IBL

Beberapa tahun lalu, dalam sebuah acara formal NBA di Tiongkok, saya bertemu dengan seseorang dari Korea. Setelah berbincang sesaat, ternyata kami berdua sama-sama penggemar Sacramento Kings. Dia bahkan dengan lantang memproklamasikan diri sebagai “The biggest Sacramento Kings fan in Asia.”

Mohon maaf, balas saya. Dia bukanlah penggemar terberat Sacramento Kings di Asia. Gelar itu seharusnya ada pada saya!

Kami pun adu argumen. Tidak serius. Penuh canda.

Rasanya, saya yang menang. Dia baru jadi penggemar pada zaman “emas” terakhir Kings. Era yang berlangsung akhir 1990 hingga awal 2000-an. Era yang dimulai oleh Jason Williams, lantas memuncak lewat starting five Chris Webber, Mike Bibby, Vlade Divac, Doug Christie, dan Peja Stojakovic.

Berarti, dia baru jadi penggemar saat Kings kuat.

Saya sudah jadi penggemar sejak masa-masa suram sebelum itu. Saat masa-masa Mitch Richmond dan Spud Webb.

Gara-garanya adalah saat kuliah di Sacramento sejak 1995. Lalu salah satu roomate saya sebelumnya pernah tinggal bersama host family di ibu kota California itu. Nah, ayah angkatnya punya pekerjaan part time di Arco Arena, kandang Kings kala itu.

Kami sering dapat tiket sisa. Kadang dapat box seat (bibir depan lantai dua). Kadang dapat last row (baris terakhir di paling atas). Tidak apa-apa, yang penting dapat tiket NBA. Kadang, kalau harus beli, kami bisa dibantu dapat murah. Dan kami cari yang termurah. Misalnya, kami pernah bayar hanya USD 10 per tiket. Lokasi nontonnya: Berdiri di kotak-kotak yang disediakan di belakang kursi paling atas!

Zaman itu benar-benar zaman susah Kings. Penonton selalu penuh dan ramai, apalagi kalau lawannya nama besar. Pernah, untuk menonton Kings menjamu Chicago Bulls, kami harus buka iklan baris di koran setempat (Sacramento Bee), untuk mencari apakah ada yang menjual tiket. Ada, dan kami dapat seharga USD 60 per orang untuk tiket yang seharusnya USD 30 per orang. Duduk di baris sangat atas, di pojok.

Padahal, waktu itu Michael Jordan masih pensiun sementara. Tontonan utama “hanya” Scottie Pippen.

Di masa susah itu, momen-momen indah jadi tidak terlupakan. Pada 1996, Kings lolos playoff untuk kali pertama. Lawan Seattle Supersonics (Shawn Kemp, Gary Payton, dkk.).

Saya punya bukti bahwa saya hadir di pertandingan kandang playoff pertama dalam sejarah Kings. Berupa sebuah t-shirt untuk mengenangnya, bertuliskan momen bersejarah itu. Karena kaus itu laris manis, saya dapat ukuran XXL. Tidak apa-apa. Toh bukan untuk dipakai!

Ketika semua argumen itu saya sampaikan, kenalan dari Korea tadi tak bisa bicara banyak. Dia tak boleh lagi keliling dan mengklaim diri sebagai penggemar terbesar Kings di Asia!

Oh ya, pada Desember 1999, saya juga diwisuda di Arco Arena. Dan pada 2009, saya mendatangkan bintang utama Kings saat itu, Kevin Martin, ke Surabaya untuk ikut melatih pemain-pemain SMA DBL.

Sebagai lanjutan, karma saya di Sacramento mungkin baik.

Ternyata, saya ada kenalan lagi yang membuat hubungan saya dengan Kings menjadi lebih formal. Scott Freshour, direktur entertainment dan MC Sacramento Kings, sama-sama lulusan California State University Sacramento.

Dia pun datang ke Surabaya melatih tim saya di DBL Indonesia dalam mengemas hiburan pertandingan basket. Kami pun mengirim pemain-pemain SMA terbaik Indonesia ke Sacramento selama beberapa tahun, dan dapat akses luar biasa di sana. Termasuk bertanding di Arco Arena (saat bernama Sleep Train Arena).

***

Mencintai “tim kecil” seperti Sacramento Kings memang banyak ujiannya. Masa-masa indah tidak sebanyak masa-masa sulit atau menyebalkan.

Praktis, sejak ditinggal pelatih Rick Adelman pada 2012, Kings sering memberi siksaan. Setiap pagi, cari hasil pertandingan, ujung-ujungnya jauh lebih sering kalah daripada menang.

Pelatih masuk-keluar seperti petugas cleaning service.

Ada harapan bintang muda datang, lalu malah mengecewakan dan harus mengulang lagi proses pencarian. Ada lagi yang datang sangat hebat (DeMarcus Cousins, yang pernah bermain-main dengan anak pertama saya di tengah lapangan sebelum pertandingan), tetapi ternyata tidak bisa membawa Kings kembali ke atas.

Saya, dan banyak penggemar Kings lain, sudah tidak punya lagi ekspektasi tinggi setiap kali tim ini ikut NBA Draft.  Termasuk saat mencomot De’Aaron Fox dan Marvin Bagley III dalam dua tahun terakhir. Respon penggemar positif, tetapi cenderung hati-hati menjaga ekspektasi.

Menjelang musim 2018-2019 ini pun, sepertinya tak banyak harapan tinggi dari Kings. Banyak pengamat memprediksi tim ini hanya akan menang 25 game dalam semusim (dari total 82). Terburuk di NBA. Mungkin, tak ada satu pun penggemar berani membantah.

Ayo mulai saja musimnya, let’s hope for the best.            

Eh, ternyata, Sacramento Kings jadi mengejutkan. Hingga All-Star break, ada harapan tim ini bisa menembus playoff untuk kali pertama sejak 2012. Menang, kalah, menang, menang, kalah, kalah. Sedikit di atas .500, pas .500, sedikit di bawah .500.

Berdebar rasanya. De’Aaron Fox begitu cepat tancap gas. Buddy Hield pecahkan rekor menembak tiga angka Peja Stojakovic.

Pada akhirnya, tim ini memang gagal masuk playoff. Rekor akhirnya 39-43. Agak gembos di sepuluh pertandingan terakhir. Ending-nya jadi peringkat sembilan di Wilayah Barat yang kejam, tim terbaik yang tidak lolos ke playoff.

Kecewa? Penggemar Kings di seluruh dunia sudah terbiasa dengan kecewa. Kali ini, yang dirasakan bukanlah kekecewaan. Belum kebahagiaan, tetapi mungkin sudah di tahap kelegaan.

Memang, begitu regular season berakhir, ada lagi peristiwa yang bikin penggemar degdegan. Vlade Divac sebagai general manager memecat sang pelatih, Dave Joerger, menggantinya dengan Luke Walton.

Namun, ini tidak lagi membuat penggemar Kings takut. “Kami” sudah sangat terbiasa dengan berita gonta-ganti pelatih.

Bagaimana pun, sekarang sudah ada cahaya terang di ujung terowongan. Roda siap kembali berputar ke atas.

Satu lagi hal positif, Kings rekornya lebih baik dari Los Angeles Lakers, tim yang karena sejarah menjadi paling “dibenci” oleh penggemar Kings.

Dan yang membanggakan, Kings kini lebih baik dari Lakers lewat sebuah proses. Membangun tim dari muda. Bukan sekadar mengandalkan nama besar untuk mengundang nama besar.

Semoga saja proses ini benar-benar baik. Mampu memutar roda nasib Kings kembali menuju atas di musim depan, dan musim-musim selanjutnya!

*Azrul Ananda adalah founder DBL Indonesia, pernah jadi commissioner NBL Indonesia, dan penggemar terberat Sacramento Kings di Asia.

Foto: Dok. Azrul Ananda dan NBA

Komentar