IBL

Menapak Jejak Pebasket Afro-Amerika dalam Peringatan Black History Month

Introduksi

Amerika Serikat memiliki sejarah panjang yang melibatkan warga keturunan Afro-Amerika dalam kisahnya. Pada Februari setiap tahunnya, Amerika Serikat memperingati Black History Month untuk mengingat kembali tokoh-tokoh dan momen besar orang-orang kulit hitam. Upaya itu dilakukan untuk mengingatkan kembali betapa panjang dan hebat perjuangan mereka dalam persoalan kesetaraan ras dan hak asasi manusia.

Tidak terkecuali NBA, liga bola basket paling terkenal seantero dunia itu juga ikut memperingatinya. Elemen-elemen penting dalam sejarah Afro-Amerika seringkali tampil di saat-saat ini, entah lewat pernak-pernik seperti kaus maupun sepatu. Para pemainnya tampak hadir dengan semangat yang sama: kesetaraan (equality).

Dengan semangat itu, Mainbasket menggali kisah-kisah pemain keturunan Afrika dan menghadirkannya dalam enam tulisan. Kami mendefinisikan semangat kesetaraan secara luas untuk memaknai kisah-kisah inspiratif dari para pemain NBA keturunan Afrika.

Jika Earl Lloyd menjadi pemain berkulit hitam pertama yang berhasil berlaga di NBA, kini Mainbasket mengangkat kisah tentang pelatih berkulit hitam pertama di liga basket tersohor itu. Bill Russell, legenda NBA yang berhasil menjadi juara belasan kali, merupakan pelatih kulit hitam pertama di sana. Kisah inspiratifnya tentang kesetaraan ras menjadi fokus utama dalam cerita ini; tentang bagaimana ia bermain basket untuk melanjutkan hidup dan mengangkat derajatnya, meski ternyata menjadi megabintang NBA tidak serta membuat upaya itu berhasil.

 

***

 

Bill Russell tampak duduk di antara para penonton yang memadati Staples Center ketika All-Star Game berlangsung di Los Angeles, California, Amerika Serikat, Minggu 18 Februari 2018. Pria jangkung itu duduk di sebelah Jerry West sang logo NBA dan sederet legenda lainnya seperti Julius Erving dan Kareem Abdul-Jabbar. Beberapa saat kemudian, LeBron James, forward Cleveland Cavaliers, menyalami mereka untuk menyampaikan rasa hormatnya kepada para legenda.

Dari sederet nama melegenda tersebut, hanya Bill Russell yang memiliki 11 cincin juara NBA. Ia meraih semua gelar itu dalam 13 musim karirnya bersama Boston Celtics. Jumlah cincin tersebut bahkan lebih banyak dari yang dimiliki Michael Jordan—pemain yang disebut sebagai greatest of all-time (terbaik sepanjang masa)—ketika berkarir di Chicago Bulls. Belum lagi Russell juga sempat meraih lima kali gelar pemain terbaik. Maka, tidak heran jika pemain NBA di zaman yang lebih baru, seperti LeBron James, begitu menghormati kehadirannya.

Bertolak ke masa silam, meski begitu dihormati hari ini, Bill Russell sebenarnya punya masa lalu yang membuatnya terasingkan. Para pencari bakat ketika ia masih duduk di bangku SMA tak meliriknya karena masalah ras. Di zaman itu, orang-orang kulit hitam sulit mendapat kesempatan yang sama dengan warga negara Amerika Serikat lainnya. Namun, cerita menjadi lain ketika Hal DeJulio dari University of San Francisco menonton pertandingannya.

DeJulio memang tidak tertarik dengan kemampuan Russell, tapi ia bisa mengendus lebih dalam pada bakat muda yang luar biasa. Ia melihat Russell punya kegigihan yang membuatnya tergugah untuk merekrutnya ke sekolah tinggi. Ia pun menawarkan Sang Legenda itu dengan beasiswa.

Russell menerima tawaran itu tanpa pikir panjang. Ia paham betul bagaimana bola basket akan jadi satu-satunya jalan yang mampu mengeluarkannya dari jurang kemiskinan dan rasisme, sampai kemudian hal itu benar terjadi. Deretan prestasi—yang beberapa sudah disebutkan di atas—menjadi bukti betapa Amerika Serikat akan merugi andai DeJulio tak mampu mengendus bakat seorang Bill Russell kala itu.

Boston Celtics—yang memilihnya pada NBA Draft 1956—juga menjadi klub beruntung yang mampu melihat kehebatan Russell. Daripada membuang muka dari pemain sehebat itu hanya karena isu-isu rasime, Celtics lebih memilih untuk merekrutnya. Russell merasa senang ketika ia terpilih meski harus menempatkan dirinya di antara orang-orang kulit putih.

“Ini menarik. Saya lahir di Louisiana dan mengenyam pendidikan di sekolah orang-orang kulit hitam,” kenang Bill Russell, seperti dimuat situs resmi Celtics, dalam memperingati Black History Month. “Dan itu berubah ketika saya pindah ke California, di mana saya mengenyam pendidikan di sekolah campuran. Lalu saat di University of San Francisco, mereka hampir berkulit putih semua. Jadi, saya sudah terbiasa dengan teman-teman berkulit putih. Perbedaannya ketika di Celtics, mereka benar-benar mampu bermain basket.”

Bill Russell bangga kepada LeBron James karena tetap teguh memperjuangkan haknya untuk menyuarakan pendapatnya tentang isu sosial dan politik di Amerika Serikat. Foto: Nathaniel Butler/NBAE via Getty Images

 

Kehidupan Russell tidak pernah berjalan biasa sejak dulu. Ketika masih kecil, misalnya, ia menyaksikan bagaimana orang-orang memperlakukan keluarganya dengan rendah, sehingga kedua orangtuanya memutuskan pindah ke perumahan milik pemerintah untuk menghindari para bigot. Ketika menjadi bintang NBA, ia berkali-kali merasakan betapa masyarakat tak memberi kesempatan untuk orang-orang kulit hitam hidup dengan derajat yang sama.

Suatu hari, ketika para All-Star tur keliling Amerika Serikat pada 1958, pemilik hotel berkulit putih menolak memberikan kamar pada Russell dan rekan-rekannya. Sebelum musim bergulir pada 1961, di kesempatan lain Russell mendapat perlakuan serupa. Sebuah restoran menolak melayani mereka karena mereka berkulit hitam. Dua peristiwa itu sedikit-banyak menggambarkan betapa rasisme sedang panas-panasnya saat itu.   

Kendati begitu, perlakuan tak mengenakan itu tak menyurutkan semangat Russell untuk terus berkiprah di liga profesional. Ia terus tumbuh menjadi pemain, yang menurut laporan New York Times pada 1966, disebut sebagai sebuah wujud kebanggaan dan kerja keras. Menjadi kulit hitam, seperti apa kata LeBron James, memang selalu sulit. Namun, tekad Russell untuk menunjukkan kapabilitasnya dan eksistensi rasnya di sana membawanya ke tingkat berbeda; bahwa orang-orang kulit hitam bagaimanapun memiliki hak yang sama di hadapan segala ras.  

Sikap Russell memang tampak kontroversial ketika ia dengan terang-terangan enggan menemui jurnalis dan para penggemar. Namun, jika melihatnya dari sisi lain, sikap tersebut merupakan bentuk sensitivitasnya kepada isu-isu rasial. Itulah yang kemudian membuatnya aktif di beberapa gerakan sosial seperti Black Power Movement. Dalam satu kesempatan, ia juga tampak mendukung pilihan petinju legendaris Muhammad Ali yang menolak bergabung dengan militer untuk berperang di Vietnam.

Sikap serupa terjadi belakangan ini. Russell mendukung LeBron James dan Kevin Durant yang sering menyuarakan dan menyatakan sikap kepada pemerintahan Presiden Donald Trump yang tampak mengompori isu-isu rasial. Hal itu dilakukan menyusul pernyataan pembawa berita Fox News, Laura Ingraham, yang meminta para atlet untuk tidak ikut campur dalam kehidupan sosial dan politik. Isu tersebut terkenal lewat kalimat, “shut up and dribble” (diam dan bermain basket saja).  

Bill Russell bersama Red Auerbach ketika sama-sama membela Boston Celtics. Foto: Associated Press

 

Mendiang Red Auerbach, kepala pelatih Boston Celtics 1950-1966, punya kisah sendiri tentang orang-orang kulit hitam. Setelah memilih Chuck Cooper sebagai pemain kulit hitam pertama di NBA Draft 1950, ia membuat gebrakan lain dengan menghadirkan lima pemain utama berkulit hitam di liga 14 tahun kemudian. Pada 1966, ia bahkan mengosongkan tempat kepala pelatih untuk membuat Bill Russell, anak asuhnya di Celtics, naik ke posisinya dan menjadi kepala pelatih profesional berkulit hitam pertama di NBA.

Di tiga musim terakhir di Celtics, Russell tidak hanya menjadi pelatih, ia juga ikut bermain. Ia memenangkan 2 dari total 11 gelar juaranya sebagai pemain dan pelatih. Namun, Russell menampik tawaran melatih itu semata karena ia berkulit hitam. Ia mengaku tawaran itu datang karena ia memiliki kemampuan, bukan karena isu-isu sosial.

“Saya tidak ditawari pekerjaan ini karena saya berkulit hitam,” ujar Russell, seperti dilansir The Undefeated. “Saya ditawari ini karena Red tahu saya bisa melakukannya.”

Musim perdana Russell sebagai pemain dan pelatih menjadi ujian berat baginya. Mereka masih harus bertempur dengan Philadelphia 76ers dengan bintang andalan Wilt Chamberlain—kompetitor terbesar Russell selama karirnya. Rivalitas kedua pemain ini bahkan tercatat sebagai persaingan terbesar di NBA era 1950-an.

Sixers berhasil meruntuhkan dominasi Celtics di musim debut Russell itu. Mereka menyetop laju Celtics ke final untuk pertama kalinya dalam satu dekade terakhir. Namun, balas dendam justru terjadi semusim berikutnya, Russell dkk. berhasil menumbangkan Wilt Chamberlain dan Sixers. Rivalitas mereka selalu menjadi cerita seru pada zamannnya.

Tepat di musim itu juga, Dr. Martin Luther King Jr., aktivis hak sipil Amerika Serikat, terbunuh. Russell—yang juga aktif mendukung King Jr. dan sempat hadir saat aktivis hak sipil itu berpidato “I Have a Dream” di Washington D.C.—merasa jengah dan sedih. Namun, katanya hidup perlu berjalan terus.

Sejak peristiwa mengerikan itu, Russell tetap pada pendirian untuk terus memperjuangkan kesetaraan. Lewat basket, ia membangun namanya supaya bisa ikut bersuara mempengaruhi Paman Sam untuk bersikap adil kepada masyarakatnya di berbagai lapisan. Black History Month, salah satunya, menjadi momen penting baginya untuk tampak selalu vokal dalam hal-hal tersebut. Maka, ketika Laura Ingraham meminta LeBron James dan atlet-atlet lainnya yang berhenti menyuarakan ketidaksukaannya pada pemerintahan, Russell justru bangga dengan cara mereka menggunakan kepopuleran untuk memperjuangkan apa yang mereka percaya. Sebab ia tahu benar mimpi apa yang diusung King Jr. pada pidatonya di Ibukota itu; tentang suatu hari, kelak anak-cucu mereka bisa tinggal dengan damai sebagai bagian dari masyarakat yang toleran.   

Foto: SLAM

 

Baca juga seri Black History Month lainnya:

Menapak Jejak Pebasket Afro-Amerika dalam peringatan Black History Month

Perang Membuat Serge Ibaka Menjadi Seorang Spanyol (1/6 Black History Month)

Earl Lloyd, Sang Pionir Kulit Hitam di Laga NBA (2/6 Black History Month)

Bill Russell, Pelatih Kulit Hitam Pertama di NBA (3/6 Black History Month)

Amerika Serikat, Taksi, dan Mimpi Frank Ntilikina (4/6 Black History Month)

Texas Western Mengubah Wajah Basket Amerika Serikat (Black History Month 5/6)

Komentar