IBL

Permainan basket tidak melulu mengenai kompetisi atau mencari siapa yang terhebat. Hal itu jadi landasan gaya berman sekelompok pebasket berbakat Harlem Globetrotters. Mereka menyajikan sisi menghibur dari olahraga yang dibuat oleh James Naismith itu. Hasilnya pun tak lekang oleh waktu. Sajian mereka terus dinanti sebagai penyegar di tengah sengitnya kompetisi basket yang sedang berjalan.

Tanggal 7 Januari 1927, Harlem Globetrotters menjalani pertandingan pertama di Illinois setelah menjalani perjalanan 75 km dari Chicago. Gim itu menandakan eksistensi grup ini hingga kini. Nama mereka juga masuk sebagai bentuk perjuangan penghapusan isu rasialisme lewat prestasi olahraga.

Abe Saperstein (baris bawah, dua dari kanan) berfoto dengan pemimpin Uni Soviet, Nikita Khrushchev, beserta penggemar Harlem Globetrotters. Foto sekitar tahun 1950-an.

Abe Saperstein, seorang pemain dan pelatih basket, adalah pendirinya. Ia melatih tim yang dihuni oleh para pemain berkulit hitam bernama Savoy Big Five. Nama “Savoy” di ambil dari nama gedung tempat mereka biasa berlatih di Chicago. Demi meraih atensi luas, nama timnya pun dirubah dengan menggunakan “Harlem” yang diambil dari area pemukiman afro-amerika di New York.

Komposisi pemain bawaan Saperstein adalah Walter “Toots” Bright, Byron “Fat” Long, Willis “Kid” Oliver, Andy Washington, dan Al “Runt” Pullins. Komposisi itu terbukti moncer. DI tahun pertama, mereka memenangkan 101 dari total 117 gim yang dijalani. Nama mereka jadi perbincangan hangat setidaknya di daerah pesisi barat hingga tengah Negeri Paman Sam.

Tim ini dikelola oleh Saperstein sendiri. Selain sebagai pelatih, ia juga merangkap pemain pengganti, menjalankan kegiatan kesekretariatan, hingga menyiapkan seragam tanding untuk timnya. Ia menjahit sendiri jersey berwarna merah, biru, dan putih yang kemudian jadi seragam ikonik Globetotters.

Mereka terus mendominasi. Hingga 1936, mereka sudah memainkan 1000 gim. Tampil di kejuaraan tingkat nasional pada 1939. Beberapa pertandingan di antaranya dimenangkan dengan skor cukup jauh. Sejak itu, para pemain mulai memeragakan atraksi untuk menghibur penonton. Gayung bersambut. Kreativitas tersebut mengundang tepuk tangan serta gelak tawa. Meski demikian, Saperstein hanya mengizinkan melakukan atraksi ketika menang dengan skor telak.

Tahun 1948, Globetrotters memenangkan pertandingan atas Minneapolis Lakers yang juga kontestan NBA. Kemenangan itu jadi momentum penghapusan isu rasialisme di ranah basket Amerika Serikat. Pada 1950, sang penyelenggara akhirnya menghapus peraturan bahwa pemain liga basket profesional dari kalangan berkulit putih saja (White Only). Di tahun tersebut, pebasket afro-amerika mulai masuk jajaran draft untuk berlaga di level tertinggi, termasuk penggawa Globetotters yang sudah punya kapabilitas memadai.

Mau tidak mau, Saperstein harus merelakan pemain berbakatnya untuk melakoni jenjang profesional sementara permintaan tampil sebagai pebasket penghibur terus berjalan. Dari belasan alumnus Globetrotters yang bermain di NBA, muncul tiga nama yang jadi legenda. Mereka adalah Wilt Chamberlein, Connie Hawkins, dan Nat Clifton.

Untuk tim eksebisi, jam terbang mereka semakin tinggi. Pasca Perang Dunia 2, mereka kerap tampil di Benua Biru. Jerman Barat, Rusia, dan Negara Eropa Timur jadi tempat yang paling sering dikunjungi.

Wilt Chamberlein saat masih bermain untuk Harlem Globetrotters.

Harlem Globetrotters juga berkontribusi pada kultur sneaker. Di era tersebut, Converse Chuck Taylor All-Star adalah sepatu basket paling populer. Setali tiga uang, perusahaan itu kerap memberi para pemain sepatu secara cuma-cuma. Meski demikian, sepatu kanvas berkerah tinggi itu menyulitkan mereka melakukan atraksi serta gerakan tarian. Sementara, waktu itu, Converse belum menyediakan versi kerah rendah.

Alhasil, mereka menggunting kerah sepatu buatan Marquis M. Converse itu. Oleh Globetrotters, sepatu hasil modifikasinya diberi julukan “Oxford Cut” atau biasa disebut sebagai Ox. Nama Oxford terinspirasi dari sepatu boot versi kerah rendah yang acap disebut demikian. Inilah asal muasal Converse Chuck Taylor All-Star Ox atau versi rendah. Setahun kemudian, Converse baru membuat versi Ox untuk dijual secara massal.

Abe Saperstein meninggal pada 1966 sekaligus mengakhiri masa-masa emas tim yang ia bangun. Setelah itu, Globetrotters beberapa kali pindah kepemilikan mulai dari pebisnis asal Chicago hingga ke grup investor Metro Media. Kepopuleran kembali mereka raih medio 1970-an dengan Meadowlark Lemmon sebagai bintang. Namun, ketika sang bintang pensiun, popularitas Globetotters kembali merana.

Squad Harlem Globetrotters tahun 2018.

Namanya kini bisa jadi tidak sepopuler era Saperstein, namun Harlem Globetotters akan selalu melekat pada perkembangan olahraga basket. Sejarah itu tercatat dalam pelbagai penghargaan prestisius. Nama tim ini sudah diabadikan di Hollywood Hall of Fame dan Smithsonian Institute. Puncaknya terjadi pada 2002 ketika Naismith Memorial Basketball Hall of Fame memberinya penghargaan seumur hidup. Hingga kini, hanya lima tim yang masuk di jajaran penuh sejarah itu.

Harlem Globetrotters sudah tampil di 115 negara disaksikan sekitar 120 juta penonton. Mereka terus aktif menjadi tim basket eksebisionis dengan menggabungkan kehebatan individu, sirkus, dan komedi untuk menghibur penonton. Penggawanya pun sudah belasan kali mencatatkan diri di Buku Rekor Guinness  lewat torehan fantastisnya.

Foto: Situs Harlem Globetrotters

Komentar