IBL

Indonesian Basketball League (IBL) 2022 sudah berjalan. Seri 1 Jakarta baru saja berakhir semalam, 22 Januari, setelah berlangsung selama satu pekan penuh. Tercatat tiga tim masih tak terkalahkan di seri pembuka ini sedangkan ada dua tim yang masih nirkemenangan di periode yang sama.

Secara emosi, saya rasa mayoritas publik merasa senang dengan kembalinya IBL. Namun, euforia tentu saja tak boleh mengganggu obyektivitas kita dalam melihat pertandingan secara utuh, melihat apa yang ditunjukkan deretan tim profesional ini di lapangan.

Tercatat ada dua gim yang cukup menyedihkan. Untuk saya pribadi, saya lebih suka menggambarkan dua gim ini sebagai dua gim yang "sulit untuk dilihat." Gim di mana sebuah tim profesional hanya mencetak 32 poin di satu pertandingan. Total 32 poin di 10 menit per kuarter pertandingan waktu bersih. 

Apapun alasannya di lapangan, 32 poin dalam satu gim adalah hal yang tidak bisa diterima di level profesional. Apalagi, di salah satu gim itu, sebuah tim tak sekalipun mampu mencetak dua digit poin di setiap kuarter yang mereka mainkan. 

"Lagi bau nembaknya." Ini bukan bau lagi, sudah jelas sangat membusuk. Di kedua gim ini, kedua tim yang hanya mencetak 32 poin sama-sama punya akurasi (FG) 20 persen, 20 persen!

Jika Anda melihat gimnya, maka Anda akan sadari bahwa pemain hanya berlari-lari saja di lapangan. Melakukan tembakan demi tembakan yang jelas tidak dipikirkan mana persentase yang tinggi mana yang rendah. Fastbreak, berujung tripoin yang sepanjang gim hanya masuk 1 banding 6,7,8 tembakan. Set play berujung tembakan mid-range yang dilepaskan karena waktu sudah mau habis. Tembakan di bawah ring pun gagal berulang kali. 

Saya tidak akan fokus pada mencari siapa yang salah, semuanya harus duduk bersama untuk mencari jalan keluar dari kegilaan ini. Hal seperti ini, tidak boleh terjadi lagi di basket profesional. Haram.

Beruntung sekali mereka main di Indonesia, dengan deretan masyarakat yang sangat santun. Tidak ada satupun umpatan yang terdengar saat satu tim tidak mencetak poin untuk jarak waktu yang lama. Sebaliknya, beberapa justru masih bisa bilang "good game," atas dasar menghibur tim yang bermain.

Dari gim-gim ini pula saya kembali ke perbincangan dengan beberapa pemain asing yang pernah bermain di IBL. Mereka mempertanyakan hal yang sama, "Kenapa di Indonesia bermain basket rumit sekali? Kenapa jarang sekali melakukan two-man game, pick n roll, dan hal-hal sederhana lainnya?"

Kala itu, saya berpikir bahwa jawabannya adalah pelatih yang menggambarkan pola-pola tersebut, mereka seharusnya yang bertanggung jawab. Namun, semakin ke sini, saya sendiri mengalami pergeseran pemikiran.

Setelah melihat gim demi gim, saya sadari bahwa konsep memanfaatkan mismatch tidak sering dilakukan oleh para pemain. Padahal, ini adalah salah satu faktor penting dalam two-man game. Bahkan, bisa dibilang mereka sering tidak sadar bahwa senter mereka sedang mismatch dijaga garda di area dekat ring. Pun begitu sebaliknya, garda mereka sedang dalam situasi satu lawan satu dengan senter lawan di area top. 

Ya, jenis-jenis permainan sederhana yang diungkapkan pemain-pemain asing itu adalah jenis permainan yang mengandalkan kemampuan bermain satu lawan satu. Gaya bermain yang sering kita sebut "Amerika banget", karena tidak banyak bola yang mengalir. Kemungkinan besar, pemain kita memang tidak cukup menguasai permainan ini, tidak cukup punya banyak trik dalam bermain satu lawan satu.

Saya bilang kemungkinan karena saya tidak tahu pasti mengapa pemain-pemain ini jarang bermain satu lawan satu. Namun, secara logika, jika Anda menguasai satu hal dengan sangat dalam, "mastering", "nglotok", seharusnya Anda akan terus-menerus menggunakan hal itu bukan?

Seperti unggahan kami di Instagram @mainbasket tentang Arki Dikania Wisnu. Di mana gerakan ia menerobos ke sebelah kiri lawan terjadi berulang-ulang kali. Dirk Nowitzki, DeMar DeRozan, mendiang Kobe Bryant, yang gemar menembak dari mid-range. Hingga di sepakbola ada gerakan terus berulang dari mantan pemain Chelsea, Real Madrid, dan Bayer Munchen, Arjen Robben yang menyerang dari sisi kanan, bergerak ke tengah, dan melepaskan tembakan. Ini semua adalah hal yang terus dilakukan mereka dan terus tak terhentikan.

Repetisi di latihan yang berujung dengan eksekusi di pertandingan. Hal yang terus diulang-ulang dalam kehidupan sehari-hari akan menjadi kebiasaan yang tanpa kita lakukan tanpa sadari.

Kembali ke dasar, kembali ke basic, kembali ke fundamental adalah satu-satunya jawaban yang terlintas di pikiran saya. Meski bermain secara tim, basket sangat bergantung kepada kemampuan individu setiap personelnya. Bukan hanya basket sih, semua yang bekerja secara tim, sangat bergantung dengan kemampuan individu setiap anggotanya.

Permainan satu lawan satu adalah (dan seharusnya) bagian dari ketangkasan individu yang wajib dimiliki dan diajarkan kepada setiap pemain basket. Untuk seseorang yang ingin menjadi profesional, maka hal ini tak hanya dimiliki, namun harus dikuasai, bahkan wajib sangat baik dalam melakukan hal ini. 

Sistem harus berubah, kultur pun harus berubah jika kita sungguh berniat menghidupkan, menumbuhkan basket sebagai sebuah industri. Penonton/pasar hadir karena ada suguhan di lapangan, apalagi basket sampai sekarang tidak cukup membawa unsur kedaerahan atau ikatan emosional dengan para penontonnya. 

Jika pengalaman pertama mereka datang ke pertandingan basket harus menyaksikan gim yang berujung dengan salah satu atau bahkan kedua tim hanya mencetak 30-40 poin, hanya berlari kanan-kiri, saya rasa mereka tak akan kembali lagi.

Tak berhenti di situ, mereka akan cerita ke teman mereka bahwa basket Indonesia ternyata tidak seru, jauh, jaaaauuuhhh sekali dengan NBA. "Mending kita bayar NBA League Pass saja untuk menyaksikan aksi-aksi pemain NBA", dan akhirnya industri yang ingin dicapai stagnan atau bahkan mati.

Kembali ke dasar adalah jawaban dari pengembangan industri basket. Kuatkan dulu fondasi, kuatkan terus fondasi sembari terus merencanakan dan membangun sampai atap dari basket ini. Tidak ada yang tidak mungkin, selama kita memang benar-benar mau. Klise memang, tapi jika melihat basket kita, kalimat klise ini jelas punya makna yang dalam. 

Foto: Hariyanto

Komentar