IBL

Setelah “The Last Dance” mengudara, saya justru melihat banyak ujaran kebencian yang keluar di berbagai media sosial. Ada yang benci Jerry Krause (yang digambarkan sebagai musuh bersama), ada yang benci Scottie Pippen, Michael Jordan, Dennis Rodman, Isiah Thomas, Doug Collins, Phil Jackson, atau bahkan LeBron James.

Ya, nama terakhir yang masuk dalam ragam ujaran kebencian adalah LeBron James. Saya pribadi juga bingung, bagaimana bisa, film “The Last Dance” yang sama sekali tidak ada sangkut-pautnya sama LeBron justu jadi ajang para pembenci LeBron mengobarkan lebih besar lagi kebencian mereka. Padahal, Michael Jordan masuk ke NBA, LeBron belum lahir. Bahkan, saat musim 1997-1998 yang menjadi inti pembahasan film ini, LeBron baru berumur 12 – 13 tahun.

Belakangan, setelah saya pikir, kebencian memang selalu ada di mana-mana, di seluruh belahan dunia. Dalam aspek kehidupan, benci sendiri jadi pasangan dari suka atau cinta (mungkin). Sementara di dunia olahraga profesional, entah kapan munculnya, seolah ada aturan tertulis bahwa jika Anda suka pemain A maka Anda harus benci rival pemain tersebut.

Yang paling sering muncul di permukaan adalah debat kusir antara siapa pemain sepak bola terbaik di dunia, Lionel Messi atau Cristiano Ronaldo?  Jika Anda suka Messi, maka seharusnya Anda benci Ronaldo, pun demikian sebaliknya. Di basket sendiri, menurut saya pribadi, LeBron layak mendapat julukan pemain paling dibenci di milenium baru ini.

Dulu, mungkin sebelum LeBron mulai dominan, Kobe Bryant adalah pemain yang paling dibenci. Saya tidak tahu pastinya, tapi saya rasa pada era kejayaan Jordan, ia juga adalah pemain yang paling banyak dibenci oleh pecinta basket (kecuali penggemar Bulls).

Pada dasarnya, hampir semua pemain NBA utamanya para superstar memang memilik kaum pembenci (haters). Namun, di mata saya, ada juga pemain-pemain yang tidak hanya tidak memiliki pembenci, tapi harusnya haram untuk dibenci. Tidak ada kriteria pasti mengapa nama-nama di bawah ini tidak boleh dibenci. Akan tetapi, saya tidak bisa menemukan satu pun alasan untuk membenci mereka dengan semua pencapainnya.

1.Tim Duncan

Bagaimana bisa Anda membenci orang yang mengambil trofi MVP dengan celana pendek dan sandal? Tidak, Anda tidak bisa dan tidak boleh membenci Tim Duncan, haram. Satu-satunya yang benci Timmy (sapaan akrab Tim Duncan) saya rasa adalah Joe Crawford. Iya, abah-abah wasit yang memberi dua kali technical foul (otomatis eject) karena Timmy tertawa di bangku cadangan.

2.Dirk Nowitzki

Hampir serupa dengan Timmy, Dirk juga nyaris tak punya sesuatu untuk dibenci. Bahkan, saya rasa keduanya layak disebut sebagai pemain yang diremehkan (underrated) dalam hal ini tentang pencapaian-pencapaian mereka. Timmy menang dua kali MVP dan juara NBA lima kali. Dirk memang tak sebanyak itu (satu MVP dan satu gelar juara), tapi Dirk memiliki satu catatan lain yang tak kalah spesial.

Dirk menutup 21 musim kariernya di NBA dengan total 31.560 poin (20,7 poin per gim). Jumlah tersebut jadi yang terbanyak keenam di buku sejarah NBA. Ia hanya kalah dari Kareem Abdul-Jabbar, Karl Malone, LeBron James, Kobe Bryant, dan Michael Jordan. Dirk juga jadi satu-satunya pemain asal Eropa yang masuk dalam 30 besar daftar ini. Pemain Eropa terdekat dengan pencapaian poin Dirk adalah Pau Gasol yang ada di peringkat 37.

Dengan semua catatan tersebut, Dirk tak pernah sesumbar apapun di media. Seperti Timmy, ia juga menghabiskan seluruh kariernya dengan satu tim yang sama. Ia juga memiliki hobi bermain saxophone (semakin sulit untuk dibenci). Terakhir, ia punya salah satu signature move terbaik dan paling tidak bisa dihentikan di NBA. Jelas haram hukumnya bagi Anda untuk membenci pemain ini.

3.Derrick Rose

Nama terakhir di daftar ini adalah Derrick Rose. Persamaan pencapaian Rose dengan dua pendahulunya adalah gelar MVP musim reguler. Hebatnya lagi, Rose tercatat sebagai MVP termuda dalam sejarah NBA. Ia meraih gelar di usia 22 tahun 6 bulan, mengalahkan Wes Unseld (23 tahun 2 bulan).

“Why? Why can’t I be MVP of the league? Why can’t I be the best player in the league?”

Pertanyaan di atas menjadi salah satu frasa penting dalam perjalanan karier Rose. Ia mengeluarkan retorika tersebut di awal musim sebelum ia menjadi seorang MVP. Selain menjadi MVP, di musim yang sama Rose membantu Bulls meraih 62 kemenangan, catatan kemenangan tertinggi sejak era Michael Jordan berakhir.

Selain sikapnya yang cenderung tak banyak omong di hadapan media, Rose juga tidak bisa dibenci karena perjalanan berat kariernya. Selepas MVP, badai cedera menghantam, menghantam sangat keras.

Sebagai orang asli Chicago, Rose tak pernah ingin pergi dari Bulls. Namun, Bulls menyerah atas dirinya dan menukarnya ke New York Knicks. Bersama Knicks dan Cleveland Cavaliers selanjutnya, kehidupan masih tampak tak berpihak untuknya.

Rose tampak mulai menyusun lagi kehidupan dengan Minnesota Timberwolves dan Detroit Pistons. Ia beradaptasi dari seorang MVP menjadi pemain cadangan dan justru berhasil menunjukkan bahwa ia masih ada. Sulit rasanya melihat seorang pemain bangkit dari apa yang dialami oleh Rose.

Rose sendiri sebenarnya punya beberapa kasus yang membuatnya mungkin akan dibenci oleh beberapa pihak. Namun, karena di kasus-kasus itu ia tidak terbukti bersalah, maka selayaknya kita juga berpikir demikian. Dan jika pun sebenarnya Rose salah, maka hal itu tidak cukup kuat untuk menggugurkan perjalanan panjang hidupnya yang memang cukup getir.

Mungkin ada beberapa nama di dalam pandangan Anda semua yang layak untuk masuk dalam daftar ini. Namun, untuk kaliber superstar NBA, rasanya ketiga nama di atas adalah yang terdepan. Alasan terkuat saya adalah mereka berprestasi tapi tak terasa seperti mendominasi. Karena pada dasarnya, kita semua tak pernah suka dominasi, apalagi satu sosok yang dominan.

Foto: USA Today, NBA

 

Komentar