IBL

Berpuasa di Indonesia, negara yang mayoritas muslim, tentu berbeda rasanya dengan berpuasa di Amerika Serikat. Mengacu pada data Pew Research Center, di akhir 2020, sekitar 78,3% penduduk Negeri Paman Sam beragama kristiani sementara pemeluk agama islam hanya 0,9%. Itu artinya, hingar bingar Ramadan hingga Lebaran di sana tidak akan sama dengan di Indonesia.

Menjadi kaum minoritas menghadirkan cerita menarik di belakangnya. Perjuangan yang dijalani pun tampak lebih terasa. Bisa jadi, itulah yang sedang dirasakan pebasket NBA beragama islam. Mereka masuk dalam kalangan di bawah 1% penduduk Amerika Serikat. Dengan liga yang terus berjalan, pebasket muslim harus mengatur kondisi fisiknya agar tetap tampil prima meski tengah berpuasa dan beribadah lima kali sehari.

Bahasan ini tidak akan jauh dari dua sosok legenda NBA: Kareem Abdul-Jabbar dan Hakeem Olajuwon. Status mereka sebagai panutan sudah melekat apalagi namanya sudah masuk dalam NBA Hall of Fame. Satu lagi nama yang akan selalu diingat adalah Mahmoud Al-Rauf. Tahun 1996, ia dihukum oleh NBA ketika ia menolak berdiri dan memberi penghormatan saat lagu kebangsaan Star Spangled Banner berkumandang.

ESPN sempat mewawancarai Gorgui Dieng dan Kenneth Faried sebagai perwakilan pebasket NBA aktif pemeluk islam. Mereka punya cara tersendiri dalam menyeimbangkan karir basket dengan kehidupan beragama. Hasil wawancara keduanya telah kami sadur dengan penambahan beberapa data mengenai kedua pemain.

Gorgui Dieng

Orang tua Dieng adalah imigran muslim asal Senegal. Tahun ini menjadi tahun keenam karirnya di NBA dan berseragam Minnesota Timberwolves. Baginya, menjadi pemeluk agama minoritas terasa penuh tantangan. “Saya biasanya sholat sebelum bertanding. Bila gim berjalan lebih lama, saya kerap telat. Alhasil, saya menggantinya di ruang ganti pascagim. Tatapan heran orang-orang yang tidak pernah melihat ibadah sholat sering terpancar. Namun, saya percaya dengan setiap agama dan saya mengimani dengan apa yang saya percayai,” ceritanya.

Gorgui Dieng dan Kevin Garnett pernah bertemu dalam suatu acara di Arizona State University. Di suatu waktu, keduanya berada di ruang ganti bersamaan. “Setelah mandi, saya langsung sholat di sana. Garnett masih mandi dengan radio yang menyala. Ia selesai mandi ketika saya sedang beribadah, radionya langsung dimatikan lalu minta maaf setelah sholat saya selesai. Padahal, saya tidak terganggu sama sekali. Rasanya luar biasa punya teman seperti itu,” tutur pria 29 tahun ini.

Keluarga Dieng menjalani kehidupannya di Amerika Serikat apa adanya sebelum Gorgui jadi pemberi pemasukan terbesar sejak bermain di NBA. Gorgui muda diajarkan untuk mengenal pribadi seseorang bukan dari agama apa yang dianut. “Orang tua saya berujar demikian sehingga saya tidak begitu perhatian dengan agama orang-orang sekitar. Namun, bersikap sopan dan baik kepada semuanya jadi keharusan,” sebutnya terkait hal ini.

Tidak ada trik khusus bagi Dieng untuk menjalankan puasa dan latihan. Baginya, berkarir basket dan beragama harus dilakukan dengan profesional. Oleh karenanya, ia tidak pernah ikut undangan pesta malam dan mabuk meskipun ia sanggup melakukannya.

Kenneth Faried

Faried lahir dari ayah beragama Kristen sementara ibunya seorang muslim. Pada umur delapan, ia memutuskan mengikuti kepercayaan sang ibu setelah mempelajari Al-Quran. “Saya menderita asma yang membuat saya harus tetap mengkonsumsi vitamin. Itu tantangan terbesar saya saat Ramadan. Meski begitu, islam memberi kemudahan bagi mereka yang tidak bisa berpuasa dengan berderma,” katanya.

Menjalani musim kedelapan di NBA menjadi prestasi yang layak diapresiasi. Selama berkarir, Faried menunjukkan bagaimana ia bertanding secara maksimal meski harus berpuasa dan melaksanakan kewajiban lain. Hal itu dipermudah dengan rekan setim juga pelatihnya yang menghormati agama apapun yang dianut. “Mereka tidak pernah mempermasalahkan soal agama. Kami saling menghormati satu sama lain,” ujar pebasket 30 tahun tersebut.

Meski begitu, ia justru mendapat perlakuan kurang menyenangkan di media sosial. Apalagi ketika Faried mengunggah segala sesuatu yang berhubungan dengan agama yang dianut. “Ada komentar negatif tentang islam yang dilontarkan ketika saya mengunggah ucapan Idul Fitri atau lainnya. Tulisan tersebut justru disanggah  warganet lain yang tidak suka dengan sikap semacam itu,” cerita Faried.

Kareem Abdul-Jabbar dan Hakeem Olajuwon adalah pebasket muslim yang jadi inpirasinya dalam berkarir. Bagi Faried, keduanya tetap bisa menunjukkan kecintaan pada basket namun juga tetap percaya diri menunjukkan diri sebagai seorang muslim yang taat.

Kalimat "Laa ilaha Illallah" adalah yang terfavorit bagi pebasket yang kini jadi kompatriot James Harden di Houston Rockets ini. ”Saya merasa lebih tenang setelah mengucapkannya. Ada rasa terlindungi yang muncul di dalam benak meski di depan saya ada berbagai macam ancaman. Karena memang tidak ada yang lebih besar dari-Nya,” sebut Faried. Sayangnya, Faried dkk. terpaksa memendam hasrat untuk merasakan juara musim ini setelah kalah di gim keenam dari Golden State Warriors.  

Foto: M. Spencer Green-Associated Press, USA Today, NBA

Komentar