IBL

Menapak Jejak Pebasket Afro-Amerika dalam Peringatan Black History Month

Introduksi

Amerika Serikat memiliki sejarah panjang yang melibatkan warga keturunan Afro-Amerika dalam kisahnya. Pada Februari setiap tahunnya, Amerika Serikat memperingati Black History Month untuk mengingat kembali tokoh-tokoh dan momen besar orang-orang kulit hitam. Upaya itu dilakukan untuk mengingatkan kembali betapa panjang dan hebat perjuangan mereka dalam persoalan kesetaraan ras dan hak asasi manusia.

Tidak terkecuali NBA, liga bola basket paling terkenal seantero dunia itu juga ikut memperingatinya. Elemen-elemen penting dalam sejarah Afro-Amerika seringkali tampil di saat-saat ini, entah lewat pernak-pernik seperti kaus maupun sepatu. Para pemainnya tampak hadir dengan semangat yang sama: kesetaraan (equality).

Dengan semangat itu, Mainbasket menggali kisah-kisah pemain keturunan Afrika dan menghadirkannya dalam enam tulisan. Kami mendefinisikan semangat kesetaraan secara luas untuk memaknai kisah-kisah inspiratif dari para pemain NBA keturunan Afrika.

Mainbasket telah membahas tiga kisah tentang pemain dan pelatih keturunan Afrika. Salah satunya ada Serge Ibaka yang pergi ke Eropa dari Kongo untuk mendapat kesempatan bermain basket lebih baik. Dalam kesempatan lain, kami juga membahas tentang Earl Lloyd dan Bill Russell, para pionir kulit hitam di NBA. Maka, kini kami mengangkat kisah Frank Ntilikina, rookie New York Knicks yang memiliki latar belakangan keluarga luar biasa. Mereka telah mengalami masa perang di Rwanda sampai kabur ke Belgia dan menetap di Perancis untuk melanjutkan hidup. Kini Ntilikina tengah menghadapi kerasnya kompetisi NBA dan berjuang hidup di Amerika Serikat, negara yang memiliki sejarah panjang tentang perjuangan orang-orang keturunan Afrika.

 

***

 

Biru, kuning, dan hijau dengan gambar menyerupai matahari di ujung kanan. Begitulah bendera nasional Rwanda ketika berkibar di atas tiang pancang, diterpa angin yang membuatnya seolah melambai pelan. Warna biru menyimbolkan kebahagiaan dan kedamaian, kuning bicara tentang pertumbuhan ekonomi, dan hijau sebagai kemakmuran. Gambar matahari, seperti juga fungsinya sendiri, berarti pencerah.

Rwanda, sebuah negara yang terletak di Benua Afrika, merupakan salah satu negara kecil di tanah itu. Geografinya tampak indah, di kelilingi gunung di bagian barat dan sabana di bagian timur. Tipikal cakrawala di banyak tempat di Afrika dengan iklim subtropikalnya. Namun, dengan sejarah kelam yang membuat orang-orang merinding.

Pada 1994, terjadi genosida yang menewaskan 500 ribu hingga 1 juta orang. Genosida itu terjadi sebagai bagian dari pecahnya perang sipil di Rwanda yang sudah pecah sejak empat tahun sebelumnya. Jika mengingat makna dari bendera nasional Rwanda, genosida dan perang itu tentu menyalahi semangat yang mestinya bekibar dalam setiap dada orang-orang Rwanda. Namun, nasib ternyata memang kesunyian masing-masing. Sulit ditebak.

Di tempat lain, 17 jam lebih perjalanan menggunakan pesawat, seorang anak keturunan Afrika telah tumbuh sebagai remaja yang sedang menjalani karir profesionalnya. Frank Bryan Ntilikina, begitulah namanya, kini menjadi seorang point guard New York Knicks di NBA. Pada latar belakang keluarganya, mengalir darah seorang Rwanda.

Ntilikina memang tidak lahir di Rwanda juga bukan warga negara di sana. Ia lahir di Belgia ketika ibu dan dua kakaknya kabur dari Rwanda, lalu pindah ke Perancis saat Ntilikina kelak tumbuh dan menetap di sana. Dalam waktu yang lama, pemain Knicks ini tidak tahu ada cerita apa di balik keluarganya yang semuanya pekerja keras. Ia tidak tahu apa yang telah mereka lalui dari perang.

“Di pikiran saya, saya hanyalah seorang anak Perancis. Saya senang bermain video games dan basket. Kakak saya akan mengajak saya ke lapangan untuk bermain satu lawan satu, dan mereka bakal mengalahkan saya. Lalu kami kembali ke rumah dan bermain NBA 2K. Dan setidaknya di video games saya sesekali mengalahkan mereka,” tulis Ntilikina tentang keluarganya, seperti dimuat The Players’ Tribune.

Frank Ntilikina ketika New York Knicks memilihnya di urut ke-8 NBA Draft 2017. Foto: Mike Stobe/Getty Images via The Players' Tribune

 

Suatu ketika, Ntilikina kesulitan mengajak kakak-kakaknya bermain. Mereka sedang belajar dengan keras untuk bisa masuk ke sekolah yang mereka mau, menggapai cita-cita yang sudah mereka impikan sejak lama, sementara Ntilikina belum memahami itu. Di sisi lain, ibunya sibuk bekerja sehingga hampir tidak punya waktu istirahat yang cukup. Jika waktu istirahat tiba, maka tidak ada tawar menawar untuk menganggu tidurnya. Saat itulah ia mulai penasaran dengan apa yang telah keluarganya lewati sampai mereka harus bekerja keras seperti itu.  

“Apa yang tidak saya pahami adalah dari mana semangat itu muncul,” ujar Ntilikina lagi dalam tulisan itu. “Saya tahu mereka datang dari Rwanda dan mereka ingin kehidupan yang lebih baik, tapi setiap kali saya bertanya tentang Rwanda kepada kakak-kakak saya, mereka akan berkata, ‘Kamu tidak perlu tahu. Lupakan saja.’”

Diam-diam, Ntilikina membuka sebuah buku di lemari ayah tirinya yang memuat tentang Rwanda. Ia mengaku tidak mengerti satu kata pun, tetapi bisa melihat foto-foto mengerikan di dalamnya. Katanya, di sana ada foto-foto jenazah bergelimpangan di tanah. Bukan tentara melainkan anak-anak dan perempuan. Dari sana ia baru sadar mengapa keluarganya begitu bekerja keras untuk memperbaiki hidup. Ia hampir tidak percaya dengan apa yang baru saja dilihatnya; tentang keluarganya yang melewati masa-masa sulit ketika perang dan genosida. Sejak memahami itu, “kerja keras” menjadi kata kunci yang membawanya ke NBA.

Gunung dan sabana, cakrawala Rwanda tampak berbeda dengan Amerika Serikat. Kenangan Ntilikina kepada Paman Sam justru lebih menyenangkan. Kali pertama ia mendarat di bandara JFK, saat itu ia tengah mengikuti sebuah gelaran Jordan Brand Classic. Ia ingat bagaimana taksi kuning di Amerika Serikat lalu lalang di antara gedung-gedung megah.

“Taksi kuning dengan tulisan hitam, itulah Amerika bagi saya,” kata Ntilikina.

Saat mengikuti gelaran itu, Ntilikina berjumpa dengan Michael Jordan.

Ya, MJ yang disebut-sebut sebagai greatest of all time (terbaik sepanjang masa) itu. Ntilikina sendiri bahkan tak menyangka bisa berjumpa dengan pemain legendaris itu. NBA selalu menjadi mimpi besarnya sejak kecil. Ia ingat bagaimana setiap kali ada pertandingan NBA di televisi, ia selalu ingin mencuri waktu untuk menonton meski ibunya melarangnya begadang.

Suatu hari, ada momen yang mana membuatnya cukup resah, yaitu ketika melihat ibunya terus bekerja keras meski anak-anaknya telah sukses. Kedua kakaknya adalah seorang dokter bedar dan terapis, Ntilikina sendiri seorang pebasket profesional. Namun, ibunya tidak mau berhenti bekerja hanya karena anak bungsunya belum benar-benar menggapai mimpinya.

“Dia berkata, ‘Ini bukan mimpimu. Mimpimu adalah bermain di NBA. Aku tidak akan relaks sebelum kamu menggapai mimpimu,” kenang Ntilikina ketika ibunya, Jacqueline, menolak untuk berhenti bekerja karena ia belum bermain di NBA.

Namun, hari besar itu akhirnya datang, NBA Draft 2017 membuat Ntilikina berada dalam radar liga basket tersohor di dunia. New York Knicks akhirnya memilihnya di urutan 8. Ia pun terbang kembali ke Amerika Serikat dari Paris, Perancis, dan mendarat di JFK seperti terakhir kali ia ke sana. Ia melihat lagi taksi-taksi kuning dan percaya kalau itu memang Amerika Serikat.

Frank Ntilikina bersama Jeff Hornacek ketika membela New York Knicks di NBA. Foto: Brad Penner/USA Today

 

Mimpinya kini menjadi nyata. Ntilikina sukses berlaga di NBA sebagai pemain muda, mengarungi separuh musim 2017-2018 meski Knicks masih kesulitan keluar dari gelar klub semenjana. Namun, bagaimanapun kesempatan itu menjadi momen terbaik bagi Ntilikina untuk bisa membuat ibunya—yang telah mengerahkan seluruh tenaga untuk keluarganya—beristirahat dengan tenang, menikmati hidup dengan menyaksikan kesuksesan anak-anaknya. Sejak kabur dari perang di Rwanda, inilah saatnya mereka menikmati hidup dengan sebaik-baiknya untuk kemudian bekerja keras lagi menggapai mimpi-mimpi lainnya.

Kini Amerika Serikat menjadi semacam harapan bagi Ntilikina untuk mengembangkan karirnya. Sejauh ini, penampilannya tidak banyak bermasalah. Jeff Hornacek, kepala pelatih Knicks, mengaku senang mendapat pemain sepert Ntilikina. Namun, point guard muda itu masih membutuhkan banyak latihan, salah satunya, memperkuat tenaga.

“Dia berusia 19 tahun dan belum pernah mengikuti program berat badan. Para pelatih kami sedang bekerja keras dengannya. Dia sudah lebih kuat. Namun, butuh waktu untuk membuatnya benar-benar kuat,” jelas Hornacek, seperti dikutip New York Post.

Ketika terlibat di gelaran All-Star Weekend 2018, pelatihnya bertanya ke mana Ntilikina akan menghabiskan waktu di jeda musim. Katanya ia akan kembali ke rumahnya, tetapi Pelatih memintanya membagi waktu. Hornacek ingin point guard berkebangsaan Perancis itu berpartisipasi lagi di Summer League.

Ntilikina memang sudah berhasil bermain di NBA, tetapi jika kemampuannya tidak banyak berkembang, ia akan kesulitan. Hornacek paham itu karena Ntilikina memang punya potensi untuk bersaing di liga. Klay Thompson, shooting guard Golden State Warriors, juga dapat melihat potensi itu. Namun, Ntilikina masih tampak mentah jika berhadapan dengan pemain-pemain lain yang lebih kuat dan sarat akan pengalaman.

“Dia sangat berbakat,” ujar Thompson, masih dinukil dari New York Post. “Ketika dia bermain di NBA di usia 19, dia melakukan hal yang benar. Dia bermain dengan cara yang benar, dia dapat menembak, dia masih punya kesempatan untuk tumbuh dan menjadi lebih baik setiap hari.”   

Nama Ntilikina memang tidak sementereng rookie lainnya, seperti Ben Simmons, Jayson Tatum, dan Donovan Mitchell, tapi sosoknya terbilang penting dalam mengembangkan tim muda Knicks. Maka, tidak heran Hornacek memintanya untuk mengikuti Summer League. Ia melihat potensi itu bisa digali lagi.

Ketika satu mimpinya berhasil tercapai, Ntilikina kini punya tugas baru untuk membuat dirinya bertahan di liga. Ia perlu membuat dirinya setara dengan pemain-pemain hebat dari Amerika Serikat. Karena benar saja, ketika Amerika Serikat memberi harapan, ia sekaligus menghadapkan para pemimpi dengan tantangan lainnya. Namun, setidaknya tinggal di Amerika Serikat menjanjikan untuk Ntilikina dan keluarganya daripada lebih lama menetap di Rwanda. Karena tinggal di negara kecil di Benua Afrika itu, dengan sejarah perang dan genosida, bisa saja bakat Ntilikina hanya berakhir menjadi jasad tanpa nama.

Foto: The Players' Tribune

 

Baca juga seri Black History Month lainnya:

Menapak Jejak Pebasket Afro-Amerika dalam peringatan Black History Month

Perang Membuat Serge Ibaka Menjadi Seorang Spanyol (1/6 Black History Month)

Earl Lloyd, Sang Pionir Kulit Hitam di Laga NBA (2/6 Black History Month)

Bill Russell, Pelatih Kulit Hitam Pertama di NBA (3/6 Black History Month)

Amerika Serikat, Taksi, dan Mimpi Frank Ntilikina (4/6 Black History Month)

Texas Western Mengubah Wajah Basket Amerika Serikat (Black History Month 5/6)

Komentar