IBL

Dunia bola basket sekaligus sepak bola Indonesia baru saja kehilangan salah satu legendanya, Willy Winoto. Kabar duka itu datang dari Surabaya setelah ia menghembuskan nafas terakhir di RSUD dr. Soetomo pagi tadi sekitar pukul 9.45 WIB. Winoto meninggal akibat komplikasi penyakit yang ia derita dalam usia 76 tahun.

“Kami seluruh jajaran pemain dan manajemen Pacific Caesar Surabaya tengah berduka atas kepergian alm. Willy Winoto, ex-player, ex-coach, ex-manager, technical advisor,” tulis akun Instagram Pacific siang ini.

Nama Willy Winoto semestinya tidak asing lagi. Ia merupakan pemain basket senior Indonesia yang berkiprah bersama Pacific Caesar Surabaya sejak awal terbentuknya tim itu pada 1968. Sejak itu, ia aktif terlibat dalam berbagai kejuaraan bergengsi seperti Kobatama (Kompetisi Bola Basket Utama).

Setelah pensiun pun Winoto tidak serta merta berhenti bermain basket. Ia terus melanjutkan aktivitasnya di basket sebagai pelatih. Ia tercatat pernah menjadi pelatih di klub yang membesarkan namanya, Pacific. Bahkan sebelum menghembuskan nafas terakhirnya hari ini, ia terdaftar sebagai direktur teknik tim asal Surabaya itu ketika berlaga di Jawa Pos Honda Pro Tournament November 2017 lalu.

Terkenal sebagai insan basket Indonesia, Winoto ternyata memiliki sisi lain yang sama menariknya. Ia pernah menjadi penjaga gawang tim nasional Indonesia di awal 1960-an. Saat itu ia merupakan penjaga gawang cadangan Yudo Hadianto. Winoto juga satu angkatan dengan nama-nama pesepak bola besar di zamannya: Soetjipto Soentoro, Bob Hippy, M. Basri, dan Sinyo Aliandoe.

“Saya juga seangkatan dengan striker Persebaya Anjik Ali Nurdin,” tutur Winoto, seperti dikutip nblindonesia.com, 23 September 2011 silam. “Dia striker paling hebat yang saya temui. Nggak ada yang seperti dia. Tidak ada duanya, shooting-nya, juga kocekannya. Saya beruntung bisa bermain dengan dia.”

Sebelum terjun ke sepak bola, Winoto memang seorang pemain basket. Sayangnya, saat ia duduk di bangku sekolah di SMA Katolik Balung, Jember, Jawa Timur, basket tidak cukup populer. Padahal ia sudah mengenal basket sejak SD. Hal itu pun membuatnya mencoba peruntungan di sepak bola. Apalagi dengan situasi politik Indonesia kala itu yang memaksanya untuk mengambil pilihan status kewarganegaraan. Kebetulan Winoto memiliki status dwi kenegaraan.

“Akhirnya saya memilih menjadi warga Indonesia. Otomatis saya keluar dari sekolah awal saya dan juga dari basket. Karena bisa basket, saya akhirnya menjadi penjaga gawang. Karir saya maju pesat,’’ kenang mendiang Winoto.

Setelah berganti cabang, ternyata karirnya memang maju pesat. Ia sempat bergabung dengan klub Indonesia Muda Jember dan bakatnya terendus PSSI. Oleh karena itu, ia pun dipanggil masuk ke timnas sepak bola.

Selama bersama timnas, ia tidak hanya bertugas menjaga gawang. Di sisi lain, ia juga mengemban misi kebudayaan untuk memperkuat citra Indonesia pasca merebut Irian Barat dari tangan Belanda pada 1962. Winoto berkeliling ke berbagai negara, terutama negara-negara sosialis seperti Hungaria, Belanda, Jerman Timur dan Barat, Bulgaria, Myanmar, dan sebagainya.

“Waktu itu kalau sudah membela Indonesia rasanya mati-matian di lapangan. Kalah sampai menangis. Bhineka Tunggal Ika itu sakral,’’ ujar Winoto tentang membela nama baik negara.

Kendati begitu, karir sepak bola Winoto tidak berlangsung lama. Ia memutuskan berhenti pada 1967 untuk bekerja di tempat lain. Tercatat ia pernah bekerja sebagai pengawas hotel sampai kerja di pabrik beras sebelum akhirnya pindah ke Surabaya. Beberapa waktu kemudian, ia pun bergabung bersama Pacific (Caesar) Surabaya. Hasratnya untuk menjadi pemain basket muncul kembali ketika ia pindah.

Foto: Dok. Pacific Caesar Surabaya

 

NBA

Komentar