IBL

Naismith Memorial Basketball Hall of Fame setiap tahunnya mengumumkan orang-orang terpilih yang namanya berhak masuk ke deretan sejarah bola basket dunia. Pada 2018 ini, mereka mengumumkan 13 nama yang akan resmi dilantik sebagai Hall of Famer pada 7 September mendatang. Basketball Hall of Fame (BHOF) angkatan 2018 ini, di antaranya: Steve Nash, Jason Kidd, Ray Allen, Grant Hill, Maurice Cheeks, Charlie Scott, Dino Radja, Tina Thompson, Katie Smith, Ora Mae Washington, Rick Welts, Rod Thorn, dan Lefty Driessel.

Nama-nama di atas terpilih setelah berkas mereka—berupa catatan informatif dari berbagai media seperti surat kabar, majalah, dan data-data faktual lainnya—dikurasi melalui proses panjang. Setelah itu, berkas-berkas valid memasuki tahap saring dan pemungutan suara yang melibatkan komite-komite tertentu. Oleh karena itu, perlu bagi para pihak yang terlibat mengetahui sejarah para calon penerima Hall of Fame sebelum memutuskan mereka menjadi finalis.

(Baca juga: Hall of Fame, Sejarah Singkat dan Panduannya)

Dengan semangat yang sama, Mainbasket pada kesempatan ini mengulas kisah-kisah para (calon) Hall of Famer yang akan dilantik secara resmi September mendatang. Mereka—ke-13 Hall of Famer angkatan 2018—memiliki kisahnya masing-masing.

 

***

 

“Everyone's damaged in their own way.”

—Emina, Jakarta Sebelum Pagi (Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie, 2014)

 

Lima operasi engkel. Infeksi staph. Hernia. Rehabilitasi yang tak terhitung. Grant Hill, legenda NBA, tahu benar bagaimana menghargai kehidupannya sendiri dari serangkaian nasib buruk. Cedera-cedera dan penyakit-penyakit telah membuatnya menemukan perspektif baru; membantunya melihat kehidupan dari kacamata lain, bahwa udara yang ia hirup hari ini merupakan anugerah yang mahal.

Seperti juga kutipan di awal tadi, setiap orang memang memiliki kekurangannya masing-masing. Hill dan karirnya di dunia basket menjadi salah satu kisah yang menegaskan itu. Ketika ia gemilang di tingkat universitas (NCAA), cedera justru membuat karirnya tak sempurna di NBA; benar, everyone’s damaged in their own way.

Karena cederanya, kontroversi pun menyeruak seiring Naismith Memorial Basketball Hall of Fame memilih Hill sebagai finalis pemain legendaris versi mereka. Sebagian dari mereka menganggap ia tidak cukup layak berderet di samping nama-nama besar pelaku basket dunia, tapi sebagian lainnya melihat Hill dengan cara berbeda. Mereka menganggap Hill memiliki karir istimewa di kampusnya meski harus tertatih-tatih di tingkal profesional.

Jika menilik kilas baliknya, Grant Henry Hill, begitulah nama lengkapnya, lahir dan tumbuh di Dallas, Texas, Amerika Serikat, pada 1972. Namun, ia harus meninggalkan kotanya ketika beranjak dewasa untuk melanjutkan sekolah ke sebuah universitas. Kala itu, ibunya ingin ia melanjutkan ke Georgetown, tapi ayahnya ingin ia sekolah di North Carolina.

Ada dua pilihan yang diberikan kedua orangtuanya, tapi Hill ternyata memiliki opsi sendiri. Ia lebih memilih Duke University sebagai tempat belajar dan melanjutkan karirnya di basket. Maka, ia pun hijrah ke Durham di North Carolina untuk bergabung dengan Blue Devil Duke, tim basket kebanggaan kampus itu.

Grant Hill, forwarda, ketika membela Duke University di NCCA (1990-1994). Foto: Doug Pensinger/Getty Images

 

Statistik Hill selama di kampus memperkuat konteks tentang kehebatannya. Selama empat tahun bermain bersama Blue Devil Duke (1990-1994), ia rata-rata mencetak 14,9 poin dan 6 rebound dari 53 persen tembakan dan 70 persen lemparan bebas. Ia juga piawai menembak dari jarak jauh, menciptakan setidaknya 39 tripoin di musim terakhirnya. Sampai kelulusannya, ia bertengger di urutan ke-11 pencetak angka terbanyak Duke sepanjang masa dengan 1924 poin, ke-9 dalam asis dengan total 461 asis, dan keenam dalam steal (218) dan blok (133).

Selama empat tahun itu pula, Hill mengantarkan timnya menjuarai NCAA dua kali beruntun pada 1991-1992. Dua gelar itu sekaligus menyejajarkan Duke dengan UCLA sebagai peraih gelar NCAA beruntun pada 1970-an.

Selama kuliah, Hill terkenal sebagai pemain yang versatile (serba bisa). Tidak heran pada lima pertandingan di tahun keduanya, Kepala Pelatih Mike Kryzewski memainkannya sebagai seorang garda utama untuk menggantikan Bobby Hurley yang cedera. Hill kala itu mencetak rata-rata 16,4 poin dan 5,6 asis, termasuk mengalahkan Shaquille O’Neal dan timnya—Louisiana State University.

“Senang melatih dan melihat Grant bermain di Duke,” komentar Kryzewski seperti dikutip situs pribadi Grant Hill. “Ia hebat di lapangan, tapi saya lebih menyukai sosok Grant di luar lapangan. Dia sensasional. Dia berusaha menjadi yang terbaik dalam semua aspek kehidupan—keluarganya, profesi, bisnis, dan ya, hobi koleksi seninya. Untuk menjadi hebat dalam suatu hal, ia harus memiliki semangat untuk itu. Grant Hill memiliki semangat untuk setiap bagian dari hidupnya. Saya menyukainya.  

Bakat Hill di kampus tidak berhenti di tingkat itu; ia juga berhasil menembus tim nasional Amerika Serikat pada 1991, memenangkan medali perunggu di ajang Pan American Games. Karir gemilang itu pun membuat para pencari bakat NBA memantaunya. Tidak heran, Detroit Pistons kemudian memilihnya di urutan ketiga pada 1994. Maka, tahun itu, ia pun resmi menjadi seorang pemain profesional.

“Saya bekerja keras. Saya mencurahkan semuanya untuk itu, dan saya menikmati setiap menitnya,” ujar Hill tentang karirnya.

Grant Hill ketika berlaga di NBA bersama tim pertamanya, Detroit Piston (1994-200). Foto: ESPN

 

Hill merupakan mimpi semua pelatih. Tidak ada yang tidak ingin melatihnya. Bahkan ketika ia masuk ke NBA, ia digadang-gadang sebagai salah satu calon sukses. Hill pun membuktikannya dengan meraih gelar Rookie of the Year bersama Jason Kidd pada 1995. Mereka mesti berbagi gelar lantaran memiliki nilai yang sama hebatnya sebagai seorang pemain tahun pertama di NBA.

Sayangnya, ketika Kidd bisa mengakhiri karir dengan gelar juara NBA, Hill justru tidak sempat melakukannya. Ia malah berkutat dengan cedera dan sakit yang menerpanya. Karirnya di NBA pun tak tampak gemilang seperti saat di NCAA. Inilah mengapa muncul kontroversi tentang terpilihnya Hill di Hall of Fame. Sebagian orang melihatnya tak cukup hebat di NBA. Apalagi di musim 2003-2004, ia sama sekali tidak bisa bermain lantaran cedera engkel. Padahal, jika melihat kiprahnya selama 19 tahun di liga tersohor itu, Hill tidak buruk-buruk amat.

Sepanjang karirnya, Hill masuk ke deretan All-Star sebanyak tujuh kali. Ia juga sempat masuk ke dalam All-NBA First Team pada 1997. Belum lagi ia terkenal sebagai pemain yang sportif, sehingga NBA mengganjarnya dengan penghargaa NBA Sportmanship Award tiga kali (2005, 2008, dan 2010).

Dengan timnas Amerika Serikat, Hill juga berprestasi. Ia sempat meraih medali emas ketika bermain di ajang Olimpiade 1996. Hasil itu melengkapi deretan medali lain yang pernah ia dapat ketika usianya baru 18 tahun. Karena pada 1990, Hill juga sempat meraih medali emas bersama timnas U-18 di FIBA Americas Championship.

Grant Hill bersama Jared Dudley ketika membela Phoenix Suns (2007-2012). Foto: Getty Images

 

Selain itu, bagi bekas rekan-rekannya, Hill merupakan inspirasi. Jared Dudley, forwarda sekaligus bekas rekan Hill di Phoenix Suns, misalnya, sangat berterima kasih kepadanya karena telah menjadi rekan yang baik.

“G-Hill, selamat, Bung!” ujar Dudley dalam sebuah video di situs resmi Suns. “Saya ingin berterima kasih atas segala yang Anda lakukan untuk saya. Kebijaksanaan dan pengetahuan yang telah Anda berikan membuat saya memiliki karir yang panjang.”

Bukan hanya Pistons dan Suns, sebenarnya, Hill juga sempat bermain di dua tempat lainnya—Orlando Magic dan Los Angeles Clippers. Setelah bermain selama total 19 musim di NBA, ia pun memutuskan pensiun. Selama itu pula ia membukukan rata-rata 16,7 poin, 6 rebound, dan 4,1 asis. Bagaimanapun, ketika orang-orang berdebat tentang ketidaksempurnaan karirnya, Hill telah mengarungi musim yang panjang di NBA. Jika menghitungnya sejak kuliah, maka karirnya di dunia basket telah lebih panjang lagi. Itu belum dihitung dengan karirnya setelah pensiuns. Karena sejak memutuskan pensiun, ia langsung menerima pekerjaan sebagai analis untuk NBA TV.

Setiap orang memiliki kekurangannya masing-masing, tapi bagi seorang Grant Hill, kekurangan itu kini menjadi bagian dari kisah hidupnya yang luar biasa. Bagaimanapun, kejadian-kejadian telah membantunya melihat perspektif lain untuk lebih menghargai hidupnya. 

 

Baca juga kisah Hall of Fame 2018 lainnya:

Jason Kidd, Legenda NBA yang Hampir Berhenti Basket

Steve Nash, Dari Medioker ke Jajaran Hall of Famer

Grant Hill dan Karir Basket yang Tidak Sempurna

Tina Thompson, Draft Pick Pertama dalam Sejarah WNBA

Ratu Tenis Jadi Juara Basket Perempuan 12 Kali

 

Foto: Sports Illustrated

Komentar