IBL

Sebagai penggemar tim basket Sacramento Kings, akhir 2022 ini saya benar-benar bahagia. Setelah belasan tahun "sengsara," dan beberapa kali dapat PHP, tahun ini benar-benar ada cahaya di ujung terowongan. Bahkan, ada cahaya ungu terang tinggi sampai ke luar angkasa!

Setelah 16 tahun gagal masuk playoff, Kings tahun ini merupakan salah satu darling di NBA. Setelah 22 pertandingan, atau sekitar seperempat musim, rekornya adalah (13-9). Itu terbaik kelima di Wilayah Barat, terbaik di negara bagian California. Berarti di atas Golden State Warriors, Los Angeles Clippers, apalagi Lakers.

Lebih mengejutkan lagi, Kings secara statistik merupakan salah satu dari lima terbaik di NBA. Nomor dua dalam scoring, nomor dua dalam assist, nomor lima dalam hal free throw, nomor empat dalam persentase field goal (tembakan). Kalau defense-nya bisa membaik sedikit lagi saja, Kings bakal masuk barisan elite NBA.

Berbarengan dengan sukses baru ini, Kings punya tradisi baru yang menghebohkan dunia olahraga Amerika. Tim mereka sekarang dijuluki "The Beam Team." Karena setiap kali meraih kemenangan, lampu laser berwarna ungu ditembakkan dari atap Golden 1 Center (kandang Kings).

Ide laser itu muncul dari direktur bisnis Kings, John Rinehart. Untuk mewujudkan impian pemilik tim, Vivek Ranadive, bahwa semua orang harus tahu ketika Kings meraih kemenangan. Sampai yang di luar angkasa pun harus tahu kalau Kings menang!

"Saya ingin mahluk luar angkasa ikut melihatnya!" tegas Ranadive.

Fans Sacramento Kings mengabadikan lampu laser yang ditembakkan dari atap Golden 1 Center.

Tentu saja, sukses ini tidak diraih secara instan. Tidak ada sukses yang instan di dunia olahraga. Sebagai penggemar Kings sejak zaman kuliah di sana pada 1995, saya tahu betul perjalanan panjang menuju sukses sekarang ini.

Saya adalah saksi hidup pertandingan playoff perdana dalam sejarah Kings, pada 1996. Di Arco Arena, yang juga menjadi gedung tempat saya diwisuda pada 1999. Gedung itu sekarang sudah rata dengan tanah.

Kandang pindah ke Golden 1 Center, yang ketika saya tinggal di Sacramento dulu adalah bangunan mal.

Selama 16 tahun, tim ini menghadapi masa yang benar-benar sulit. Pada 2010, Kings sempat terancam pindah ke Seattle. Masyarakat ibu kota California itu sampai harus demo untuk menghalanginya. Pada akhirnya tim ini pindah tangan, tidak jadi pindah. Masalahnya, tim ini harus menata ulang lagi supaya bisa jadi tim yang sehat lagi, yang bisa bersaing lagi.

Butuh waktu bagi Ranadive untuk "belajar" menjadi pemilik yang baik. Ternyata tidak mudah menjadi pemilik tim olahraga. Main duit saja tidak cukup. Harus membangun kultur, harus membangun barisan manajemen yang kuat dulu sebelum membangun timnya.

Gonta-ganti pelatih tidak pernah jadi solusi. Gonta-ganti bintang tidak bisa jadi solusi. Semua harus dari filosofi organisasi. Dimulai dari General Manager yang tepat. Karena dialah yang menyusun tim, mulai dari pelatih sampai pemain-pemainnya. Di Sacramento, itu bukan hal mudah. Karena superstar tidak ingin ke sana. Selalu tergoda nama besar klub lain seperti Lakers dan lain-lain. Untuk bisa kuat secara sustainable, Kings harus membangun sendiri secara bertahap.

Dan mencari GM pun tidak semudah itu. Ranadive sudah mencoba merekrut legenda Kings. Mantan pemain yang dicintai publik. Yaitu Vlade Divac, yang kemudian mengajak Peja Stojakovic. Penggemar NBA awal 2000-an pasti tahu mereka siapa. Mereka lah bagian dari tim terbaik dalam sejarah Kings, bersama Chris Webber dan Mike Bibby.

Ternyata, Divac justru membuat tim tidak stabil. Rekrutan pelatihnya tidak pas. Pilihan pemainnya juga tidak jelas. Yang kelihatan jago di atas kertas dan seolah memuaskan penggemar, ternyata bukanlah solusi yang diharapkan.

Tahun 2020, titik balik itu terjadi. Ranadive merekrut Monte McNair sebagai GM. McNair, yang punya latar belakang computer science lulusan Princeton, sebelumnya adalah bagian dari manajemen Houston Rockets yang konsisten sukses (sebelum berantakan belakangan ini).

Step by step, McNair menata masa depan Kings.

                        GM Sacramento Kings, Monte McNair.

Dia sadar, tidak bisa langsung memikat bintang untuk datang ke Kings. Dia juga sadar, tidak semudah itu menukar pemain yang ada. Harus punya aset yang baik untuk mendapatkan aset yang sepadan. Dia tidak lupa juga, kalau tidak bisa langsung mengganti pelatih, yang sudah telanjur dikontrak panjang.

Waktu itu, bintang Kings notabene hanya De'Aaron Fox. Point guard secepat kilat yang kemampuan syutingnya belum sepadan dengan kecepatannya. Pemain-pemain lain levelnya hanya pendamping, sulit ditukar dengan bintang.

McNair menyusun tim yang secara usia harus seiring dengan Fox (waktu itu baru 22 tahun). Sambil jalan, dia harus menumpuk aset lewat NBA Draft (perekrutan pemain muda harus lewat sistem itu). Sambil disiplin memperhatikan batas anggaran, karena di NBA ada Salary Cap, batasan anggaran untuk asas keadilan sesama peserta.

Pada 2020, di urutan 12 NBA Draft, McNair merekrut Tyrese Haliburton. Posisinya point guard. Sama dengan Fox. Kemudian, pada 2021, di urutan 9 NBA Draft, dia merekrut Davion Mitchell, yang baru saja meraih juara NCAA bersama Baylor University. Posisi Mitchell juga point guard!

Kedua pilihan ini sempat mengundang kontroversi. Fans, seperti biasa, mengomel-ngomel. Buat apa mengambil dua pemain baru yang posisinya sama dengan bintang yang ada?

Filsafat pemilihan McNair waktu itu sebenarnya simple. Di posisi memilih, McNair tidak akan mengambil pemain karena terpaksa. Walau butuh forward atau center, McNair tidak akan mengambil posisi itu kalau pemain yang tersedia tidak ideal. Pada dasarnya, McNair akan mengambil bakat terbaik yang tersisa, apa pun posisinya. Kebetulan, waktu itu dapatnya point guard terus.

Namun, dua pilihan itu strategis sekali.

Satu, Haliburton dan Mitchell memberi pressure kepada Fox untuk naik kelas. Karena kalau Fox tidak improve, maka dialah yang akan jadi "korban" perkembangan masa depan Kings.

Dua, kalau Haliburton dan Mitchell sama-sama sukses, maka Kings langsung punya tiga aset point guard bintang yang bisa ditukarkan dengan tim lain. Ketika Kings memburu center atau forward bintang dari tim lain, Kings bisa memberi pilihan tiga point guard handal!

Pada musim 2021-2022 lalu, momentum itu tiba. Kings mendapatkan center yang diharapkan dari Indiana Pacers. Namanya Domantas Sabonis. Center yang lincah dan punya visi passing, sesuai dengan pola tim cepat dan dinamis seperti yang diharapkan McNair dan Ranadive.

Indiana Pacers, sebagai ganti, minta Haliburton (plus Buddy Hield). Cocok sudah. Banyak penggemar Kings sempat marah, karena Haliburton dianggap lebih baik masa depannya daripada Fox. Tapi McNair tidak bekerja untuk mendengarkan fans. Dia bekerja untuk mengembangkan tim.

Setelah dapat center. Sekarang tinggal mengelilingi duo Fox dan Sabonis dengan shooter-shooter handal. Untuk membuka ruang gerak Fox yang suka menusuk, juga Sabonis ketika ingin bermain di area paint.

McNair merekrut dengan jitu. Dia mendapatkan Kevin Huerter dari Atlanta Hawks. Lalu mendapatkan Malik Monk dari Los Angeles Lakers. Dua-duanya pemain yang seolah-olah "tanggung" ketika diambil, dan sempat membuat penggemar bertanya-tanya.

Tapi sekali lagi, McNair tidak bekerja berdasarkan usulan penggemar. Dia berdasarkan data, scouting, dan pengalamannya di NBA.

Dan pada NBA Draft 2022, memilih di urutan empat, McNair mencomot Keegan Murray. Pemain fleksibel di dua posisi forward yang dianggap memiliki kecerdasan lebih sekaligus --ini kunci-- kemampuan shooting menonjol.

Sebagai pucuk sentuhan, McNair merekrut pelatih Mike Brown, yang musim lalu membantu Golden State Warriors jadi juara NBA sebagai asisten pelatih.

Brown punya reputasi hebat, juga pernah melatih LeBron James ketika di Cleveland Cavaliers. Tapi yang jadi pertimbangan utama: Brown ini punya latar belakang militer. Cocok untuk memberikan pemahaman struktur kepada pemain-pemain Kings yang rata-rata masih di bawah 25 tahun.

Sebelum musim 2022-2023 dimulai, tim ini mulai mendapat sorotan. Saat pramusim, tim ini tidak terkalahkan. Namun, tim ini tiba-tiba mendapat sambutan buruk di awal musim. Mereka kalah empat game pertama. Memulai musim dengan rekor 0-4. Apakah program McNair gagal?

Tunggu dulu. Sabar dulu.

Ketika mesin mulai panas, dan segalanya semakin "klik," tim ini benar-benar menunjukkan jati dirinya. Sempat meraih tujuh kemenangan berturut-turut, terbaik dalam sejarah Kings sejak 2006.

Soal mencetak poin, tim ini bukan masalah. Rata-rata per game hampir 120 poin. Hanya Boston Celtics lebih baik. Target playoff adalah sesuatu yang realistis. Bukan hanya itu, dengan barisan pemain relatif muda, tim ini akan punya prospek manis untuk minimal beberapa tahun ke depan.

Ya, Kings masih belum lulus ujian beneran. Masih belum tentu lolos playoff juga musim ini. Namun, tim ini sudah menunjukkan prospek yang istimewa. Hasil dari proses yang jelas selama tiga tahun terakhir, di bawah ketenangan dan kecermatan Monte McNair.

Penggemar Kings, seperti saya, sudah bisa bangga lagi jadi penggemar tim ungu tersebut. Dan sorotan laser ke luar angkasa dijamin akan sering terjadi dalam beberapa bulan ke depan!

Light The Beam!!! (azrul ananda)

Tulisan ini juga diunggah di Happy Wednesday 

Foto: NBA

Komentar