IBL

Dari perjalanan saya ke kota-kota penyelengaraan DBL, salah satu pertemuan yang paling saya syukuri adalah pertemuan dengan Taufik Shaleh. Kami berbincang sekitar setengah jam untuk membahas bola basket dan dunia kepelatihan. Kebetulan Opik—begitu orang-orang memanggilnya—baru kembali setelah vakum selama dua tahun.

Saya mensyukuri pertemuan itu bukan karena lamanya perbincangan kami. Namun, lebih kepada isi perbincangan kami. Saya belajar dari Opik tentang pentingnya pengembangan karakter dan persoalan menjaga minat terhadap bola basket.

Opik sendiri merupakan Kepala Pelatih Honda DBL All-Star 2016. Ia sempat berhenti dari dunia kepelatihan karena kerja samanya putus dengan SMAN 1 Baleendah. Kini, ia kembali ke sana dengan memegang SMAK Trimulia Bandung. Mereka melaju sampai ke Big Four di Honda DBL West Java Series 2019. Sayangnya, Trimulia tumbang oleh SMA Regina Pacis, yang kemudian menjadi juara.

Setelah vakum, akhirnya kembali melatih. Seperti apa rasanya?

Menyenangkan. Melatih itu kan passion, jadi selama vakum tetap belajar, tetap nonton game, datang ke kompetisi-kompetisi. Dulu berpikir, kalau suatu hari comeback, saya siap. Tidak vakum dan sudah saja begitu.

Selama vakum bahkan naik license ke A. Seperti ada Pra-PON, saya nonton. Ada kompetisi apa lagi, nonton.  Di Bandung tetap mengikuti basket.

Alhamdulilah, comeback-nya menyenangkan. Dalam artian, bisa sampai Big Four di DBL. Lumayanlah.

Ceritanya seperti apa bisa melatih Trimulia?

Ceritanya, headcoach Trimulia itu kosong. Sekolah ini kan terdiri dari SD, SMP, dan SMA. Kebetulan koordinator basketnya itu Yudis.

Headcoach SMA mundur karena satu dan lain hal beberapa bulan mau DBL. Yudis lalu menawarkan.

Berapa lama sebelum DBL ditawarkan posisi ini?

Hmm, hampir sebulan. Latihan intens cuma beberapa minggu. Dua minggu, tiga minggu begitu.

Dengan waktu mepet, saya berpikir siap tidak ya? Ternyata siap karena waktu vakum sering datang, nonton anak-anak itu. Jadi, saya tahu mereka. Okelah, dicoba.

Waktu dulu, setiap saya menonton turnamen, selalu greget. Aduh, ingin merasakan lagi kompetisi. Akhirnya, saya terima challenge ini.

Alhamdulilah, anak-anaknya juga menerima, menurut. Mereka pintar-pintar. Jadi, tidak terlalu susah mengurusnya.

Vakum dulu berapa lama ya?

Vakum itu, kapan ya? Tahun 2016 itu masuk All-Star. Sekitar bulan November. Tahun 2017 masih ikut DBL. Pertengahan tahun masih ikut DBL. Setelah DBL, di-cut sama sekolah, sama SMAN 1 Baleendah.

Berarti dari 2017 sampai 2019. Ada dua tahun. Dua tahun kurang.

Merasa hampa tidak saat vakum?

Ya itu, jadi bukan hampa lagi. Setelah di-cut, langsung down. Down berapa bulan. Sekitar enam bulan lebih. Sampai berpikir tidak mau lagi melatih basket, malas.

Tapi, kemudian berpikir, percuma doang apa yang selama ini saya jalani. Achievement apa pun. Sudah All-Star atau apalah. Percuma kalau berhenti.

Kemudian, saya berusaha mengobatinya dengan belajar. Pas ada kesempatan naik license, saya ambil. Ada pertandingan apa, saya kejar buat nonton. Cara mengobatinya begitu, termasuk ke Lampung kemarin yang kita pernah cerita.

Saya masih ingin berkiprah di sini, berkontribusi buat basket Indonesia. Kalau pertanyaannya hampa, ya jelas. Passion saya di situ. Kalau tiba-tiba harus berhenti, ya down.

Sudah dapat ilmu dari All-Star di Amerika, naik lisensi kepelatihan ke A, dan segala macamnya. Penerapannya seperti apa? Apalagi setiap pelatih punya filosofinya sendiri-sendiri saat melatih.

Dari apa yang sudah dijalani, buat saya memang yang paling penting itu basic, fundamental. Kalau fundamental tidak bagus, pasti ke sananya mentok. Meski pun seorang anak main bagus, saya yakin dia akan mentok di satu titik seandainya fundamental tidak bagus.

Contohnya, ada beberapa anak-anak di Bandung yang begitu. Ada yang punya fisik bagus, size oke, tapi karena fundamentalnya tidak bagus, akhirnya mentok.

Ada pula yang di sini main bagus banget, begitu masuk DBL Camp tidak ada apa-apanya. Karena memang fundamentalnya jelek. Akhirnya kembali lagi ke basic. Kalau anak-anak ini mau juara DBL, harus mau melatih hal-hal kecil.

Makanya, kemarin pas ke Lampung, penataran, saya tekankan kepada teman-teman di sana untuk kembali ke basic. Mulai benahi fundamental dari kecil. Misalnya mulai dari SD. Kalau tidak bisa SD, mulailah dari anak-anak SMP. Benahi anak-anak itu.

Kalau bicara mengenai daerah, seringkali baru tahu seperti apa fundamental. Seperti apa basic shooting, dribbling, dan lain-lain.

Dari dulu, filosofi saya defense. Semua permainan bermula dari defense. Waktu interview dengan (Andrew) Vlahov dan coaches WBA (Word Basketball Academy Australia) juga jawabnya begitu. Buat saya, start from defense.

Percuma kalau pemain bisa cetak poin banyak, tapi tidak mau defense. Ujungnya kalah-kalah juga. Makanya, fundamental itu harus dibenahi. Dari basic defense ke lainnya.

Rata-rata sekarang anak-anak punya naluri offense. Misalnya, datang ke lapangan, ada bola langsung menembak. Tidak ada yang datang ke lapang, langsung slide defense. Tidak ada itu.

Makanya harus dilatih. Apalagi sekarang tontonannya NBA semua. Itu highlight isinya offense semua. Nalurinya menembak, menembak, menembak.

Memang benar basket sekarang berubah. Kalau nonton FIBA World Cup, Asia sudah tidak ada apa-apanya. Pick and roll saja berubah. Tim Asia, masih harus pick terus drive. Tim Eropa, begitu pick langsung tembak.

Anak-anak sekarang meniru begitu. Stephen Curry, di NBA, kerjaannya menembak. Cuma tidak dibarengi fundamental yang benar. Harusnya anak-anak ini tahu, kalau mau menembak yang benar, latihan menembaknya kayak Stephen Curry.

Balik lagi, tadi waktu mepet buat mengurus Trimulia. Persiapan cepat sekali. Bagaimana mengaturnya?

Secara offense, Trimulia ini sudah oke. Jadi, begitu saya masuk, tinggal merapikan defense. Koordinasi defense itu harus bagus. Okenya lagi, anak-anak ini smart.

Dalam berbagai hal atau basket saja?

Kalau dia smart di basket, di akademik juga bisa smart. Kemarin yang kelihatan, I.Q, basketnya cukup tinggi. Dapat instruksi tidak perlu banyak mengulang. Mereka paham dalam sekali, dua kali instruksi. Kalau tidak mengerti, mereka bertanya.

Omong-omong, melatih sejak kapan?

Bentar, 2002 mungkin. Saya lulus SMA tahun 2000.

Lah, sudah tua!

Haha, saya kelahiran ’83. Lulus SMA itu 2000. Nah, 2002 itu mulai ikut melatih jadi asisten Mas Heru (Juhatso) di Baleendah.

Saya sempat menyelesaikan kuliah. Pada 2004 ke 2005 itu sudah pegang full SMA Baleendah. Lalu, habis kuliah sempat kerja sampai 2010. Akhirnya saya kembali ke Baleendah dan berhenti pada 2017.

Kalau lihat perkembangan basket dan internet, sudah banyak sumber belajar untuk meningkatkan diri. Bahkan, sekarang ada DBL Play dan dbl.id. Mainbasket juga berusaha menjadi sarana belajar yang baik untuk teman-teman seperti Kang Opik. Ada komentar?

Saya mungkin salah satu pelatih yang sangat berterima kasih dengan aplikasi DBL. Karena bisa lihat statistik. Ada livestream juga. Saya bisa lihat rekaman pertandingan Regina Pacis sampai bisa menentukan gameplan. Itu karena teknologi.

Saya juga salah satu orang yang tidak bisa lepas dari internet dan teknologi. Jadi, pasti terbantu dengan adanya aplikasi.

Kalau buku? Jelas itu membantu banget. Membaca buku itu salah satu hal yang penting. Asupan penting buat para coach. Seperti apa yang dibagikan Doktor Yudi (Kardiman).

Pada dasarnya memang saya suka membaca. Jadi, kalau ada sesuatu yang baru, pasti diikuti.

Ada semacam idola di dunia kepelatihan?

Pelatih idola, kalau akhir-akhir ini Coach Ghibby (Giedrius Zibenas). Karena dia basket modern. Kalau dari zaman dulu, karena saya suka Chicago Bulls, saya ikuti Phil Jackson. Saya juga suka (Greg) Popovich.

Saya sebenarnya suka simple basket. Makanya pelatih-pelatih panutannya yang begitu. Bahkan, dulu sempat senang sama pelatihnya Utah Jazz, Jerry Sloan. Karena buat saya, sistem pick and roll Utah Jazz itu paling terbaik. Sampai sekarang, kalau melatih, anak-anak tuh harus nonton Utah Jazz. Mestinya begitu kalau main simple basket.

Zaman sekarang, anak-anak apa sih nontonnya? Golden State Warriors, Houston Rockets, tim yang punya pemain berkemampuan individu di atas rata-rata. Padahal anak-anak ini belum bisa begitu. Belum bisa menuruti semuanya. Harus main teamwork dulu. Seperti Chicago Bulls zaman dulu.

Bulls saja, meski punya Michael Jordan, tetap bermain tim. Dulu idola saya bukan Jordan malah. Maksud saya, Jordan itu sudah dewa—jelas. Cuma saya suka Steve Kerr dan Toni Kukoc. Mereka membantu Bulls bermain teamwork.

Nah, kalau pelatih lokal, saya tidak punya panutan. Cuma saya mengikuti beberapa pelatih. Contohnya Mr. Kim (Dong-won). Mr. Kim kan detail. Basket Korea juga, menurut saya, mementingkan defense. Itu cocok sama filosofi saya.

Makanya, kemarin saya ketika melihat Coach Ghibby, senang. Ada basket modern yang start from defense.

Selanjutnya, mau ngapain lagi? Basket kan selalu berubah-ubah, termasuk di Bandung. Persaingan juga berubah. Apa yang harus dilakukan agar mendominasi?

Kalau prestasi, soal dominasi, sebenarnya itu bonus. Karena buat saya, jadi pelatih itu yang utama adalah bagaimana seorang anak bisa bermain basket dengan benar dan menerapkan nilai-nilai basket ke kehidupannya. Jadi, dia harus baik. Karakternya itu harus baik.

Misalnya kita bicara prestasi, juara, berarti itu karena kebaikannya dia. Latihannya benar. Kehidupannya benar.

Kami sebagai pelatih juga update kan. Mau juara apa, latihannya bagaimana. Dalam persiapan berapa lama, harus bicara apa saja. Bicara sistem, bicara teori. Namun, kalau karakter pemain tidak bisa mengikuti sistem itu, sulit. Makanya buid the team-nya harus bareng. Bagaimana caranya, kalau ingin juara, kita punya sistem teknis dan nonteknis di halaman yang sama. Biar anak-anak bisa mengikuti sistem yang dibentuk.

Sulit itu. Misalnya, kalau mau membandingkan antara Trimulia dan Baleendah, ada saja bedanya. Di Trimulia, ada latihan jam lima pagi, saya tidak pernah dengar ada yang mengeluh. Dulu di Baleendah, latihan pagi saja mengeluh. Itu karakter. Itu mental. Nantinya akan menjadi faktor pembeda. Yang susah adalah menyiapkan anak-anak biar mau mengikuti sistem, plan kita.

Itu jangka panjang. Kalau jangka pendek? Tahun depan, misalnya?

Setelah DBL ini belum ada apa-apa. Ada turnamen, tapi ya kecil-kecilan. Kalau berbicara Trimulia, tim kemarin itu ada delapan orang masih kelas 11, jadi tahun depan cuma keluar dua. Kami ingin mencari lagi yang sesuai kebutuhan. Harusnya tahun depan bisa lebih berbicara. Bisa juaralah harusnya.

Kalau bicara soal DBL, tahun ini seperti apa? Juaranya dari Bogor, main di Bandung, hahaha.

Hahaha, ini pasti jadi serbasalah. Final di Bogor, juaranya Bandung. Final di Bandung, juaranya Bogor. Cuma tahun ini DBL ada progress yang oke, kayak aplikasi dan livestreaming. Dari sisi rules, soal minute play, sudah oke.

Tapi, bagaimana pun, masih ada yang harus dievaluasi. Misalnya soal respect the game. Soal itu tujuannya saya yakin baik. Cuma penerapan di lapangan belum bagus. Satu, dari sisi margin. Kalau bicara soal Bandung, margin 15 poin itu tipis sekali buat respect the game. Berapa kali kami malah disalip. SMAN 2 Bandung juga disalip.

Kemarin Trimulia punya gameplan lawan Regina Pacis di Big Four. Setelah lihat video, saya pikir Regina Pacis ini kalau ditekan dari depan permainannya tidak berkembang. Begitu dicoba, ternyata benar. Eh, kuarter satu malah sudah respect the game.

Saya yakin Regina Pacis ini bukan tim sembarangan. Masalahnnya, gameplan Trimulia berjalan. Lagi enak, malah kena respect the game dengan margin yang terlalu ketat. Terpaksa harus mundur, pace berubah. Begitu akurasi kami jelek, susah mengangkatnya lagi.

Maksud saya, respect the game ini tahun depan mungkin mesti dievaluasi. Misalnya, marginnya ditambah atau apa. Karena terlalu ketat untuk sebuah respect the game. Saya kira DBL lebih mengerti. Mereka dari kota ke kota pasti evaluasi. Yang lain soalnya sudah oke.

Menurut saya, respect the game ini juga mestinya bisa menghormati tim-tim yang melakukan hal yang lebih dari yang lain. Ada yang latihan lebih gila, ada yang latihan lebih berat untuk bisa memimpin skor sejauh mungkin. Untuk mencetak angka sebanyak itu kan tidak mudah. Kalau margin respect the game-nya terlalu ketat, kasihan juga.

Oke kalau begitu. Terima kasih sudah mau wawancara.

Siap, terima kasih banyak.

Foto: DBL Indonesia

Komentar