IBL

Saya merupakan orang yang percaya bahwa kritik itu tidak harus selalu disertai solusi. Sebab, kritik adalah upaya penjabaran masalah, sementara solusi adalah jawaban dari masalah. Itu merupakan dua hal berbeda, tetapi seringkali menyambung satu sama lain. Namun, seandainya kritik tidak menemui solusi, setidaknya kita tahu apa yang menjadi masalahnya, sehingga bisa dicari solusinya nanti.

Sederhananya, sih, begitu. Sayangnya, orang-orang tidak selalu menyukai yang sederhana. Oleh karena itu, setelah sempat menyinggung IBL All-Star lewat tulisan tanpa solusi beberapa waktu lalu, saya beruntung ide-ide lain muncul kemudian. Ide-ide ini bahkan bercokol di kepala saya selepas tulisan yang menyinggung All-Star itu diunggah.

Ide-ide ini sebenarnya muncul sebagai semacam bonus dari penjabaran masalah yang saya kemukakan dalam tulisan sebelumnya. Maka, seandainya orang-orang ingin menyebutnya sebagai solusi, saya tidak akan merasa keberatan. Saya bahkan bisa menuangkannya dalam tulisan ini supaya dibaca banyak orang. Sebab, Filsuf Prancis Rene Descartes pernah bilang, “Je pense, donc je suis.” Saya berpikir, maka saya ada. Saya menulis ide-ide saya, maka ide-ide itu akan lebih eksis. Semoga.

Pada tulisan saya sebelum ini, misalnya, saya sempat menyinggung cara IBL mempromosikan gelaran All-Star. Saat itu, IBL mempromosikan acaranya dengan mode senyap. Padahal acara tersebut merupakan acara akbar yang mestinya dipromosikan besar-besaran. Judulnya saja “Battle of Supernova”. Sebaiknya ini benar-benar supernova, bukan pertarungan pemain abal-abal.

Kendati demikian, seperti pernah saya bilang, harapan memang tidak selalu sesuai dengan kenyataan. Pada kenyataannya, promosi IBL All-Star tetap senyap-senyap saja. Padahal mereka memiliki atau setidaknya menggunakan media yang bisa menarik banyak perhatian massa. Dalam hemat saya, IBL sebenarnya bisa memanfaatkan media dalam jaringan seperti Instagram, Twitter, dan situs resmi mereka untuk menyemarakan wacana All-Star yang akan digelar pada 13 Januari 2019 nanti.

Menurut saya, sudah waktunya IBL mawas diri akan pentingnya media dalam jaringan, terutama media sosial, dalam perencanaan promosi mereka. Maksudnya, IBL perlu secerdas mungkin memanfaatkan media-media yang ada sebagai penarik perhatian massa. Bagaimanapun, di zaman teknologi yang sudah modern ini, isi kepala pengguna media dengan segala kreativitas kontennya harus sama-sama maju. Kalau salah satunya mundur, maka sebaiknya IBL berduet dengan Syahrini saja supaya bisa maju-mundur-cantik.

Pertanyaannya: mengapa media sosial itu penting?

Menurut hasil survey Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), penetrasi penggunaan internet di Tanah Air dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Dari total 132,7 juta jiwa pada 2016 meningkat ke 143,26 juta jiwa pada 2017. Itu artinya, ada sekitar 54,68 persen dari total populasi penduduk Indonesia menggunakan internet pada tahun itu. Kemungkinan besar, jumlah itu pun terus bertambah seiring berjalannya waktu karena sekarang sudah tahun 2019.

Dari sekian banyak pengguna internet, menurut penelitian perusahaan media asal Inggris, We Are Social yang bekerja sama dengan Hootsuite, melalui laporan mereka berjudul “Essential Insight Into Internet, Social Media, Mobile, and E-commerce Use Around the World”, pada Januari 2018 lalu ada sekitar 130 juta pengguna aktif media sosial dengan penetrasi mencapai 49 persen. Rata-rata dari mereka menggunakan media sosial selama 3 jam 23 menit per hari. IBL seharusnya mengetahui ini karena saya baru saja memberi tahu.

Selain itu, We Are Social juga melaporkan bahwa Instagram telah menjadi media sosial populer ketujuh di dunia dengan pengguna mencapai 800 juta pada Januari 2018. Di Indonesia, Instagram sendiri menjadi media sosial populer keempat setelah YouTube, Facebook, dan WhatsApp. Sekiranya ada 53 juta pengguna yang aktif mengakses ke sana. Kompas melalui portal berita dalam jaringan mereka bahkan melaporkan, pengguna aktif bulanan atau monthly active user (MAU) Instagram menembus 1 miliar per Juni 2018.

Dengan adanya fakta itu, pertanyaan kedua: mengapa IBL tidak gencar menggelar promosi lewat media sosial mereka, terutama Instagram? Karena Instagram merupakan lahan potensial yang bisa dimanfaatkan untuk menarik perhatian massa. Apalagi jumlah pengikut Instagram IBL (177.000) lebih tinggi daripada Twitter (25.900). Maka, urutan tingkat kegencaran promosi sesuai pola komunikasi bermedia di zaman ini mestinya dilakukan, sebagai berikut: Instagram-Twitter-situs resmi liga. IBL perlu menyasar lebih dulu lahan potensial penarik massa nomor satu mereka daripada lainnya.

IBL pada dasarnya sudah melakukan itu, tetapi mereka tidak memaksimalkan potensinya. Sedikitnya hanya ada tiga unggahan tentang IBL All-Star di laman Instagram mereka. Tiga konten itu kemudian didukung oleh video di Insta Story yang meminta para pemain mempromosikan diri mereka. Sayangnya, isi pesan dalam video tersebut cenderung tampak seperti promosi aplikasi daripada acara itu sendiri. Hal itu terlihat dari—salah satunya—bagaimana IBL memilih pemain mereka. Loh, kok, bisa IBL meminta para ruki atau pemain cedera yang belum bermain semenit pun di 2018-2019 ini untuk mempromosikan diri mereka sebagai calon bintang? Kalau bukan soal promosi aplikasi My Pertamina, lalu apa lagi? Masa, sih, IBL benar-benar berpikir mereka yang belum membuktikan kualitasnya bisa terpilih sebagai pemain All-Star? Ini merupakan pertanyaan besar yang patut disandingkan dengan pertanyaan-pertanyaan besar lainnya, seperti: apa benar batu Ponari bisa menyembuhkan segala penyakit?

Jika IBL ingin belajar, sebenarnya kita sudah punya semacam panutan atau role model yang bisa dicontoh, yaitu NBA. Bagaimanapun, NBA merupakan liga tersohor yang menjadi kiblat bola basket dunia. Lihat saja bagaimana NBA mempromosikan gelaran All-Star mereka. Selain bekerja sama dengan Google sehingga para penggemarnya lebih mudah memilih pemain, mereka juga menggunakan segala kanal media sosialnya untuk berpromosi. Para penggemar bahkan bisa memilih pemain bintangnya melalui NBA.com dan aplikasi resminya.

Di Instagram saja, misalnya, NBA membuat laman resmi sendiri mengenai gelaran All-Star. Di sana, mereka sudah gencar untuk meminta penggemar memilih pemain sejak 25 Desember 2018 lalu hingga 20 Januari 2019. Padahal acaranya sendiri baru akan berlangsung pada Februari mendatang. Itu artinya, ada rentang promosi yang panjang, tapi terus menerus dilakukan, dan masif. Ada semacam agenda setting yang membuat acaranya menjadi semarak dan menarik perhatian.

Sebenarnya, NBA All-Star itu sendiri sudah punya nama besar. Acaranya ditunggu-tunggu setiap tahun. Tidak dipromosikan sebesar itu saja, mungkin, orang akan tetap tahu. Namun, NBA selalu benar-benar memberikan yang terbaik melalui aksi, bukan tong kosong nyaring bunyinya dengan tagar #kasihyangterbaik.

Dengan demikian, apa tidak mungkin jika IBL juga menerapkan hal serupa? Setidaknya untuk tahun-tahun mendatang. Sebab, tahun ini sudah tidak bisa diganggu gugat. Maksudnya, mengapa tidak IBL merencanakan perang bintang—yang mereka sebut Battle of Supernova—itu dengan keseriusan yang tinggi. Tidak hanya soal promosi acara, tetapi juga pemain. Masa, sih, IBL setega itu meminta pemain yang belum mendapat menit bermain untuk mempromosikan dirinya sebagai calon bintang di saat mereka lebih membutuhkan kesempatan tampil di musim reguler?

Setidaknya, dengan memilih pemain yang benar dalam promosi, IBL juga sekaligus mengedukasi penggemarnya dalam memilih pemain bintang. Bagaimanapun, tidak semua pemain IBL yang sekarang ini adalah seorang bintang. Bahkan, pemain yang dulunya bintang pun bisa jadi bukan bintang lagi karena satu dan lain hal. Misalnya, karena penurunan performa atau cedera.

Salah satu opsinya, IBL bisa mengedepankan nama-nama lokal pencetak rata-rata skor tertinggi, seperti: Kaleb Ramot Gemilang (14,4 poin), Andre Adriano (11,7 poin), dan Abraham Wenas (11,7 poin). Kalau butuh pengumpul rebound terbaik, IBL bisa menggunakan nama Raja Rebound Indonesia Galank Gunawan (8,6 rebound). Di kalangan asing, IBL bisa mengangkat nama-nama seperti Madarious Gibbs (30,8 poin, 8 rebound, 5,7 asis), David Atkinson (27,4 poin, 11 rebound, 1,4 asis), atau Dior Lowhorn (24 poin,9,8 rebound, 2 asis) yang namanya sempat menggemparkan jagat bola basket nasional pada 2017 lalu.

Selain itu, IBL juga bisa mengusung nama Daniel Wenas dalam promosi acara mereka. Bagaimanapun, namanya sudah cukup besar sebagai seorang bintang. Pengikut Instagramnya saja mencapai 252 ribu. Tidak mudah membangun imaji diri untuk menarik ratusan ribu orang hanya untuk mengikutinya. Bisa dibilang, Daniel adalah David Beckham-nya bola basket Indonesia. 

Lagipula, Daniel bukanlah pemain yang buruk. Ia mencetak rata-rata 9 poin, 3,2 rebound, dan 1,4 asis per pertandingan. Dengan catatan itu, ia sudah cukup berkontribusi kepada timnya meski Siliwangi Bogor baru menang 2 dari 5 pertandingan dan berada di peringkat tiga klasemen sementara Divisi Putih, sesuai informasi dari situs resmi liga. Maka dengan begitu, bukankah sosok Daniel lebih menjanjikan menarik perhatian massa daripada Gustav Leopold, ruki Siliwangi yang belum pernah bermain, dengan hanya 883 pengikut plus akun Instagram yang digembok. Sayangnya, IBL tetap meminta Gustav untuk muncul di video Insta Story yang cenderung mempromosikan aplikasi My Pertamina, daripada membuat konten yang lebih kreatif di laman Instagram mereka. IBL mestinya punya ide-ide yang lebih menarik dan masif daripada itu untuk menyemarakan All-Star.

Oleh karena itu, sebagaimana saya katakan di muka, sekiranya ide-ide di atas menjadi semacam bonus dari tulisan sebelumnya, maka saya tidak keberatan. Seandainya nanti dianggap menjadi solusi pun, saya akan senang. Bagaimanapun, IBL adalah harapan bola basket Indonesia. Masyarakat biasa seperti saya juga ingin liga profesional di Tanah Air semaju yang lain. Maka, IBL pun mestinya sudah harus serius dalam mengemas berbagai macam acaranya supaya bisa lebih maju lagi, termasuk soal All-Star ini.

Foto: Hariyanto

Komentar