IBL

*Tulisan ini adalah sambungan dari tulisan "Episode 1 dan 2 'The Last Dance', Kisah Pembuka Konflik Internal Bulls 1997-98"

...

Masa kanak-kanak adalah masanya lu mengidolakan Batman. Masa dewasa adalah saat lu menyadari bahwa Joker (ternyata) lebih masuk akal.

...

Ada sebuah komentar menarik di unggahan instagram @mainbasket tentang film dokumenter “The Last Dance” episode 1 dan 2. Komentar tersebut mengumpamakan Michael Jordan sebagai Batman dan Scottie Pippen sebagai Robin. Penggambaran ini bukanlah hal baru. Banyak memang yang menganalogikan keduanya (Jordan dan Pippen) bak Batman dan Robin.

Bila Jordan adalah Batman dan Pippen adalah Robin, langsung saja, maka gw akan menempatkan Jerry Krause sebagai Joker. Dan sejak film Batman “The Dark Knight” (2008), gw menjadi fan Batman yang kemudian kagum kepada sosok Joker (versi Cristopher Nolan). Benar, karena gw kagum kepada Joker, oleh karena itu pula gw mulai merasakan kekaguman kepada sosok Jerry Krause.

Terlalu mudah untuk jatuh cinta kepada Michael Jordan dan kemudian bersimpati dan mengidolakan Scottie Pippen. Jauh sebelum film The Last Dance nongol, publik sudah menahbiskan Jordan sebagai “GOAT” atau Greatest Of All Time alias pemain terbaik sepanjang masa. Pemain-pemain hebat yang hadir sebelum Jordan seperti Lary Bird, Magic Johnson, Kareem Abdul-Jabbar, Bill Russell, dan lain-lain langsung tak masuk hitungan.

Tahta Jordan mulai terganggu di tahun 2000-an hingga sekarang. Mereka yang belum lahir ketika Jordan mengukuhkan kekuasaannya seolah “mempertanyakan” kehebatannya. Nama Kobe Bryant dan LeBron James dengan segala aksi dan pencapaian mereka dibanding-bandingkan dengan Jordan. Bagi penggemar fanatik Jordan, dua nama tersebut tetap saja tak masuk hitungan. Bolehlah kalau sekadar ada di nomor urut dua dan tiga.

Gw cukup kaget menyaksikan menit-menit awal The Last Dance. Pengarah cerita dengan gamblang menempatkan Jerry Krause sebagai “penjahat”. Ia dianggap sebagai “perusak suasana” yang sejak awal musim 1997-1998 mengatakan bahwa itu adalah musim terakhir skuat Bulls dengan komposisi yang ada, sekaligus tahun terakhir Phil Jackson di sana.

Apakah hanya gw yang merasa Jerry Krause diposisikan sebagai sosok antagonis? Rasanya tidak. Beberapa saat setelah The Last Dance mengudara, muncul meme di instagram yang menggambarkan Jerry Krause bak Mr. Swackhammer.

Mr. Swackhammer adalah karakter antagonis utama di film Space Jam. Ini film animasi di mana Michael Jordan menjadi Michael Jordan melawan monster-monster alien animasi di bawah pimpinan Mr. Swackhammer.

Sebagai pemimpin para monster alien, Mr. Swackhammer juga ingin memperbudak karakter-karakter lucu nan baik Looney Tunes. Tujuannya untuk menjadi tontonan taman hiburan demi meraih sebanyak-banyak keuntungan. Lucunya, pengisi suara Mr. Swackhammer di Space Jam adalah Danny DeVito, yang juga memerankan Penguin si sosok jahat di film Batman Returns.

Persinggungan antara Michael Jordan dan Jerry Krause di The Last Dance lebih banyak tentang bagaimana Jordan merisak (bully) Jerry. Postur tubuh Jerry menjadi sasaran empuk risakan Jordan.

Di sanalah kekaguman gw kepada Jerry juga terpupuk. Reaksi Jerry hanya diam. Walau dalam ekspresinya, cukup terlihat ia merasakan “pukulan” ejekan Jordan. Perang dingin antarkeduanya juga terlihat. Di sini, gw melihat Jerry diperlakukan bak Arthur Fleck (Joker) di film Joker yang diperankan Joaquin Phoenix tahun 2019.

Mengenal Jerry Krause

Jerry Krause memegang jabatan manajer umum (general manager –selanjutnya gw sebut “manajer” saja) Chicago Bulls dari tahun 1985 hingga 2003. Yup, Jerry bergabung dengan Bulls setahun setelah Jordan ada di sana.

Sebagai seorang manajer, Jerry punya peran besar dalam membentuk tim Bulls yang legendaris. Tim yang kemudian menjadi enam kali juara NBA (dua kali tiga kali berturut-turut) boleh dikata adalah buah tangan dingin Jerry.

Saat pertama kali menjabat sebagai manajer Bulls, Jerry melakukan perombakan. Ia mengeluarkan pemain-pemain yang tidak ia inginkan dan mengumpulkan tiket-tiket kesempatan untuk memilih di Draft NBA.

Tahun 1987, Jerry menemukan dua keping emas pelengkap awal dinasti Bulls. Scottie Pippen dan Horace Grant. Yup, sekali lagi, Jerrylah yang menemukan Pippen dan Grant. Dua pemain penting di sisi Jordan saat Bulls menjadi juara tiga kali 1991-1993.

Sebagai seorang manajer, Jerry memiliki reputasi sebagai pencari bakat yang ulung di NBA. Walau beberapa pilihannya juga berujung pada pemain-pemain yang performanya mengecewakan.

Salah satu manuver penting Jerry Krause terjadi di tahun 1988. Ia mengirim Charles Oakley ke New York untuk mendapatkan Bill Cartwright. Barangkali, inilah salah satu momentum awal kekesalan Jordan ke Jerry. Oakley adalah sahabat Jordan. Di film The Last Dance, ada beberapa fragmen di mana Oakley terlihat bertindak sebagai kakak pelindung Jordan, khususnya melawan kerasnya pemain-pemain Detroit. Di episode kedua juga digambarkan kerasnya Oakley yang menampar Scottie Pippen yang berlagak mengatakan bahwa ia bisa lebih hebat daripada Jordan.

Cartwright menjelma menjadi pemain yang sangat dibutuhkan Bulls. Ketika senter New York Knicks Patrick Ewing semakin mendominasi, jawaban terbaiknya adalah Bill Cartwright. Di sini, kecerdasan Jerry mengalahkan persahabatan Jordan. Jordan belakangan mengakui kehebatan Jerry dalam langkahnya yang satu itu.

Pada Olimpiade Barcelona 1992, di mana Jordan dan Pippen tergabung dalam timnas Amerika Serikat “The Dream Team”, Jerry juga menemukan bakat baru yang akan memperkuat Bulls di masa depan. Ia adalah pemain Kroasia bernama Toni Kukoc.

Tentu saja Jordan dan Pippen tak suka dengan (yang saat itu) akan dilakukan Jerry. Ketika Amerika Serikat berjumpa Kroasia di final, Jordan dan Pippen habis-habisan mengerjai Kukoc. Tujuannya, membuat Jerry kesal. Toni Kukoc kemudian bergabung dengan Bulls tahun 1993 saat Jordan mengumumkan undur diri (yang pertama) dari NBA.

Pada musim 1993-1994, Jerry merekrut Luc Longley lewat skema pertukaran pemain. Sebelum musim 1995-1996 dimulai, Jerry juga mengirim Will Perdue ke San Antonio untuk mendapatkan Dennis Rodman.

Ketika Jordan kembali lagi ke NBA tahun 1995, Jerry sudah menyiapkan segalanya. Jerry meraih gelar Executive of the Year untuk kedua kalinya, dan Bulls memulai rangkaian juara tiga kali berturut-turutnya yang kedua.

Sasaran yang sama tapi berbeda

Kekesalan Michael Jordan terhadap Jerry teramat besar sampai ia harus merisaknya sedemikian rupa. Di sisi lain, Jerry dengan segala gaya kerjanya sungguh mampu membuat Jordan dan Pippen berlaku demikian kepadanya.

Bayangkan betapa kekesalan akan terus menumpuk setiap kali Jerry mengambil keputusan atau berbuat sesuatu yang kontroversial di mata Jordan dan Pippen. Bayangkan pula kekuatan Jerry menghadapi risakan dan tekanan Jordan dan Pippen sepanjang kebersamaan mereka di bawah satu organisasi. Siapa yang lebih kuat? Entahlah.

Gw sampai berpikir, lawan terberat Jordan bukanlah lawan-lawannya di lapangan seperti Karl Malone, Patrick Ewing, Gary Payton, Charles Barkley, Reggie Miller dan lain-lain. Lawan terberatnya adalah Jerry Krause! Ibarat Batman, musuh-musuhnya seperti Two Faces, Penguin, The Riddler, Poison Ivy, dan lain-lain hanyalah “figuran”. Lawan terberatnya adalah Joker.

Bagaimanapun, tulisan ini tidak bermaksud mencoba mengglorifikasi Jerry Krause. Tidak pula mencoba mendudukkan Jerry di tempat yang lebih layak atas segala kontribusinya bagi Bulls (Jerry sepertinya sudah mendapatkan apa yang ia perjuangkan dengan layak).

Jerry adalah Jerry. Beberapa sumber berita dan cerita di media massa mengungkapkan betapa memang mengesalkannya ia sebagai seorang manajer. Oleh karena itu pula, sangat bisa dipahami kenapa kekesalan-kekesalan Jordan tumpah dalam bentuk ejekan-ejekan baik di depan ataupun di belakang Jerry. Sesimpatik apapun sosok Joker (khususnya setelah The Dark Knight dan Joker), Bruce Wayne tetap berhak punya alasan untuk membencinya.

He’s a polarizing figure.” Kata Jason Hehir, sutradara The Last Dance, tentang sosok Jerry Krause saat wawancara dengan Jalen Rose dan David Jacoby di ESPN.

(((A polarizing figure))) Bagi gw, terdengar sangat Joker!

Menyaksikan film Batman sebagai sebuah karya fiksi, sosok Batman dan Joker juga cukup pas menggambarkan situasi antara Jordan dan Jerry. Sebagai film, Batman sudah meraih popularitas, penghargaan dan pemasukan yang luar biasa banyak. Persis seperti popularitas Bulls dan Jordan dan anggota tim lainnya). Selanjutnya, sosok Joker yang diperankan Joaquin Phoenix dan Heath Ledger masing-masing meraih Piala Oscar. Jerry meraih penghargaan sebagai manajer tim dan termasuk sebagai salah satu sosok yang masuk ke dalam deretan Basketball Hall of Fame.

Jerry sangat memperhatikan kesuksesan Bulls sebagai sebuah entitas manajemen (mengejar keuntungan). Jordan sangat memperhatikan Bulls sebagai sebuah tim basket (mengejar juara). Keduanya punya tujuan yang terlihat berbeda, namun hakikatnya saling memperkuat satu sama lain.

Saat akan mengeluarkan Scottie Pippen dari Bulls, Jerry sudah menyiapkan penggantinya. Ia bernama Tracy McGrady.

Entah ke mana sejarah akan berujung jika itu benar-benar terjadi.

Gw sendiri mencoba memahami apa yang memotivasi aksi dan karakter Jerry. Gw berpikir pastilah ia punya tujuan sendiri. Tujuan yang tampaknya cukup diamini oleh manajemen Bulls. Kalau tidak, mana mungkin Jerry bisa bertahan lama di Chicago.

Di sisi ini, gw mengagumi Jerry sebagai seorang yang kukuh, walau menyebalkan, dalam mengejar tujuannya. Jordan dan Pippen saja dilawannya, apalagi yang lain. Mirip Joker yang tak punya rasa takut.

Di salah satu komik Batman, Joker membunuh Robin. Setelah film The Dark Knight dan Joker, kita mulai melihat Joker dan Batman sebagai sosok yang berbeda. Batman jadi terlihat cupu dan simpati mulai membanjiri Joker.

Barangkali, inilah yang ditakutkan Michael Jordan ketika dokumenter The Last Dance akan keluar beberapa waktu lalu. Jordan mungkin khawatir akan banyak yang tidak menyukainya setelah melihat The Last Dance. Persis seperti ujung film Batman The Dark Knight ketika kita melihat Batman yang malah kabur dikejar polisi.

Jadi, siapa sebenarnya yang jahat? (*)

 

Foto: Chicago Tribune

Komentar