IBL

Penulis tinggal di wilayah tempat asal atlet-atlet juara NBA seperti George Mikan, Mark Agguire, Isiah Thomas, dan Dwyane Wade. Juga pelatih-pelatih ternama sekelas Mike Krzyzewski, Doc Rivers, Jerry dan Sloan. Dari Wilayah ini jugalah banyak bermunculan atlet-atlet NBA dengan kemampuan yang istimewa seperti Tim Hardaway, Derrick Rose, dan Anthony Davis. Penulis telah mengikuti NBA lebih dari dua puluh tahun. Menganalisis secara retrospektif perubahan yang terjadi di NBA selama lima dekade ke belakang, dan melakukan riset yang berhubungan dengan NBA, biomekanik basket, dan kultur basket lokal selama kurang dari enam tahun.

Kesimpulan dari perjalanan Penulis pada akhir tahun 2019 adalah tinggi badan bukanlah faktor utama pendukung kesuksesan di NBA saat ini. Sumber masalah Indonesia tidak dapat menjadi juara di tingkat internasional adalah karena ilmu pengetahuan dan sistem pengembangan atlet yang tertinggal beberapa dekade dari negara-negara yang basketnya maju.

Masih mempermasalahkan dan mengagungkan pentingnya tinggi badan untuk mencapai kesuksesan di cabang olahraga basket adalah suatu indikasi keterbelakangan wawasan. Semoga para pembaca setia Mainbasket tidak menjadi salah satu di antaranya. Untuk itulah Mainbasket gencar membuat artikel-artikel seperti ini. Demi mencegah ketertinggalan para pembaca setianya.

Apabila Indonesia mengirimkan sekumpulan atlet profesional terbaiknya yang dikembangkan di Indonesia dengan tinggi badan >190 sentimeter (tidak ada yang kurang dari 190 sentimeter) di rentang usia 24—30 tahun, untuk bertanding dengan atlet amatir dan semi pro turunan Asia-Amerika (bukan ras campur) dengan rentang usia yang sama, tetapi dengan tinggi rata-rata 185 sentimeter, Penulis yakin bahwa Indonesia akan meraih kekalahan telak dari seluruh kesempatan pertandingan.

Atas dasar apakah keyakinan Penulis tersebut? Atas dasar sistem yang pro seleksi, pro sentralisasi, minim kompetisi dan kurang kompetitif, serta kurangnya wawasan dalam upaya pengembangan atlet. Belum lagi masalah mentalitas. Sumber-sumber masalah ini akan kita bahas di kesempatan lain.

Penulis akan berbagi sedikit cerita mengenai wilayah tempat Penulis berada agar dapat melihat seperti apakah perbedaan situasi dan kondisinya dengan kota tempat Anda berada.

Di sekitar radius satu sampai dua mil dari tempat tinggal maupun tempat kerja Penulis, setidaknya terdapat 10 lapangan basket yang dimiliki oleh gym milik swasta, gym di sekolah atau universitas, dan untuk publik. Lapangan basket di dalam sekolah atau universitas pun biasanya memiliki jadwal-jadwal tertentu yang dibuka untuk komunitas sekitar. Tidaklah heran apabila basket menjadi olahraga utama rakyat di kota ini.

Pemerintah kota Chicago memiliki badan yang disebut Chicago Park District untuk mengelola pertamanan dan fasilitas-fasilitas umum, termasuk lapangan basket. Setidaknya terdapat 200 lapangan basket dalam dan luar ruangan yang disediakan pemerintah. Sekitar 70 di antaranya merupakan lapangan basket dalam ruangan yang dilengkapi dengan fasilitas latihan angkat beban dan fasilitas olahraga lainnya. Anda bisa melihat informasinya secara langsung di sini.

Biaya untuk menggunakan fasilitas-fasilitas tersebut biasanya sekitar AS$10—30 atau bahkan ada yang gratis (tergantung lokasi). Bahkan, pemerintah memberikan biaya langganan per tahun sebesar AS$200 untuk akses bebas ke semua fasilitas yang terdaftar di Chicago Park District. Harga tersebut sangatlah murah bila melihat upah minimum pekerja kasar paling rendah di Chicago adalah AS$14 per jam. Dengan demikian, setiap atlet basket dari berbagai kalangan dapat latihan di manapun mereka berada. Tidak ada alasan tempat latihan yang jauh dan tidak tersedia fasilitas.

Hal yang menarik lagi adalah banyaknya kompetisi basket di seluruh area Chicago untuk berbagai tingkat dan usia. Hampir semua gym yang memiliki lapangan basket dalam ruangan yang terdaftar di Chicago Park District menyelenggarakan liga basket setiap musimnya. Pada musim semi, musim panas, musim gugur, dan musim dingin. Untuk tingkat anak-anak hingga dewasa dan untuk tingkat basket rekreasi hingga yang lebih kompetitif.

(Baca juga: Bolaharam: Mempertanyakan Kembali Fungsi Pemain Tinggi di Dalam Tim)

Pendaftaran kompetisi dibuka untuk umum dan semua orang bisa mendaftarkan timnya atau bahkan hanya mendaftarkan perorangan bagi yang tidak memiliki tim (akan dibentuk tim yang terdiri dari para pendaftar perorangan). Informasi penyelenggaraan kompetisi selalu tersedia di papan pengumuman di masing-masing gym setiap komunitas.

Selain dari pihak pemerintah, penyediaan gym dan lapangan basket dalam ruangan juga dilakukan oleh pihak swasta yang membuka pusat-pusat kebugaran. Jumlahnya tidak kalah banyak dengan yang disediakan oleh pemerintah. Namun, memiliki perlengkapan latihan beban yang lebih baik dan penyediaan bola basket yang lebih banyak, juga lebih sering diperbaharui setiap musimnya. Harganya pun tentu lebih mahal. Bervariasi antara AS$50—200 per bulan.

Lapangan basket yang disediakan pihak swasta juga menyediakan kompetisi dengan sistem musiman yang sama. Sehingga setidaknya terdapat empat musim kompetisi di dalam suatu gym di kota Chicago. Bisa dibayangkan berapa ratus musim kompetisi basket amatir dan semi pro yang diselenggarakan setiap tahunnya dan tersebar di kota Chicago.

Banyaknya kompetisi tersebut sering dimanfaatkan sebagai ajang uji coba bagi atlet-atlet yang hendak mengikuti perekrutan di tingkat universitas atau bahkan hendak mengikuti perekrutan di tingkat profesional. Tentunya mereka beruji coba setelah melewati siklus latihan pengembangan kekuatan dan tenaga sesuai dengan program para pelatih fisiknya masing-masing. Para atlet yang serius terjun ke dunia profesional di Amerika Serikat biasanya menggunakan jasa pelatih fisik yang bersertifikasi NSCA atau NASM atau ACE. Para pelatih fisik tersebut sebelumnya telah memiliki diploma keolahragaan atau kinesiologi atau sejenisnya.

Pada periode 2017-2018, rekan Penulis pernah melakukan pencatatan ukuran tubuh di beberapa gym yang banyak digunakan oleh atlet-atlet lokal yang melakukan persiapan untuk mengikuti perekrutan. Penulis tidak ingat dengan pasti jumlahnya, tetapi kira-kira sekitar 50—60 atlet. Yang Penulis ingat adalah persentase kelompok ukuran tubuh 6’10 dan 6’11 yang jumlah keduanya mencapai angka belasan persen.

Para atlet tersebut dapat dijumpai hampir setiap hari di gym-nya masing-masing dan tidak ada satu pun dari mereka yang memiliki lemak tubuh di atas delapan persen. Bagi mereka, karier sebagai atlet basket profesional adalah satu-satunya jalan mengubah kehidupan agar menjadi lebih baik sehingga mereka berusaha semaksimal mungkin untuk dapat menjadi atlet basket profesional di Amerika Serikat.

Hasilnya adalah tidak ada satu pun di antara mereka yang berhasil menjadi atlet basket profesional di Amerika Serikat dan sebagian besar dari mereka akhirnya mencoba mengadu nasib di berbagai mancanegara yang peringkat basketnya lebih rendah.

Apakah sangat banyak jumlah atlet yang berukuran tubuh 6’10 dan 6’11 di Amerika Serikat, sehingga mereka yang bertubuh sangat tinggi dan pekerja keras ini tersingkir? Ataukah tim-tim NBA membutuhkan atlet yang lebih tinggi lagi agar sukses? Ataukah sebenarnya tinggi badan tidak dijadikan sebagai pertimbangan utama dalam pemilihan?

Di bawah ini adalah gambaran data ukuran tinggi badan para atlet (tanpa sepatu) yang terdaftar di perekrutan NBA periode 2017-2019:

Penulis akan kembali membahas Chicago dan sekitarnya, yang telah kalian ketahui bahwa betapa hebatnya dukungan pemerintah terhadap olahraga basket di kota ini. Hasil dari dukungan tersebut adalah Illinois (negara bagian di mana kota Chicago berada) menjadi salah satu wilayah penyumbang terbesar atlet-atlet yang mengikuti turnamen NCAA, selain dari Texas, California, Florida, dan New York. Dalam tiga tahun terakhir tercatat rata-rata 47 atlet. Tertinggi pada tahun 2019, yaitu terdapat 54 atlet asal Illinois yang tersebar di berbagai universitas untuk berlaga di turnamen NCAA.

Tabel di bawah ini adalah dafter atlet dari Chicago/Illinois yang berhasil direkrut di NBA. Periode 2018-2019 adalah masa perekrutan terbanyak pada dekade 2010-an. Dari sekian banyak atlet-atlet lokal berpostur sangat tinggi di Chicago/Illinois, ditambah lagi dengan berbagai dukungan kemudahan fasilitas dan sarana (menurut Penulis, kemudahan akses fasilitas latihan di Chicago adalah yang terbaik bila dibandingkan wilayah penyumbang atlet NBA lainnya), ternyata tidak menjamin bahwa mereka yang tingginya di atas rata-rata tersebut dapat bergabung di NBA dan bahkan tersingkir oleh sekumpulan atlet yang bertubuh lebih rendah. Mengapa demikian?

Tim NBA tidak membutuhkan atlet yang tinggi, melainkan atlet yang dapat mendukung faktor-faktor kesuksesan berdasarkan riset seperti yang sudah dibahas pada dua artikel sebelumnya. Andaikan terdapat atlet yang tubuhnya di bawah rata-rata, tetapi dapat mendukung faktor-faktor kesuksesan, maka atlet tersebut akan diprioritaskan daripada atlet yang bertubuh tinggi, tetapi tak mendukung kesuksesan. Apabila ternyata atlet yang dapat mendukung kesuksesan memiliki tubuh yang sangat tinggi, maka tingginya tersebut adalah bonus.

Sebagai contoh pada NBA draft tahun 2019, di mana Ja Morant (6’3) terpilih di urutan kedua dan mengungguli R.J. Barrett (6’6) dan DeAndre Hunter (6’7). Hal tersebut tidak mungkin terjadi di Indonesia bila melihat minimnya pengumpulan data dan analisis data dalam upaya mengevaluasi atlet. Pilihan tersebut terbukti memberikan hasil positif, ternyata Morant memiliki nilai eFG% sebesar 51,8 persen dan TS% sebesar 56,9 persen, dibandingkan dengan Barrett dan Hunter, yang bahkan ternyata memiliki nilai eFG% dan TS% di bawah rata-rata.

(Baca juga: Bolaharam: Fungsi Pemain Tinggi di Dalam Tim)

Berdasarkan logika, seharusnya atlet yang bertubuh lebih tinggi berpeluang lebih besar memiliki nilai eFG% dan TS% yang lebih baik karena posisi jaring ada di atas. Namun, hal tersebut tidak berlaku di NBA yang mengutamakan bukti berupa data.

Dari manakah pertimbangan pemilihan Morant oleh tim? Tentu saja dari data dan hasil yang diberikan oleh scout kepada pelatih tim dan manajer. Penulis tidak akan memperlihatkan seperti apa bentuk laporan evaluasi atlet yang kompleks, tetapi bersedia menampilkan tabel hasil pencatatan sederhana yang disediakan dari situs thestepien.com.

Pencatatan data seperti di atas ini tidak pernah Penulis jumpai di Indonesia. Penulis tidak mengetahui apakah para pakar basket yang sangat hebat di Indonesia sudah dapat menentukan kualitas suatu pemain dengan cara duduk di bangku sambil melipat lengan dan mengangguk-angguk atau bergeleng-geleng ketika melihat sekumpulan para atlet yang sedang latih tanding di acara seleksi. Kemudian sudah cukup puas dengan catatan statistik tradisionalnya saja.

Sementara di negara maju, para pelatih atau pemandu bakat yang berniat mengevaluasi pemain untuk direkrut, biasanya sibuk merekam pertandingan dan mencatat atau melakukan pendataan di lapangan untuk hal-hal yang spesifik. Hasil catatan tersebut kemudian dikonfirmasi kembali dari video yang telah direkam. Setelah lengkap, maka datanya tersebut dianalisis dan dibuat tulisan evaluasinya.

Untuk mengetahui progres suatu atlet, maka perlu dilakukan pendataan secara berkala dan kemudian dilanjutkan dengan analisis dan seterusnya. Hasil analisis data dalam sekian waktu tersebut ditampilkan dalam bentuk grafik untuk melihat progres dari prosesnya.

Philadelphia 76ers tidak sekedar menyuarakan slogan pepesan kosong “Trust the Process”. Mereka memiliki data yang membuat berani menyuarakan slogan tersebut. Penulis tidak tahu apakah teriakan “Trust the Process” yang disuarakan di Indonesia adalah berdasarkan data ataukah sekedar meniru-niru?

Julukan Joel Embiid adalah The Process dan Anda sudah melihat shot chart-nya pada artikel sebelumnya.

Bersambung…

Foto: NBA

Komentar