IBL

Naismith Memorial Basketball Hall of Fame setiap tahunnya mengumumkan orang-orang terpilih yang namanya berhak masuk ke deretan sejarah bola basket dunia. Pada 2018 ini, mereka mengumumkan 13 nama yang akan resmi dilantik sebagai Hall of Famer pada 7 September mendatang. Basketball Hall of Fame (BHOF) angkatan 2018 ini, di antaranya: Steve Nash, Jason Kidd, Ray Allen, Grant Hill, Maurice Cheeks, Charlie Scott, Dino Radja, Tina Thompson, Katie Smith, Ora Mae Washington, Rick Welts, Rod Thorn, dan Lefty Driessel.

Nama-nama di atas terpilih setelah berkas mereka—berupa catatan informatif dari berbagai media seperti surat kabar, majalah, dan data-data faktual lainnya—dikurasi melalui proses panjang. Setelah itu, berkas-berkas valid memasuki tahap saring dan pemungutan suara yang melibatkan komite-komite tertentu. Oleh karena itu, perlu bagi para pihak yang terlibat mengetahui sejarah para calon penerima Hall of Fame sebelum memutuskan mereka menjadi finalis.

(Baca juga: Hall of Fame, Sejarah Singkat dan Panduannya)

Dengan semangat yang sama, Mainbasket pada kesempatan ini akan mengulas kisah-kisah para (calon) Hall of Famer yang akan dilantik secara resmi September mendatang. Mereka—ke-13 Hall of Famer angkatan 2018—memiliki kisahnya masing-masing.

 

***

 

Dalam buku (dan atau film) The Hobbit, hiduplah seorang makhluk mungil dengan kaki telanjang berbulu keriting bernama Bilbo Baggins. Seperti hobbit-hobbit lainnya, Bilbo pada mulanya tidak pernah berpetualang. Namun, pada akhirnya, ia melakukan sebuah perjalanan bersama para kurcaci dan penyihir untuk merebut kerajaan dari seekor naga.

Di antara para petualang—yang isinya 13 kurcaci dan satu penyihir itu—tugas Bilbo sederhana: mencuri (steal), karena ia memang disewa sebagai seorang pencuri (thief). Tidak ada yang bisa melakukannya selain Bilbo. Namun, mencuri permata Arkenstone dari seekor naga bernama Smaug bukanlah tugas yang mudah. Itulah mengapa kehadiran hobbit begitu penting; karena tubuh mungil itu bisa melakukannya.   

Dalam kehidupan nyata, Maurice Cheeks, garda legendaris Philadelphia 76ers era 1978-1989, memiliki tugas seperti Bilbo. Dengan tinggi 185 sentimeter, ia terkenal sebagai seorang pencuri bola andal di NBA—peringkat lima pencuri bola terbanyak sepanjang masa dengan total 2310 steal—dan membuatnya kukuh di barisan pertahanan para bintang NBA.

Kala itu, Cheeks bermain sebagai garda utama bersama pemain-pemain bintang seperti Julius Erving, Charles Barkley, Moses Malone, dan Andrew Toney di Sixers. Empat nama besar pada masanya. Dalam siaran persnya ketika Cheeks dinyatakan sebagai finalis Hall of Fame, Sixers bahkan menyebutnya sebagai bagian instrumental dalam keberhasilan timnya meraih gelar juara pada 1983.

Pernyataan dalam siaran pers itu tentu bukan semata isapan jempol. Cheeks telah membuktikan kualitasnya sebagai seorang garda utama dengan kepiawaiannya bertahan. Sepanjang karirnya, ia masuk ke deretan NBA All-Defensive First Team empat musim berturut-turut (1983-1986) dan sekali All-Defensive Second Team  pada 1987.

Maurice Cheeks, garda, ketika membela tim pertamanya, Philadelphia 76ers, pada 1978-1989. Foto: Getty Images

 

Di sisi lain, Cheeks juga seorang pengumpan yang pandai. Ia berada di peringkat 13 dalam daftar pencetak asis terbanyak sepanjang masa dengan total 7392 asis. Ini menambah kuat pernyataan Sixers tentang Cheeks yang digadang-gadang sebagai bagian instrumental.

Mulanya, Cheeks bukan berasal dari Philadelphia. Ia lahir di Chicago, Illinois, Amerika Serikat, pada 8 September 1956. Ia kemudian pindah ke Texas untuk sekolah di West Texas State University pada 1974-1978. Setelah itu, barulah ia pergi ke Philadelphia.

Cheeks dipilih Sixers di urutan ke-36 ronde kedua NBA Draft 1978. Ia lalu bermain selama 11 musim di sana; menorehkan berbagai prestasi, termasuk sekali juara pada 1983. Secara total, Cheeks membantu Sixers ke final NBA empat kali.

Selama bermain untuk Sixers, Cheeks menjadi pemain yang dikagumi sekaligus ditakuti. Isiah Thomas, legenda NBA sekaligus Hall of Famer, tahu betul rasanya.

“Kami semua ingin bermain seperti dia, bertahan dan menang seperti dia,” ujar Thomas tentang Cheeks seperti dikutip The Intelligencer. “Ketika saya masuk ke NBA dan bermain melawannya, saya sangat ketakutan. Dia benar-benar pemain berkelas Hall of Fame.”

Setelah masa baktinya di Sixers selesai, Cheeks bermain untuk empat tim NBA lainnya (San Antonio Spurs, New York Knicks, Atlanta Hawks, dan New Jersey Nets). Akan tetapi, karirnya di keempat tim itu tidak segemilang di tim pertamanya. Cheeks lalu memutuskan pensiun pada 1993.

Patung Maurice Cheeks di kompek latihan Philadelphia 76ers di Camden, New Jersey, Amerika Serikat. Foto: Marc Narducci/The Inquirer

 

Punya prestasi hebat sebagai pemain nyatanya tidak membuat Cheeks menjadi pelatih yang hebat. Setelah memutuskan pensiun, Cheeks melakoni peran sebagai pelatih di CBA, lalu karirnya menanjak ke NBA dengan menjadi asisten pelatih di tim lamanya—Philadelphia 76ers.

Kala itu, Cheeks bekerja sama dengan tiga kepala pelatih Sixers (John Lucas, Johnny Davis, dan Larry Brown) pada 1994-2001. Ia mengarungi musim yang bagus, sebelum akhirnya Portland Trail Blazers merekrutnya sebagai nakhoda di bahtera mereka. Ia mengantarkan Blazers ke playoff dua kali, tetapi selalu kalah di ronde pertama. Ia kemudian dipecat pada 2004-2005 karena gagal membuat Blazers menjadi tim yang ditakuti.

Pada 25 April 2003, Cheeks kembali ke Sixers. Kali ini bukan sebagai pemain maupun asisten pelatih, melainkan kepala pelatih. Namun, di dua musim pertamanya ia gagal mengantarkan Sixers ke playoff; membuat seluruh timnya frustasi sampai menimbulkan perpecahan. Allen Iverson dan Chris Webber, dua pemain bintang kala itu, tidak senang dengan arah timnya. Bahkan Matt Barnes, forwarda pensiunan NBA, tidak senang kepadanya.

“Dia sangat menyebalkan,” komentar Barnes seperti dikutip SLAM dari The Vertical Podcast. “Saya tidak tahu kata apa yang tepat untuk menggambarkannya, pokoknya dia menyebalkan. Saya sangat tidak menyukainya, dan sampai hari ini ingin menamparnya jika ia mengatakan sesuatu tentang saya. Saya tidak menyukainya.”

Maurice Cheeks ketika menjabat sebagai kepala pelatih Detroit Pistons (2013-2014). Foto: Paul Sancya/AP

 

Di tahun ketiganya, Cheeks melepas Webber dan menukar Iverson ke Denver Nuggets. Ia berusaha merombak ulang timnya, menata generasi baru untuk membawa Sixers ke playoff. Dan benar saja, ia berhasil melakukannya dan Sixers pun melaju ke playoff lagi setelah absen sejak 2005. Namun, mereka kalah dari Detorit Piston 4-2 di babak itu.

Di musim berikutnya, Sixers memecat Cheeks karena tampil buruk di awal musim. Ia kemudian menjadi asisten pelatih Oklahoma City Thunder pada medio 2009 sebelum akhirnya berlabuh ke Pistons sebagai kepala pelatih pada 2013. Sayangnya, lagi-lagi Cheeks gagal membuat timnya ditakuti di NBA, sehingga ia dipecat di tahun berikutnya.

Setahun menganggur, akhirnya Cheeks kembali ke Oklahoma untuk menjadi asisten pelatih hingga sekarang.

 

Baca juga kisah Hall of Fame 2018 lainnya:

Jason Kidd, Legenda NBA yang Hampir Berhenti Basket

Steve Nash, Dari Medioker ke Jajaran Hall of Famer

Grant Hill dan Karir Basket yang Tidak Sempurna

Tina Thompson, Draft Pick Pertama dalam Sejarah WNBA

Ratu Tenis Jadi Juara Basket Perempuan 12 Kali

 

Foto: Getty Images

Komentar