket. Banyak situasi yang kami rasa harusnya bisa lebih ketat di lapangan daripada yang mereka sajikan selama ini. Gim yang isinya mengeksploitasi permainan satu lawan satu, skill individu. 

Meski secara pribadi kami jelas lebih senang permainan basket ketat dan keras seperti yang disajikan gim FIBA atau internasional atau Eropa, kami juga tak bisa menampik betapa luar biasanya kemampuan individu pemain-pemain NBA. Bisa dibilang, kemampuan individu para pemain NBA ini benar-benar berjarak jauh dengan pemain-pemain lain yang ada di dunia. Dari sini, sah-sah saja sejatinya NBA menyebut mereka sebagai liga terbaik di dunia, liga kumpulan pemain terbaik di dunia. 

Kemampuan pemain-pemain NBA ini yang kadang membuat saya geleng-geleng kepala. Pemain kaliber teratas NBA seperti LeBron James, Nikola Jokic, Luka Doncic, hingga Shai Gilgeous-Alexander membuat gim terlihat sangat mudah. Mencetak 30+ poin secara harian, gim demi gim, tampak sangat mudah dan tanpa usaha yang besar. Hal itu semakin nyata terlihat saat saya melihat dua nama terakhir bermain di Piala Dunia FIBA 2023 lalu. Jika mereka dibebaskan bermain satu lawan satu sepanjang laga, saya yakin sulit sekali menghentikan keduanya. 

Namun, bukan kehebatan Luka, Shai, dan bintang-bintang utama itu yang akan saya bahas di sini. Saya justru menyoroti betapa menakutkannya pemain-pemain pendukung di NBA atau yang kerap disebut role player. Lebih spesifik lagi, pemain non-starter hingga pemain ke-15 NBA yang mayoritas sejatinya memiliki kemampuan di atas pemain-pemain basket lain di dunia. Hanya saja, situasi membuat mereka harus menerima peran yang ada dan mendapatkan kesempatan seadanya. 

Pembahasan ini saya mulai setelah melihat potongan siniar yang melibatkan mantan pemain NBA, Emmanuel Mudiay. Dalam cuplikan tersebut, ia sedikit membongkar fakta saat ia bermain untuk Utah Jazz. Kala itu, ia bermain dengan kisaran 15 menit per gim dan mampu menyumbangkan 7 poin per gim. Angka itu sejatinya tak cukup spesial, tapi tak buruk untuk ukuran 15 menit per gim. Dari situ, Mudiay mendesak pelatih untuk memainkannya lebih lama lagi. Sayangnya, desakan itu tak mendapatkan jawaban yang ia inginkan. 

Reggie Jackson Nuggets Clippers

Pelatih Jazz yang tidak disebutkan namanya oleh Mudiay (yang kala itu harusnya Quin Snyder) meminta maaf kepadanya. Ini bukan salah Mudiay ia tak bermain lebih banyak. Sang Pelatih beralasan bahwa mengapa Mudiay tidak bisa bermain lebih lama karena ada garda lain yang mendapatkan peran sebagai starter yang harus bermain banyak karena tim sudah membayar pemain tersebut dengan uang yang besar. Ya, bukan karena ketangkasannya Mudiay tak bermain lebih dari 20 menit per gim. 

Pernyataan Mudiay ini semakin dikuatkan dengan performa dua pemain veteran Denver Nuggets, Reggie Jackson dan DeAndre Jordan saat berhadapan dengan Los Angeles Clippers, Selasa, 28 November lalu. Keduanya bermain luar biasa saat dimainkan sebagai starter seiring dengan absennya Jamal Murray dan Nikola Jokic. Reggie bermain 40 menit dan mencetak dobel-dobel 35 poin, 5 rebound, plus 13 asis. Deandre juga dobel-dobel 21 poin, 13 rebound, dan 5 asis setelah bermain 33 menit. Ini adalah performa terbaik keduanya untuk jangka waktu yang cukup lama. Satu yang pasti, ini adalah catatan tertinggi mereka bersama Nuggets sejak merapat musim lalu. 

Kepercayaan Michael Malone benar-benar dijawab dengan luar biasa oleh Reggie dan DeAndre. Untuk Reggie, ini adalah 30+ poin pertamanya sejak Maret 2022. Ini juga jadi dobel-dobel pertamanya dalam setahun. DeAndre lebih lama lagi. Terakhir kali ia membukukan 20+ poin dalam satu gim terjadi pada 2019, saat ia masih membela Clippers. Itu juga jadi 20+ poin dobel-dobel terakhirnya sebelum gim lawan Clippers 28 November 2023 ini. 

Dalan kurun waktu tersebut, baik Reggie dan DeAndre memang terus mengalami penurunan menit serta peran dalam permainan. Mereka bergeser dari langganan starter menjadi cadangan. DeAndre bahkan mulai jarang bermain di tiga musim terakhir. Ia ada di bangku cadangan, menggunakan jersei, tapi jarang sekali bermain. DeAndre lebih diharapkan mampu menjadi sosok yang membimbing pemain muda dalam melihat situasi di lapangan. Reggie masih lumayan sering bermain, menjadi pelapis para pemain garda utama tim-tim yang ia bela. 

Jimmer Fredette

Apa yang ditunjukkan keduanya sejalan dengan pernyataan Mudiay bahwa para pemain NBA bukannya kehilangan kemampuan bermain, melainkan memang harus menempatakn diri mereka sesuai peran masing-masing. Jika pemain-peman ini diberikan kesempatan yang sama, sangat mungkin mereka juga bisa memberikan performa yang luar biasa. Dari sini pula terlihat bagaimana beberapa mantan pemain NBA seolah menjadi "dewa" di liga-liga lain saat mereka sudah terlempar dari NBA. 

Jimmer Fredette jelas contoh utama bagaimana dia menguasai Chinese Basketball Association (CBA). Di Eropa, pemain seperti Mike James yang kecil sekali kesempatan bermainnya di NBA juga terus dominan bersama AS Monaco. Contoh lain seperti Edy Tavares yang menjadi salah satu senter terbaik di Eropa bersama Real Madrid saat ia bahkan jarang sekali terlihat di lapangan ketika membela Cleveland Cavaliers. 

Bergeser ke liga lokal kita, IBL. Hal yang sama terlihat saat seorang Brandone Francis mendominasi liga. Menjadi MVP musim reguler dan membantu Prawira menjadi juara, Brandone untuk saya adalah pemain asing terbaik yang pernah ada di liga. Sepanjang musim, seolah tidak ada yang mampu menghentikan permain individu Brandone yang dibantu dengan pola pick n roll atau pick n pop. Pola yang sangat sederhana, tapi mematikan oleh Brandone. Brandone sendiri bukanlah pemain sembarangan. 

Brandone Francis Texas Tech

Di masa mudanya, pemain asal Republik Dominika ini sempat masuk ke skuad Nike Hoop Summit bersama Jamal Murray dan Nikola Jokic. Bakatnya sudah diakui sejak muda. Ia pun lantas menghabiskan kariernya di kampus bersama Florida Gators dan Texas Tech, dua kampus yang juga punya tradisi bagus di NCAA. Memang, pada akhirnya ia tidak bisa masuk ke NBA, hanya berkutat di G League. Pun demikian, kita bisa melihat bagaimana bedanya level Brandone dengan pemain asing lain di liga, apalagi dengan para pemain lokal. 

Di sini harapan saya kepada tim-tim IBL semakin meninggi. Dengan sistem yang baru, dengan ruang gaji yang "katanya" cukup tinggi, hingga tanpa terbatasnya pemain (tim bisa mencari pemain asing sendiri, tidak satu agen seperti selama ini), saya harap tim-tim bisa mendapatkan pemain-pemain dengan level Brandone atau bahkan lebih baik. Saya harap, pemain asing yang mereka dapatkan bisa semakin meningkatkan keseuran pemainan di IBL, mendatangkan lebih banyak penggemar, dan terakhir serta utamanya, bisa membantu pengembangan pemain. 

Terakhir, harapan saya para pemain lokal juga bisa memanfaatkan kesempatan ini dengan baik. Sekali lagi, sistem perekrutan pemain asing yang berubah ini bisa membuka cakrawala untuk kedatangan pemain dengan level yang tinggi. Persaingan untuk menit bermain jelas semakin berat, tapi semoga para pemain lokal justru semakin terpacu, bukan sebaliknya. Ambil ilmu sebanyak-banyaknya dari pemain-pemain asing ini. Gunakan ilmu itu untuk terus menjadi lebih baik, menjadi lokal terbaik di liga, dan mengmbangkan karier sebagai pemain asing di liga lain. Mendapatkan bayaran yang jauh lebih besar dan terus membuka koneksi yang lebih luas, hanya dari basket semata. (DRMK)

Foto: NBA/Getty Images

 

Komentar