IBL

"Bertahanlah kawan-kawan, demi orang-orang yang kalian sayangi, demi keluarga kalian, dan demi diri kita sendiri.

Tanggal 2 Maret 2020, saat pertama kali kasus positif korona diumumkan di Indonesia. Saat Bapak Presiden mengumumkan dua orang WNI, yaitu pasangan ibu dan anak dari Depok, Jawa Barat adalah korbannya. Bola terus bergulir, hanya butuh waktu sekitar sebulan untuk sang virus menjelajahi seluruh provinsi di Indonesia. Tepat 9 April 2020, satu provinsi terakhir yang melaporkan kasus pertamanya, Gorontalo. Sejak saat itu, kita seperti dibawa dalam drama roller coaster dengan grafik kasus sang virus Covid-19 ini. Naik, turun, naik lagi, semakin naik, kadang turun, ya begitulah sampai dengan saat ini. Dari yang awalnya tampak mengerikan, dan mencoba meyakini diri bahwa “jangan sampai tertular”, sampai ke tahap yang sudah dekat, saat ini bahkan si virus sudah sampai ke circle kita, saudara, teman, orang tua teman, atau bahkan kita sendiri.

Banyak orang-orang di layar kaca menyatakan kondisi baik-baik saja, semua aman terkendali, manut saja dengan peraturan, dan lain-lain. Banyak pula yang berkata, ayo kita berinovasi, kita cari cara kreatif, tetap berkarya, pakai media online untuk segala aktivitas kita. Tidak ada yang salah dengan semua itu, inovasi dan kreativitas, pun dengan media online, banyak yang sudah berhasil.

Banyak yang masih bisa berkerja dari rumah saja, mengadakan meeting melalui aplikasi zoom, skype, dan sejenisnya. Banyak yang masih bisa berkumpul dengan keluarganya, menonton tv streaming, ataupun menonton sinetron Ikatan Cinta sebagai penghibur, dengan gaji bulanan yang masih mengalir, atau paling tidak berkurang mungkin paling banyak 50 persen. Juga ada yang masih bisa menyempatkan diri berlibur, walau hanya menginap di hotel dalam kota, renang bersama anak-anak tercinta. Ya walaupun di depan rumahnya tertulis “rumah ini dijual”, karena siapa yang sanggup membayar cicilannya, sedangkan gaji tidak full diterima. Atau juga sambil mengiklankan mobil di situs-situs jualan online.

Namun, coba lihat ke bawah, lihat ke jalanan, lihat lebih dalam lagi. Setahun lebih ini, berapa banyak orang yang kehilangan mata pencariannya. Di Terminal, saat sopir bus dan sang kernet bahkan sulit sekali untuk mencari penumpang. Saat tak ada penumpang, lantas bagaimana PO selaku pemilik bus bisa mendapatkan uang? Tak ada uang, tentu saja tak bisa menjalankan perusahaannya. Perusahaan sekarat, ya, dipecatlah sang sopir bus. Bisa beruntung jika tidak sampai dirumahkan, hanya dikurangi saja pendapatannya. Porter kereta api? Belum diserang virus saja sudah sepi pendapatan, ini malah tidak ada penumpang yang mau naik kereta api. Apa yang mau dipakai makan? Di warteg pinggir jalan, saat tidak ada orang yang makan di sana, lantas apa yang bisa menghasilkan uang? Ya sudah ditutup saja warungnya, wong ngga ada yang beli. Mau kulakan bahan masakan pakai daun? Tutup warung, ya tidak ada pendapatan (harian). Biasa tiap hari pegang uang, walau tidak banyak, minimal sepuluh-dua puluh ribu dapatlah. Sekarang? Syukur-syukur masih bisa menghirup oksigen. Inovasi pakai aplikasi online? "La wong ngga nggabruk duwe HP," kalau kata orang Jawa. HP sudah dijual untuk bertahan hidup. Pegawai toko-toko atau yang kerja di Mall? Mall tutup sehari saja kerugian bisa mencapai 20 miliar. Kalau yang punya toko atau mall merugi, ya mana mau menggaji karyawannya cuma buat menunggui toko. Ya sudah, dirumahkan saja. Mau bayar pakai apa, tidak ada transaksi sama sekali. Juga toko disuruh tutup buat yang bukan sektor esensial. Oke, coba perhatikan pula di pasar tradisional yang besar. Dulu, mau jalan saja di pasar biasanya susah. Pedagang kadang terlihat judes saking ramainya pasar besar. Sekarang, mereka lebih ramah, memanggil para pembeli, yang bahkan tidak ada setengahnya dari saat ramainya dulu. Ya karena memang tidak ada yang beli. Hey, baru saja juga tengah viral para tukang reparasi HP, sampai harus turun jalanan, memanggul kertas kartun lusuh bertuliskan “Kami hanya cari makan”.

Coba cek sektor lain, sektor seni dan olahraga, yang digaungkan sebagai sektor hiburan rakyat. Sejauh usia pandemi ini melanda Indonesia, hitung berapa banyak kompetisi olahraga ataupun konser diselenggarakan? Mungkin hanya liga bola basket profesional yang jalan, dengan berdarah-darah sepertinya. Musisi atau seniman lainnya manggung di mana? Restoran tutup, café tidak boleh buka, mall apalagi. Mau manggung di perempatan jalan? La nanti pengamen, badut-badut jalanan, dapat apa? Manggung di tv?  Berapa banyak seniman yang berebut panggung tv?

Sepakbola Nasional, yang sering dikabarkan izin sudah turun, namun berakhir dengan kata-kata “ditunda”, berapa banyak menyangga perekonomian rakyat. Pemain sepak bola butuh panggung untuk bermain, di sebuah kompetisi, biar dapat gaji. Tidak ada kompetisi, terus buat apa ada klub? Cuma buat kebanggaan sebuah kota? Klubnya juga tidak ada pendapatan, ya sudah tidak perlu mengontrak pemain. Kompetisi tidak jalan, ya tidak ada pedagang kaki lima yang jual makanan, minuman, kostum kw, topi, syal, dan lain-lain. Wasitnya apalagi, mau niup apa kalau tidak ada pertandingan.

Bayangkan, itu olahraga yang katanya paling populer di dunia. Apa kabar nasib olahraga-olahraga yang katanya ngga keren lainnya? Apa kabar wasitnya? Para pemainnya?  Pelatihnya? Kompetisinya? Gedung olahraganya?

Pindah ke sisi lain, dunia Pendidikan. Sekolah tetap harus ada, bagaimanapun caranya. Lewat online adalah hal paling masuk akal. Coba lihat lagi, berapa banyak orang tua yang rela menghabiskan seluruh sisa tabungannya, untuk membeli kuota, membeli HP, demi sang anak bisa sekolah. Berapa banyak juga para guru harus membeli sendiri kuotanya untuk sekolah online ini. Belum lagi harus memikirkan caranya bagaimana materi bisa sampai. Materi sekolah sekarang tidak efektif, harus dibenahi kurikulumnya, kata orang-orang di luar sana. Bagaimana coba caranya membenahi dengan kondisi saat ini? Kondisi normal saja susah sekali membenahi sistem pendidikan, apalagi saat ini.  Bisa sekolah saja sudah syukur. Terus, bagaimana nasib gedung sekolah atau kampus-kampus yang terbengkalai selama lebih dari setahun? Sedangkan biaya listrik dan air serta pemeliharaan juga tidak mungkin dihapuskan. Bagaimana nasib bapak ibu tukang kantin? Bagaimana para office boy di kampus-kampus? Atau usaha kost-kostan di sekeliling kampus? Usaha laundry? Coba lihat, cek, masih adakah mereka?

Sedih, menyayat hati, bagi yang merasakannya. Lihat di sekeliling kita, saat sepertinya tak ada lagi gairah kehidupan. Biasanya teman-teman mungkin sibuk dengan pekerjaannya, anak-anak kecil ramainya pergi ke sekolah, berkejar-kejaran dengan teman sebaya, para pegawai kantor dengan sok gayanya nongkrong di café pegang kopi, terminal yang ramai bersahut-sahutan para kernet menawarkan tumpangan. Menyedihkan pula, saat kegiatan keagamaan dibatasi, bahkan sudah dua kali shalat hari raya terlewatkan tanpa kemeriahannya. Ya Allah rasanya ingin menangis.

Tidak, jangan menyalahkan siapa-siapa, jangan menyalahkan yang tidak percaya covid, jangan menyalahkan yang tidak mau vaksin, jangan menyalahkan pemerintah, jangan menyalahkan pejabat yang bergaji besar, jangan menyalahkan para PNS atau pegawai yang masih bergaji bulanan, jangan pula menyalahkan aturan-aturan yang sudah ada.  Pun juga jangan membandingkan kehidupan di negeri kita ini dengan mereka yang di luar negeri, di Inggris sudah bebas masker, di Eropa sudah keluar juara Euro, di Singapura sudah mulai mencoba hidup berdampingan dengan sang virus.

Saat ini, yang bisa kita lakukan adalah terus bertahan, demi keluarga kita, demi orang-orang yang kita sayangi. Lakukan apa yang menurut kita perlu dilakukan untuk menjaga keluarga kita dan diri kita sendiri. Di agama pun sudah diajarkan, bagaimana menjaga kebersihan, bagaimana beribadah sesuai tuntunan, bagaimana menghadapi cobaan. Berbuatlah hal positif. Kalau kamu orang yang dekat dengan sang pemangku jabatan, bolehlah coba berusaha sedikit bisikkan nasib orang-orang di jalanan, mungkin ada kebijaksanaan khusus. Atau kalau kamu punya akses untuk memberikan bantuan dari pemerintah atau dari manapun (apapun itu bentuknya), kamu bisa coba salurkan ke orang yang kamu tahu pasti sangat membutuhkan. Kalau kamu ada sedikit rejeki, coba belanjalah di tukang sayur atau pasar tradisional dekat rumahmu. Atau kamu bisa juga beli makanan di tukang nasi goreng dukduk, tukang sate atau tukang bakso yang lewat. Tidak ada salahnya juga kamu beli produk teman kamu yang buka warkop atau café, yang dijual online, walaupun kamu tahu sebenarnya mereka orang mampu. Kalau kamu ada sekiranya pekerjaan, walau hanya mencabut rumput atau membersihkan rumahmu, coba lihat sekelilingmu, mungkin ada orang yang butuh pekerjaan, walau remeh-temeh, tapi mungkin akan berarti bagi mereka satu rupiahnya. Jika kamu ingin membantu para pelaku olahraga, dan kondisimu memungkinkan, coba buatlah sebuah single game, hanya satu saja, undang wasitnya, bayar mereka, undang teman-temanmu untuk bermain, sambil perhatikan aturan yang berlaku, atau mintalah izin minimal pada pemangku jabatan setempat. Pun dengan kondisi kamu tidak ada rezeki, tapi kamu punya ilmu, buatlah sebuah kelas sederhana, satu materi video, manfaatkan gadget-mu, misalnya kelas membuat tabel di excel. Posting saja pada media sosial milikmu.  Entah ada yang like atau tidak, tak apa, yang penting kamu sudah mencoba melakukan hal positif. Tampak sederhana, namun mungkin berguna bagi seorang mahasiswa atau pelajar yang kesusahan untuk tugas online-nya. Lakukan apa yang bisa kamu lakukan. Ciptakan suasana positif, hati positif, dan lingkungan yang positif. Teruslah berupaya, bertahan, demi keluarga kita, demi diri kita sendiri. Sulit memang, keadaan sangat sulit, perut pun saat tak ada yang bisa dimakan, akan mengalahkan segala logika. Tapi percayalah, Allah tidak akan memberikan cobaan melebihi kemampuan umatnya.

Kelak, di saat kehidupan mulai normal kembali, atau setidaknya mulai berubah lebih baik, saat mungkin kita pada akhirnya hidup berdampingan dengan virus, ingatlah bahwa apa yang sudah kita jalani ini dengan penuh darah, air mata dan keringat, yang sudah mengambil ribuan nyawa, menghilangkan ribuan mata pencaharian, haruslah menjadi bahan kita, sebagai diri sendiri, sebagai bagian dari masyarakat, dan bangsa ini, untuk introspeksi, berserah diri pada Allah, dan meyakini, bahwa kehidupan adalah milik Allah Semata.

Bertahanlah kawan-kawan, demi orang-orang yang kalian sayangi, demi keluarga kalian, dan demi diri kita sendiri."(*)

Foto: Unsplash.

Komentar