KEJURNAS

Indonesian Basketball League (IBL) tidak berhenti membuat “gebrakan”. Ya, kejutan adalah hal yang sangat identik dengan IBL. Lebih lagi mengenai hal-hal yang bersifat penghargaan individu kepada para pemain yang berlaga. 

Lebih dari sepekan sejak Gim 3 Final IBL 2025 (20/7), IBL mengunggah tiga materi mengenai kurang lebih All-IBL Team. Unggahan pertama bertajuk All IBL First dan Second Team. Kedua, All-Local IBL First dan Second Team. Lalu All-Defensive Team yang dibagi secara keseluruhan dan lokal. Semuanya, menghasilkan kebingungan publik. 

Namun, kebingungan ini sejatinya sudah dimulai pada Gim 3 Final IBL. Setelah penyerahan gelar juara, IBL mengejutkan publik dengan memilih Joshua Ibarra sebagai MVP Final. Publik yang tersisa di GOR Soemantri Brodjonegoro terkejut, pemain-pemain Dewa United terkejut, termasuk Ibarra. Bahkan, sangat mungkin Pelita Jaya yang menjadi lawan Dewa United pun terkejut. 

Malam itu, Dewa United bangkit dari ketinggalan 12 poin di 8 menit terakhir dan menang meraih gelar juara perdana mereka. Skor akhir 74-73 dan Jordan Adams mencetak lebih dari separuh poin Dewa United (40 poin). Jordan pula yang menjadi penentu kemenangan lewat tembakan under basket yang ia lakukan. 

"IBL don't respect me, it's fine," tutur Jordan kepada kami sembari berpose untuk unggahan video kami. "Saya mencetak 40 poin pertama dalam sejarah Final IBL dan mereka tetap tidak menghargai saya. Tidak masalah, saya tahu bahwa tidak ada yang bisa menjaga saya di liga ini," pungkasnya. 

Ya, ini adalah 40+ poin pertama dalam sejarah Final IBL. Opsi serangan Dewa United malam itu, di laga penentuan itu, adalah Jordan. Pablo Favarel, Kepala Pelatih Dewa United pun mengungkapkan itu kepada kami. "Kami mengikuti kepemimpinan Jordan malam ini". Ibarra yang menolak memberikan pidato pun semakin menjelaskan bahwa Jordan adalah satu-satunya sosok yang layak pulang dengan trofi tersebut. 

Alasan IBL memilih Ibarra ketimbang Jordan sederhana, statistik. Statistik efisiensi (EFF). Tampaknya tidak ada yang lain. Statistik tradisional yang sederhananya merupakan perhitungan aksi positif dan negatif seorang pemain di satu laga. Semakin banyak positifnya, semakin tinggi angka efisiensinya.

Hormat kami juga kepada Ibarra yang memang merupakan tambahan solid untuk Dewa United di akhir musim reguler lalu. Namun, rasanya ia pun sadar, angka negatifnya (tembakan meleset, tembaan gratis meleset, dan turnover) akan kecil karena ia tidak banyak memegang bola, tidak menciptakan permainan seperti Jordan. Ibarra adalah bigman yang kuat di bawah ring dan area menengah. Mayoritas poinnya ia dapatkan dengan catch and shoot atau post play

Pedoman statistik ini pula yang menjadi dasar pemilihan tiga unggahan baru IBL semalam (30/7). All-IBL First Team menjadi milik Devon Van Oostrum, Gelvin Solano, Jordan Adams, K.J. McDaniels, dan Will Artino. Tiga nama terakhir di atas adalah kandidat MVP liga, tidak perlu banyak perdebatan tentang ini. Devon adalah pemimpin asis di liga dalam dua musim beruntun, memasukannya di antara dua klasifikasi terasa masuk akal. 

Pertanyaan terbesar sejatinya ada di Gelvis. Bukan kami meragukan kemampuan atau kontribusi Gelvis, tapi saya yakin ia pun terkejut saat melihat namaya ada di sana. Gelvis adalah pemain asing dengan menit bermain terendah di daftar ini 25,6 menit per gim dan memiliki statistik yang sangat standar. Lebih lagi, Gelvis hanya 13 kali menjadi starter atau separuh dari jumlah laga yang ada. Ini akan jadi sejarah di mana pemain yang harusnya secara catatan lebih layak ke Sixthman of the Year berhasil menjadi First Team. 

Keanehan berlanjut di Second Team. Nama Kaleb Gemilang muncul sebagai satu-satunya pemain lokal di dua All IBL Team ini. Menariknya lagi, untuk standar Kaleb, memiliki rataan 9,5 poin, 3,1 rebound, dan 1,2 asis per laga. Ini rataan terendah Kaleb sejak 2019 dan justru membuat dia menjadi satu-satunya pemain lokal di All-IBL. Apakah tidak ada pemain lokal lain yang lebih baik daripada Kaleb?

Mungkin secara catatan efisiensi, Kaleb sangat mungkin paling tinggi di antara semua pemain lokal. Akan tetapi, perlu disadari juga, peran Kaleb pun bukan sebagai pembawa bola atau opsi serangan utama tim. Menit bermainnya pun bukan yang masif, membuat kemungkinan membuat kesalahan bisa semakin kecil. 

Lebih gila lagi, Agassi Goantara yang pulang dengan gelar MVP Lokal justru tidak masuk ke sini. IBL bisa jadi liga pertama dalam sejarah basket profesional yang tidak memasukkan MVP mereka ke All-Team di tahun musim yang sama. Juga dengan Yudha Saputera dan Abraham Grahita yang finis di tiga besar MVP lokal. Luar biasa. 

Beberapa kolega menghubungi saya untuk berdiskusi tentang hal ini. Beberapa berpendapat, "Mungkin IBL memilih pemain ini berdasarkan posisi bermain konvensional, PG, SG, SF, PF, dan C, jadi pilihannya ya itu". Masuk akal, tapi bukan langkah yang tepat dari IBL. Saat era basket semakin nirposisi (positionless) seperti sekarang, IBL justru memilih langkah ke belakang. 

Menariknya lagi, untuk barisan lokal, IBL menuliskan bahwa pemilihan juga berdasarkan posisi (tidak dengan secara keseluruhan). Ini yang akhirnya membuat kejutan lainnya muncul yakni Arki Wisnu. Hanya dengan 3,8 poin dan 3,0 rebound per gim Arki bisa menjadi barisan lokal terbaik. 

Sekali lagi, kami sangat menaruh rispek tinggi kepada Arki dan apa yang ia lakukan untuk basket Indonesia hampir dua dekade ini, namun munculnya nama Arki di sini benar-benar seperti lelucon. Pun dengan Pandu Wiguna dan Galank Gunawan yang masuk dengan rataan yang sangat rendah. 

Kalau memang tidak ada pemain yang layak di posisi bermain basket secara konvensional, maka hilangkan saja per-posisi-an ini. Kenapa harus memaksakan pemain dengan kontribusi yang rendah hanya untuk memenuhi kuota posisi. 

Lantas, penentuan berdasarkan posisi ini kembali dihilangkan untuk All-Defensive Team. Seluruh All-Defensive di barisan asing adalah senter sedangkan di barisan lokal, hanya satu senter dan tiga garda. Konsisten untuk tidak konsisten. 

Bagiamana juga IBL bisa mengidentifikasi pemain seperti A.J. Bramah dan Quintin Dove yang melakukan segalanya di lapangan. Tim mereka memang tidak menang, tapi yang mereka lakukan masing-masing juga luar biasa. Bramah membantu Pacific finis di peringkat 9 sedangkan Dove mencetak 40+ poin berkali-kali di musim ini. Memang, tim mereka tidak mendominasi, tapi kita juga tahu penyebaran pemain lokal terbaik di Indonesia pun hanya di tim itu-itu saja. 

Sudah beberapa kali kami menjelaskan bahwa statistik, angka, memang tidak akan pernah berbohong. Akan tetapi, mereka juga tidak menjelaskan segalanya. Dalam hal ini, seharusnya pengamatan di lapangan menjadi hal yang utama dan statistik yang menguatkan pengamatan tersebut.

Penikmat basket Indonesia sendiri sejatinya terus meningkatkan pengetahuan masing-masing. Oleh sebab itu, kebanyakan dari mereka pun memberikan respon yang kurang lebih sama dengan kami saat daftar ini muncul. "HAH?"

Entah mengapa, di titik ini kami di Mainbasket merasa bahwa IBL tidak layak mendapatkan penggemar basket seperti di Indonesia. Penggemar yang aktif mendukung tim dan terus menambah pengetahuan masing-masing agar lebih bisa menikmati pertandingan. Harapannya, kualitas permainan semakin baik dan mereka pun selalu menyuarakan ini. Harapannya, liga pun bisa meningkat kualitas untuk mengimbangi dukungan masyarakat. 

Sayangnya, IBL terus mengejutkan, membingungkan, dan mengecewakan. Semoga ini jadi terakhir kali IBL membuat kejutan seperti ini dan bisa menjadi lebih baik ke depannya. Semangat terus para penikmat basket Indonesia! 

Foto: Ariya Kurniawan, Oska Tigana

 

Komentar