IBL

Menapak Jejak Pebasket Afro-Amerika dalam Peringatan Black History Month

Introduksi

Amerika Serikat memiliki sejarah panjang yang melibatkan warga keturunan Afro-Amerika dalam kisahnya. Pada Februari setiap tahunnya, Amerika Serikat memperingati Black History Month untuk mengingat kembali tokoh-tokoh dan momen besar orang-orang kulit hitam. Upaya itu dilakukan untuk mengingatkan kembali betapa panjang dan hebat perjuangan mereka dalam persoalan kesetaraan ras dan hak asasi manusia.

Tidak terkecuali NBA, liga bola basket paling terkenal seantero dunia itu juga ikut memperingatinya. Elemen-elemen penting dalam sejarah Afro-Amerika seringkali tampil di saat-saat ini, entah lewat pernak-pernik seperti kaus maupun sepatu. Para pemainnya tampak hadir dengan semangat yang sama: kesetaraan (equality).

Dengan semangat itu, Mainbasket menggali kisah-kisah pemain keturunan Afrika dan menghadirkannya dalam enam tulisan. Kami mendefinisikan semangat kesetaraan secara luas untuk memaknai kisah-kisah inspiratif dari para pemain NBA keturunan Afrika.

Setelah mengangkat enam tulisan (1 introduksi dan 5 kisah pemain, pelatih, dan tim), Mainbasket sampai kepada tulisan terakhir. Pada tulisan ini, kami mengangkat cerita-cerita insan bola basket yang menggunakan ketenarannya untuk menyuarakan keresahan. Misalnya, belakangan ini telah ramai diperbincangkan tentang masalah Laura Ingraham versus LeBron James.

 

***

 

Dor! Dor! Dor!

Hari itu bukan hari yang baik bagi para siswa Stoneman Douglas High School di Forida, Amerika Serikat. Suara tembakan itu bukan berasal dari televisi maupun perangkat canggih lainnya yang dapat menyetel bunyi senjata api—bukan! Suara itu justru terdengar dari dalam sekolah mereka, tempat anak-anak semestinya belajar dengan tenang.

Faktanya, tembakan itu membunuh 14 anak dan 3 orang dewasa.

Joaquin Oliver, seorang anak berusia 17 tahun, menjadi korban penembakan massal di sekolah itu. Sebelum peristiwa mengerikan terjadi, Oliver sedang merasa senang karena Dwyane Wade kembali ke Miami Heat. Namun, kini tragedi penembakan itu membuatnya tidak bisa lagi menyaksikan idolanya bermain bola basket. Orangtuanya mengubur jasad Oliver dengan seragam Wade sebagai bentuk penghormatan terakhir.

Wade, 36, guard Miami Heat, mengaku sedih mendengar kabar itu. Ia pun memberikan penghormatan kepada penggemarnya dengan menuliskan nama Joaquin Oliver di sepatunya. Selasa malam, 27 Februari 2018, ketika Heat berhadapan dengan Philadelphia 76ers, Wade mencetak poin yang ia persembahkan untuk Oliver dengan sisa waktu 5,9 detik. Ia mengakhiri pertandingan dengan membukukan 27 poin dan tembakan kemenangan.

“Ini lebih besar dari bola basket. Kami adalah suara bagi mereka yang tidak didengar,” tulis Wade di akun Twitternya. “Joaquin Oliver, semoga kamu beristirahat dalam damai dan saya mendedikasikan kepulangan saya dan sisa musim ini untuk kamu.”

Dwyane Wade, guard Miami Heat, memberikan penghormatan untuk korban penembakan di Florida, Amerika Serikat. Foto: SLAM

 

Maret 2018, Mainbasket memuat wawancara dengan sutradara Mata Dewa—Andibachtiar Yusuf. Bagi sutradara film basket pertama di Indonesia ini, olahraga merupakan bagian dari kehidupan. Dalam sepak bola, misalnya, bukan hanya persoalan 2x45 menit dan 22 orang bertanding dalam lapangan. Menurutnya, di balik semua itu jusru ada hal yang lebih besar.

“Ada hidup dan latar asal para pemain, ada suporter-suporter gila yang bisa saja rela mati atau cuma itu saja hidupnya, ada orang-orang yang siap mempertaruhkan apapun untuk permainan dan lain-lain,” kata Sang Sutrada kepada Mainbasket.

Kisah Joaquin Oliver yang dikubur bersama seragam Dwyane Wade, tentu saja, hanya satu dari banyak kisah yang terekspos media. Kisah itu sekaligus menggambarkan bagaimana hal di luar basket bisa mempengaruhi penampilan seseorang di lapangan, begitu pun sebaliknya. Olahraga selalu punya kaitan dengan kehidupan yang lebih besar.

Oleh karena itu, jangan heran jika LeBron James, megabintang NBA sekaligus forward Cleveland Cavaliers, seringkali mengomentari segala hal yang ia pikirkan. Entah itu tentang isu-isu sosial, politik, ekonomi, sampai hal remeh temeh. Ia bisa tanpa segan menentang kebijakan Presiden AS Donald Trump, yang ia sebut sebagai seorang bigot dan rasis. Bahkan tanpa tedeng aling-aling, James mengatakan NCAA sebagai liga yang korup. Ia juga cukup vokal ketika ditanya tentang perselisihannya dengan Laura Ingraham sepanjang All-Star Weekend.

Suatu ketika, Laura Ingraham, pembawa acara Fox News itu, mengomentari betapa terlalu vokalnya James dalam menyuarakan pendapatnya. Menurut Ingraham, megabintang NBA itu tidak punya cukup kapabilitas untuk berbicara tentang isu-isu di luar olahraga. Dengan sikap—yang menurut Kepala Pelatih San Antonio Spurs Gregg Popovich—tampak arogan, ia sempat memandang remeh James hanya karena pemain itu lulusan SMA, tapi bisa berbicara banyak tentang segala hal.

“Diam dan bermain basket sajalah (shut up and dribble),” kata Ingraham dalam siaran beritanya di Fox News.

Laura Ingraham, pembaca acara Fox News, yang mengatakan "shut up and dribble" kepada LeBron James. Foto: Chip Somodevilla/Getty Images 

 

Tindakan Ingraham itulah yang menjadi sumbu dari semua yang terjadi belakangan ini antara LeBron James dan Fox News. Pernyataan Ingraham ini memancing kecaman beberapa kalangan. Salah satunya datang dari Popovich. Baginya arogansi Ingraham ketika mengatakan pendapatnya tentang LeBon James merupakan bentuk ketidaktahuannya soal para pemain.

LeBron James memang telah melalui banyak pengalaman. Ia pernah mengalami perlakuan tak menyenangkan yang bernada rasis. Seterkenal dan sehebat apapun, baginya menjadi orang keturunan Afro-Amerika sama sulitnya seperti orang biasa. Ia tentu sudah belajar banyak dari pengalaman-pengalaman itu, bahwa Amerika Serikat sampai hari ini masih memandang orang-orang kulit hitam dengan remeh, dan itulah yang ingin ia ubah. Tanpa bersuara, mana mungkin bisa mengubahnya?   

“Tidak peduli berapa banyak uang yang Anda miliki, tidak peduli seberapa terkenalnya Anda, tidak peduli berapa banyak orang yang mengagumi Anda, menjadi orang berkulit hitam di Amerika—itu sangat sulit,” ujar James, seperti dinukil dari New York Times.

“Kita tinggal di negara yang rasis,” ujar Popovich di kesempatan lain, seperti dilansir Bleacher Report.

Kendati demikian, Bill Russell, legenda NBA, sangat bangga ketika LeBron James tetap teguh untuk bersuara. “Saya tidak akan pernah diam dan hanya bermain basket,” kata James, dan itulah yang kemudian membuat Russell mencuit dukungannya di Twitter. James harus terus berbicara kebenaran untuk melawan rasisme. Sang Legenda juga sekaligus mengucapkan terima kasih atas dedikasi James membangun sekolah di Akron, Ohio, Amerika Serikat. Bagaimanapun, aksi nyata bintang Cavaliers itu memberi orang lain sebuah harapan.

Maka, jika mengingat lagi pendapat Andibachtiar Yusuf tentang olahraga dan kehidupan yang lebih besar, mestinya Ingraham tidak perlu mengatakan itu kepada James. Apalagi jika mengingat apa kata Dwyane Wade, hal-hal yang terjadi di sekitarnya lebih besar daripada basket itu sendiri. Sosok atlet dengan keterkenalannya bisa berubah menjadi media yang menyuarakan suara-suara yang tak terdengar. Istilahnya give voice to the voiceless.

Ketika James tahu benar ada sesuatu yang salah dengan Presiden AS, terutama soal sikapnya yang seringkali rasis, apakah diam menjadi solusi? Tentu saja ia tidak akan berhenti, apalagi hanya karena pernyataan seorang pembawa acara.

Jika mengingat lagi kisah-kisah lainnya, rasanya sosok-sosok atlet di NBA kini bukan lagi sosok-sosok yang hanya dimiliki di lapangan, tetapi juga di luar lapangan. Banyak pemain telah menyatakan sikap mereka dan memberikan dampak besar kehadirannya ke masyarakat yang lebih luas. Ketika James dengan tekad kuatnya menolak berhenti bicara dan bermain basket saja, saat itu pula para pemain lainnya dan masyarakat yang lebih luas banyak mendukungnya.

Meminjam istilah Pangeran Siahaan, seorang penulis dan presenter sepak bola, kini orang-orang sudah tidak bisa lagi hanya membicarakan olahraga sebagai olahraga. Jika terus-terusan membicarakan olahraga dalam bingkai yang sempit, selamanya ia akan menjadi jongos olahraga yang kerjanya di situ-situ saja. Padahal kalau mampu membaca lebih luas, olahraga bahkan bisa menggerakan rakyat Jerman untuk turun ke jalan merayakan “kejermanan” mereka setelah tim nasional sepak bola mereka mengalahkan Argentina di Piala Dunia 2006. Inilah yang dilihat LeBron James, Dwyane Wade, dan pemain-pemain lainnya ketika mereka berani menyuarakan apa kata hati mereka. Bahkan Popovich mengatakan James tampak seperti Black Panther, pahlawan super bagi orang-orang. 

Jangan heran kalau suatu hari, mungkin, atlet-atlet basket di NBA mampu menggulingkan pemerintahan Trump karena tergerak kata hati itu.

Siapa tahu?   

Foto: Gregory Shamus/Getty Images

 

Baca juga seri Black History Month lainnya:

Menapak Jejak Pebasket Afro-Amerika dalam peringatan Black History Month

Perang Membuat Serge Ibaka Menjadi Seorang Spanyol (1/6 Black History Month)

Earl Lloyd, Sang Pionir Kulit Hitam di Laga NBA (2/6 Black History Month)

Bill Russell, Pelatih Kulit Hitam Pertama di NBA (3/6 Black History Month)

Amerika Serikat, Taksi, dan Mimpi Frank Ntilikina (4/6 Black History Month)

Texas Western Mengubah Wajah Basket Amerika Serikat (Black History Month 5/6)

LeBron James Tidak Akan Diam dan Bermain Basket Saja (Black History Month 6/6)

Komentar