IBL

Saya mendengar seseorang berkata, suatu hari akan tiba waktunya kita tidak bisa bermain lagi.  Kita tidak cukup bagus. Sudah tidak dibutuhkan lagi. Terlalu lamban, mungkin. Ketika kamu seorang remaja dengan mimpi besar dan sedang menumbuhkan obsesi, dan seseorang berkata padamu bahwa itu tidak akan berlangsung selamanya, itu mengerikan. Saya tidak pernah melupakannya.

-Steve Nash, The Players’ Tribune, Maret 2015

 

Hidup memang tidak selamanya berlangsung sama. Hari ini tentu berbeda dari kemarin, begitu pun untuk hari-hari yang akan datang. Sadar atau tidak sadar, waktu selalu berjalan ke masa depan: detik berganti menit, menit berganti jam, jam berganti hari, hari berganti minggu, minggu berganti bulan, bulan pun menjadi tahun dan seterusnya. Hidup jadi tampak dinamis, ia bergerak terus-menerus.

Kata Karl Max, seorang pemikir dari Jerman, dalam pandangan filsafat dialektika tidak ada yang dibangun untuk keabadian, tidak ada yang absolut dan suci. Jika mengingat hal itu, maka tidak heran jika hidup tidak pernah abadi. Ada yang lahir, ada pula yang mati. Yang patah tumbuh, yang hilang berganti, sebab apapun bisa saja terjadi.

Apa yang ditulis Steve Nash di muka sedikit-banyak juga menggambarkan betapa hidup itu memang terus berjalan. Dulu ia merupakan seorang pemain terkenal yang berlaga di pertandingan-pertandingan penting NBA. Kini ia hanyalah seorang pensiunan yang menjalani hari-hari barunya dengan peran lain.

Ya, Steve Nash kini tengah menjadi konsultan pengembangan pemain di Golden State Warriors. Istilahnya: dulu menerima, kini berbagi.

Setelah memutuskan pensiun pada 2015, Nash tidak punya pekerjaan apapun selain mengurusi bisnis-bisnisnya sendiri. Suatu ketika sebelum NBA musim 2015-2016 dimulai, Steve Kerr, kepala pelatih Warriors, menawarkannya sebuah pekerjaan. Ia ingin Nash menangani pemain-pemainnya sebagai pelatih paruh waktu alias part-time player development consultant.

Nash menerima tawaran itu. Ia pun resmi menjadi konsultan yang menangani beberapa pemain, seperti Splash Brother: Stephen Curry dan Klay Thompson. Namun, kepada media saat itu ia mengaku, tidak banyak yang bisa ia lakukan kepada mereka karena para pemain Warriors sudah hebat dari sananya. Ia bahkan mengaku hanya bisa mengurusi cucian Stephen Curry daripada melatihnya. Namun, tentu saja ia mengatakan itu sambil bercanda, karena bagaimanapun Kerr tidak memilihnya tanpa alasan.

Steve Kerr, juga asisten pelatih Bruce Fraser, kenal dekat dengan Nash. Keduanya sudah tahu apa yang bisa Nash lakukan kepada timnya. Oleh karena itu mereka memilih peraih dua kali pemain terbaik NBA itu sebagai konsultan. Ia dirasa dapat mengembangkan kemampuan pemainnya lewat—tidak hanya—pengalaman tetapi juga berbagai teknik tertentu yang ia punya.

“Steve Nash adalah salah satu guard terbaik yang pernah bermain di liga ini dan kami sangat senang untuk menambahkannya ke staf kami dan membuatnya bekerja dengan para pemain kami,” terang Kerr, seperti dilansir NBC Sports 2015 silam.

“Meskipun memiliki kemampuan dan kemampuan individu yang luar biasa, Steve selalu memainkan pertandingan dengan mengutamakan mentalitas tim, yang merupakan sesuatu yang sangat kami tekankan dalam tim kami,” tambahnya.

Di tahun pertama Nash menangani para pemain Warriors, ia mengajari mereka tentang mengambil keputusan yang tepat saat menjalankan strategi pick and roll. Dalam sebuah tayangan di kanal YouTube resmi Warriors, Nash terlihat sedang melatih Curry. Ia juga tampak melatih beberapa teknik andalannya kepada Thompson.

“Saya menikmati berbagi apa yang telah saya pelajari,” ujar Nash kepada media, Oktober 2015 silam.  

Selang setahun setelah debut Nash sebagai konsultan, Warriors mendatangkan Kevin Durant ke Oakland, California, Amerika Serikat, yang merupakan markas besar Warriors. Kerr lantas memberikannya tanggung jawab untuk mengasuh satu bintang lagi. Nash pun menangani Durant untuk mengarungi musim perdananya bersama Warriors.

Nash melatih Durant dengan keras. Ia membuat bintang NBA itu membangun kekuatan intinya: memaksanya melakukan squat untuk meningkatkan mobilitas dan stabilitas, melatih pengambilan keputusan yang tepat saat melakukan pick and roll, membuatnya bermain lebih efisien di lapangan, serta memintanya menembak lemparan bebas lebih banyak.

“Alih-alih melihat perbedaan besar dan nyata antara kami, saya rasa ada banyak persamaan dalam permainan kami,” ujar Nash tentang Durant, seperti dikutip New York Times, Oktober 2017 lalu. “Ada banyak hal yang bisa saya bagikan kepadanya meskipun kami mungkin terlihat tidak cocok. Dia menangani bola di pick and roll, dia pengumpan yang hebat, dia sangat baik dalam menyerang dengan bola.”

Di tahun pertamanya, Durant yang baru bergabung ke Warriors langsung menjuarai NBA. Ia juga sukses merengkuh gelar pemain terbaik di laga final. Dengan prestasi mentereng itu, Durant merasa perlu berterima kasih—salah satunya—kepada Steve Nash yang menjadi mentornya selama semusim itu. Ia bahkan mengatai pelatihnya itu sebagai Yoda, tokoh fiksi dalam film serial “Star Wars” yang menjadi Master Jedi, guru para petarung. Ia mengatakannya sendiri dalam salah satu episode film dokumenternya berjudul “Still KD” yang rilis Juli 2017 lalu.

Setelah bekerja dengan baik mengurusi para pemain Warriors, manajemen klub pun menghadiahi Nash cincin juara. Jeri payahnya mengembangkan kemampuan para pemain mendapat ganjaran yang cukup setimpal. Apalagi ia memang belum pernah merasakan cincin juara selama 18 tahun karirnya di NBA. Namun, Nash menolak mengikuti upacara pemberian cincin itu bersama dengan para pemain dengan satu alasan.

“Ini momen mereka,” ujar Nash, seperti dikutip New York Times Oktober 2017 lalu. “Saya tidak bisa lebih senang menjadi bagian tim juara dan, yang lebih penting, budaya juara ini.”

“Tapi ketika kamu bermain selama 18 tahun di NBA dan kamu memenangkan semuanya saat menjadi konsultan, saya tidak merasa berhak melakukan apapun kecuali tetap di belakang layar. Saya bukan tidak menghormati apapun atau ingin membuat orang kesal, tapi saya merasa tempat saya bukan di sana.”

Kepala Pelatih Steve Kerr memaklumi hal itu. Ia paham betul apa yang dikatakan Nash kepada media. Lantas pada suatu kesempatan di tempat yang lebih tenang, ia memberikan cincin juara kepada Nash dengan cara yang tidak biasa.

Ya, tidak biasa lantaran upacara itu sendiri dilakukan di sebuah ruangan di depan tong sampah. Steve Nash menunjukkan senyumnya sementara Kerr tampak tak mengenakan kaus alias bertelanjang dada. Sebuah upacara penyerahan cincin juara yang benar-benar di luar kebiasaan dan cenderung nyeleneh.

 

Sebagai konsultan paruh waktu, Steve Nash tentu tidak bekerja penuh di Oakland. Ia punya kehidupan lain di Los Angeles, California, Amerika Serikat, di mana keluarganya tinggal. Di sana ia sibuk menjadi seorang ayah yang memiliki empat anak. Putra terakhirnya, Luca, bahkan belum berusia satu tahun.

Selain itu, Nash memiliki beberapa usaha pribadi yang menjadi pundi-pundi dollar baginya. Ia juga memiliki sebuah yayasan bernama Steve Nash Foundation yang bergerak di bidang sosial. Salah satu kegiatannya adalah Soccer Showdown, sebuah acara berbasis sepak bola amal yang dihadiri berbagai kalangan profesional, seperti legenda sepak bola Italia Del Piero sampai legenda Perancis Thierry Henry.

Di sela-sela kesibukannya itu, belakangan Steve Nash juga membuka kelas khusus untuk anak-anak di sekitar Los Angeles agar mereka bisa mengembangkan dirinya. Ia membuat sayembara di Instagramnya dengan tagar #giveandgo dan membuka kesempatan seluas-luasanya kepada anak-anak usia 12-18 tahun untuk mendaftarkan diri mereka. Nantinya ia sendiri yang memilih secara acak anak-anak tersebut dan melatihnya secara gratis.

Upaya itu kemudian membuahkan hasil. Nash mengunggah #giveandgo pertamanya bersama seorang anak beruntung bernama Ramiro, 15 tahun, yang tinggal Inglewood. Ia mengajarinya bagaimana cara menciptakan ruang dan menembak dengan konsisten. Katanya, Ramiro adalah anak yang pekerja keras.

Ramiro tentu bukan anak pertama yang dilatih secara khusus oleh Nash. Kabarnya, akan ada lebih banyak “Ramiro” yang berkesempatan berlatih bersama Nash di sekitar Los Angeles. Akan tetapi, publik belum tahu kapan Nash akan meluangkan waktunya lagi untuk melatih anak-anak lain. Sementara ini ia hanya akan fokus melatih para pemain Warriors untuk mempersiapkan mereka mempertahankan gelar juara.

Dengan demikian, jika mengingat kutipan Nash di awal tulisan ini, rasanya akhir perjalanan karir NBA itu tidak tampak terlalu mengerikan. Rasanya kini ia begitu menikmati peran barunya sebagai Yoda bagi banyak orang. Dulu ia banyak menerima pengalaman-pengalaman penting dari kompetisi ketat NBA, kini ia tinggal menularkan semangat itu kepada para pemuda yang notabene akan menjadi penerus-penerus generasi kini, sebab hidup itu dinamis. Satu tongkat estafet akan pindah dari satu generasi ke generasi lainnya.  

Selamat menikmati waktu yang terus berjalan!

Foto: ClutchPoints

Komentar