IBL

Mungkin kita sering mendengar percakapan atau keluhan sebagian orang, “Anak zaman sekarang, susah diatur,” atau, “Duh beda ya anak zaman sekarang sama zaman kita dulu,” dan keluhan-keluhan lain sejenisnya.

Saya, sering tersenyum sendiri jika mendengar itu. Ah, kadang kita pun sebenarnya pernah menjadi bagian dari anak muda bukan? Yang “katanya” susah diatur, bandel, dan lain-lain.

Sebelum terlalu jauh menilai, mari sedikit berbagi pengetahuan. Belakangan, muncul teori generasi (Generation Theory), di mana kita diperkenalkan dengan istilah generasi X, Y, dan Z. Segala sesuatu sering dikaitkan dengan ciri-ciri dari generasi tersebut.

Generasi X (lahir tahun 1965-1980) lahir di tahun awal penggunaan PC (personal computer), video games, dan internet. Istilah disket sangat terkenal di kalangan generasi ini. Program acara MTV begitu populer di zaman itu.

Generasi Y (lahir tahun 1981-1994) dikenal dengan sebutan generasi milenium. Generasi yang mulai banyak menggunakan komunikasi instan seperti e-mail, sms, maupun pengenalan media sosial seperti Facebook dan Twitter.

Generasi Z (lahir tahun 1995-2010) sering disebut sebagai iGeneration. Hampir memiliki kesamaan dengan generasi Y, tapi mereka lebih modern, lahir di era digital, dengan aneka teknologi yang komplet dan canggih. Sejak kecil mereka sangat akrab dengan gawai canggih, dan mampu mengaplikasikan semua kegiatan dalam satu waktu, seperti nge-vlog (video blog) dengan ponsel, sekaligus mendengarkan musik dengan headset kekinian, dan tak lupa browsing tugas sekolah juga melalui ponsel.

Apapun yang dilakukan kebanyakan berhubungan dengan dunia maya. Sosial media, tak terhitung jumlahnya. Eksistensi adalah sebuah keharusan bagi generasi ini.

ANGIE_jump (1)

Dari sedikit penjelasan tersebut, mungkin sudah bisa dibayangkan, mengapa keluhan-keluhan seperti kalimat di atas terjadi. Lantas, apa hubungannya dengan bola basket?

Oke, sekarang mari kita melebar dari Generation Theory. Beberapa saat yang lalu, tepatnya 14-17 Maret 2016 berlangsung kompetisi basket pelajar internasional bertajuk Holiday Hoops Challenge di Cyberjaya, Kuala Lumpur, yang digelar oleh NBL Asia Malaysia.

Kompetisi yang melibatkan tim basket pelajar dari tiga negara, Indonesia, Malaysia dan Singapura, mempertandingkan nomor KU 15, KU 16, dan KU 17.

DBL Academy, selaku international partner NBL Asia, membuka kesempatan sebesar-besarnya kepada seluruh tim sekolah maupun klub lokal Indonesia untuk bergabung dalam kompetisi ini, mewakili Indonesia. Pada akhirnya, kesempatan ini diambil oleh Warriors Indonesia, sebuah klub atau akademi basket berlokasi di Surabaya.

Singkat cerita, saya berangkat bersama tim Warriors Indonesia menuju Malaysia. Warriors sukses berjaya di kompetisi tersebut, dengan menyabet gelar juara di kelompok usia 15, baik putra maupun putri.

Di partai puncak, mereka menaklukkan Yuk Chai Primary School, Selangor, Malaysia.

Beranggotakan pemain-pemain dari berbagai SMP di Surabaya, Yogyakarta, Jakarta, dan Denpasar, rata-rata usia pemain Warriors adalah 14 tahun. Sangat muda bukan? Maka jangan bayangkan perjalanan meraih juara begitu mudah.

Yaa, mereka adalah bagian dari generasi Z, atau iGeneration. Dengan usia yang masih sangat muda, betapa besar perbedaan yang harus dihadapi oleh ofisial maupun pelatih Warriors.

BOYS MATCH 2nd v NJC (6)

Silahkan dibayangkan, anak-anak seusia mereka sangatlah aktif, khas generasi Z. Belum ada sehari kenal, bermacam-macam energi (dan pertanyaan) aktif mereka lontarkan. Kenapa harus antri boarding, kenapa harus on time di pesawat, dan sebagainya.

Bahkan ketika berada di pesawat, 2,5 jam perjalanan mereka habiskan dengan saling bercanda di pesawat, tanpa berhenti sekalipun! Sekali lagi, saya hanya tersenyum, membayangkan saya di usia mereka, bersama tim basket saya, mungkin kami akan malu sekali bersuara keras di sebuah tempat umum seperti pesawat.

Cerita lain, menghadapi pertandingan pertama, selayaknya atlet yang mengikuti sebuah pertandingan atau kompetisi, mengatur waktu istirahat adalah hal mutlak yang harus dilakukan. Jangan bayangkan hal itu terjadi di generasi Z ini. Para Warriors muda ini, mendarat di hotel pukul sembilan malam, melihat ada fasilitas lapangan basket di depan hotel, tanpa tedeng aling-aling, segera saja bermain basket sampai jam satu malam! Energinya berlimpah sekali!

Yang tak bisa dilepas dari para Warriors muda ini, sekaligus mungkin representasi generasi Z saat ini, adalah eksistensi di dunia maya. Di manapun, kapanpun, selalu ada kata-kata, “Kak Folback (follow back) IG ku, kak tag aku, kak minta fotoku yang pas di lapangan, kak lihat Snap Chat ku,” dan semacamnya.

Dari sekian banyak “kenakalan” khas mereka, ada satu hal yang membuat kita (setidaknya saya sendiri) terenyuh. Setelah mereka merengkuh juara, saya menyempatkan diri mengobrol (tentu saja sambil bercanda) dengan mereka. Saya menempatkan diri sebagai kakak (yang harus sangat super sabar selama seminggu bersama mereka, hehehe). Mereka senang, bisa benar-benar bermain basket di turnamen ini.

Mereka senang, tidak dibebani target apapun dari kami ofisial maupun pelatih. Mereka senang, ada kesempatan membela nama Indonesia di Malaysia, walaupun melalui klub lokal, tanpa harus bingung mencari tahu di mana ada kesempatan mengikuti seleksi yang kadang waktunya bisa menghabiskan masa anak-anak mereka.

Mereka senang, ada sebagian dari kita yang peduli dan memberikan mereka kesempatan membawa nama Indonesia, sekali lagi, walau hanya melalui klub lokal. Dan sekali lagi, mereka benar-benar menikmati bermain basket, bersenang-senang di lapangan, tanpa target apapun.

WARRIORS BOYS TEAM_1

Saya jadi teringat di sebuah pertandingan NBL Indonesia (saat itu masih NBL Indonesia), M88 Aspac Jakarta berhadapan dengan Satria Muda Pertamina Jakarta. Dalam kondisi pertandingan ketat, ramai, dan penuh tekanan, Rastafari, sang kepala pelatih Aspac saat itu memarahi Point Guard sekaligus putranya Prastawa yang dengan berani melakukan shooting three point sekitar satu meter dari garis three point, sedangkan shotclock masih sekitar 20 detik, padahal saat itu Aspac tertinggal beberapa poin. Ketika time out diambil oleh Aspac, dengan “beraninya” Prastawa menyangkal balik amarah sang pelatih dan berkata (dengan nada sedikit keras), “Tenang saja Yah, masih ada dua kuarter lagi. Pertandingan belum selesai kan?”

Saya membayangkan, Prastawa dulunya pastilah anak dengan energi yang banyak, bandel, suka membantah dan bertanya banyak hal tanpa peduli apapun. Sekarang kita bisa lihat bagaimana Prastawa berkembang menjadi pemain yang “berani” bertarung di lapangan dengan postur yang bisa dibilang pendek untuk ukuran pemain basket.

Bagi saya, hal ini menjadi pelajaran bagi kita, generasi sebelumnya. Ada kalanya kita tidak hanya menuntut para generasi muda untuk selalu belajar dari generasi sebelumnya. Kita pun sebenarnya harus juga belajar dari generasi mereka. Bahwa kita tidak bisa menyalahkan mereka yang “susah diatur”.

Kita tidak bisa memaksakan cara kita kepada para generasi muda ini. Seperti contoh ketika mereka menghadapi pertandingan pertama, di mana sehari sebelumnya mereka bermain basket sampai jam satu malam.

Pada akhirnya, mereka merasakan kekalahan di pertandingan pertama itu. Karena apa? Tentu saja karena fokus mereka terhadap pertandingan tidak penuh karena kurangnya waktu istirahat.

Di generasi saya, pelatih akan dengan tegas melarang kami untuk membuang waktu istirahat. Dan kami (pada umumnya) pasti akan ketakutan dan menuruti ultimatum pelatih. Sekarang? Sekali lagi jangan bandingkan perbedaan generasi. Semua ada proses, semua ada cara masing-masing.

Apakah para iGeneration ini menyesal karena kalah di pertandingan pertamanya? Ya, tentu saja mereka menyesal, pada akhirnya mereka memahami bagaimana berharganya waktu istirahat, apalagi menjelang pertandingan. Kita, terkadang perlu membiarkan mereka jatuh, kemudian membimbing mereka dengan “cara mereka”.­­­­

Salahkah para generasi saat ini? Tidak ada salah siapa-siapa. Kita semua hanya hidup di generasi yang berbeda. Maka sangatlah aneh ketika kita membandingkan generasi kita dengan generasi sekarang. Tidak bisa lagi kita memperlakukan hal yang sama untuk generasi yang berbeda.

Tidak bisa lagi kita memaksa mereka untuk terus berjuang, seperti saat generasi kita berjuang. Mereka akan berjuang dan berusaha dengan cara mereka sendiri. Ibarat mencari sesuap nasi, generasi X akan mencangkul padi untuk bisa mendapat beras atau nasi, generasi Y akan bekerja keras untuk bisa mendapatkan uang untuk membeli nasi, dan generasi Z akan bekerja keras mencari tahu di internet/youtube di mana tempat beli nasi!

Demikian pula dengan basket. Sekarang adalah masa di mana para iGeneration ini akan mulai menampakkan diri, dengan energinya yang berlimpah. Maka mari kita biarkan mereka bersenang-senang, dengan bola basket, dengan teman-teman satu timnya.

Jangan biarkan mereka tertekan oleh target, harus menang, harus juara, harus dapat medali. Jangan bebankan mereka beragam kejuaraan ini, itu, kompetisi ini, itu.

Jangan bebankan persepsi bahwa menang adalah segalanya. Berikan kesempatan seluasnya kepada para generasi ini untuk berperan. Dalam hal apapun, mari kita manfaatkan pengalaman dan link kita untuk generasi ini, nasional maupun internasional.

Biarkan mereka bersenang-senang, senang berlari, senang melompat, senang men-dribble bola, senang show off di lapangan, senang segala sesuatu tentang basket. Biarkan mereka dengan dunianya.

Percayalah, mereka akan punya caranya sendiri, menunjukkan pada dunia, melalui basket, mereka akan menjadi kebanggaan Indonesia. Jikapun tidak berhasil di basket, mereka akan menjadi “orang” di dunianya masing-masing kelak.

Setidaknya, biarlah mereka bersenang-senang, dan tugas kita, berikanlah kesempatan seluasnya kepada mereka dari apa yang kita punya, dan biarkan mereka mendapatkan eksistensinya. Bersenang-senanglah kalian Generasi Z! (*)

 

(*) Didekasikan untuk para Warriors Indonesia, yang begitu bangga membawa nama Indonesia. Terima kasih untuk para orangtua yang memberikan kesempatan kepada anak-anak hebat ini bersenang-senang dalam basket.

Komentar