IBL

Wabah COVID-19 yang disebabkan virus Corona telah mengganggu banyak hal. Pertandingan-pertandingan olahraga mesti ditunda. Sepak bola Italia (Serie A) terpaksa berhenti sementara. Kompetisi-kompetisi sepak bola Asia juga tidak jauh berbeda. FIFA dan AFC bahkan menunda kualifikasi Piala Dunia.

Dalam dunia bola basket terjadi hal serupa. BBM CLS Knights Indonesia, yang berlaga di Thailand Basketball Super League (TBSL) 2020, pulang sebelum waktunya karena pemerintah setempat melarang gelaran-gelaran yang mengundang banyak orang. Panitia sebenarnya sempat melempar wacana untuk menggelar pertandingan secara tertutup. Namun, pemerintah sudah mengetuk palunya lewat surat-surat edaran. Seandainya panitia nekad melanjutkan, mereka bisa sampai dipenjara.

Indonesian Basketball League (IBL) baru-baru ini juga memindahkan pertandingan musim reguler dari Jakarta ke Malang. Sebab, pemerintah Ibukota mengimbau masyarakat untuk tidak menggelar acara besar-besaran. IBL sempat galau sebelum memutuskan memindahkan seri ketujuh kembali ke Jawa Timur.

Saya yakin liga-liga olahraga ini mengalami kegalauan saat memutuskan segalanya. Virus Corona membuat mereka sulit mengambil langkah. Rencana mereka kacau balau. Belum lagi harus menghadapi fan yang kecewa karena liga dihentikan atau dipindahkan. Lihat saja komentar-komentar di Instagram IBL.

Ah, tapi, mau bagaimana lagi? Ini tentu bukan salah siapa pun. Wabah terjadi begitu saja. Meminimalisasinya adalah tugas kita bersama.

Sayangnya, akibat upaya minimalisasi, beberapa pihak menjadi menjadi korban. NBA, liga bola basket tersohor sedunia, bersama liga-liga mayor Amerika Serikat saja sampai membatasi akses media ke ruang ganti. Padahal di sana ibarat “area panas” untuk mengulik berbagai informasi.

NBA juga melempar wacana untuk menggelar pertandingan tanpa penonton. LeBron James, megabintang Los Angeles Lakers, menolaknya mentah-mentah. Ia tidak ingin tampil tanpa fan. Sulit membayangkan James melakukan ritual melempar kapur ke udara, tetapi di depannya hanyalah deretan bangku kosong.

Damian Lillard, garda Portland Trail Blazers, rupanya berpandangan serupa. Ia ragu NBA bisa menggelar pertandingan tanpa penonton. Sudah sejak lama fan adalah sebagian besar dari mereka.

Lagipula, memangnya virus Corona tidak bisa menyebar lewat pemain ke pemain? Kok, hanya fan yang tidak bisa masuk ke arena?

Pertanyaan di atas muncul bukan tanpa tedeng aling-aling. Adalah Nuno Espirito Santo yang membuat saya bisa bertanya seperti itu. Dalam sebuah laporan, manajer klub sepak bola Inggris Wolverhampton Wanderers itu merespon wacana Premier League menggelar pertandingan tanpa penonton dengan mengatakan, “Mengapa tidak menyetop sepak bola sekalian? Apakah kita merasa bahwa kita boleh bersentuhan sementara fan tidak?”

Rasanya, Nuno ada benarnya. Pemain juga manusia. Mereka bisa terpapar wabah yang sama. Bahkan, dalam sepak bola maupun bola basket, kontak fisik adalah makanan sehari-hari. Sementara virus Corona menular lewat droplet seperti percikan air liur. Biasanya saat batuk atau bersin.

Droplet ini bisa mengenai siapa saja yang berada di sekitar orang yang terinfeksi virus Corona. Bisa pula jatuh ke permukaan benda-benda yang tidak jauh darinya. Maka, semua orang sebenarnya berpotensi menularkan wabah. Utamanya mereka yang memiliki riwayat berpergian ke tempat-tempat yang terjangkit.

Oleh karena itu, kita diminta untuk menjaga kebersihan. Cucilah tangan dengan baik. Apalagi setelah buang air. Sebab, penelitian lain mengatakan bahwa virus Corona bisa menyebar lewat feses. Jika seseorang yang terinfeksi virus tidak mencuci tangan dengan air mengalir plus sabun, maka ia berpotensi menyebarkannya lewat benda-benda umum, seperti pegangan pintu dan tombol lift.

Sebenarnya saya juga mulai khawatir karena virus Corona terdeteksi masuk ke Indonesia. Langkah IBL memindahkan serinya ke Malang pun terasa jadi masuk akal. Namun, belum tentu benar. Meminjam pertanyaan Nuno: Mengapa tidak menyetop bola basket sekalian?

Ah, tapi, mau bagaimana lagi? Ada yang mesti terus berjalan. Ini bukan salah siapa-siapa. Saya pun pasti galau kalau jadi pemangku kebijakan.

Hiks...

Komentar