IBL

Tanpa disadari, sebagian sepatu modern merupakan pengembangan sepatu-sepatu olahraga lawas. Sepatu bersol karet (sneakers) sudah menjadi perlengkapan penting olahraga terutama masyarakat Eropa dan Amerika Serikat mulai menjadikannya sebagai gaya hidup. Tentu merek-merek kenamaan dunia memberi perwakilan di daftar sepatu-sepatu klasik yang dipakai mayoritas penikmat olahraga di era 1970-an.

Nama Chuck Taylor bisa jadi yang paling relevan di ranah ini. Ia mempopulerkan sepatu bersol karet khusus untuk basket pertama di dunia bernama Converse Non-Skid tahun 1930-an. Keberhasilannya membuat namanya diabadikan sebagai nama sepatu yang ia populerkan itu. Seiring berjalannya waktu, muncul sederet siluet sepatu yang hadir sebagai favorit khalayak ramai.

Setiap sepatu diproduksi berdasar pada teknologi termutakhir di jamannya. Tahun 1970-an bisa dianggap sebagai momentum kultur sneaker. Di era tersebut, produsen mulai lebih berani bermain bahan atas sepatu (upper) selain kanvas. Di antara puluhan siluet yang dirilis di era bermain Kareem Abdul-Jabbar, sebagian kecil masih diproduksi hingga kini.

Sepatu-sepatu itu tentu sudah tidak relevan lagi digunakan berolahraga. Kita sudah dimanjakan sederet sepatu berteknologi lebih mutakhir yang lebih nyaman dan ringan. Walau begitu, kegunaan sepatu-sepatu ini bergeser sebagai pendukung penampilan. Tak jarang muncul julukan sepatu klasik terbaik sepanjang masa bagi mereka.

Inilah sepatu-sepatu olahraga klasik yang masih diproduksi hingga kini pilihan Mainbasket:

Pro-Keds Royal Master

Converse bukan satu-satunya sepatu basket yang digunakan di era pengenalan ABA. Tahun 1949, Keds merilis lini olahraga bernama Pro-Keds dengan Royal Master sebagai produk andalan. Produk ini dengan cepat jadi pesaing berat Converse Chuck Taylor All-Star yang sudah menguasai ranah ini selama hampir 20 tahun.

Sosok George Mikan, Pemain Besar (Big Man) pertama di NBA memberi peran penting dalam eksistensi sepatu ini. Ia menggunakannya hampir selama sembilan tahun berkarir. Ia mendobrak anggapan era 1960-an bahwa pria berbadan besar itu tidak atletis. Mikan mewarisi pemain-pemain berpostur besar lain seperti Kareem Abdul-Jabbar, Shaquille O’Neal, dan Joel Embiid. Selain Mikan, sosok Nate Archibald juga layak disebut karena ia adalah duta Pro-Keds semasa berkarir.

Pro-Keds Royal Master dan Converse Chuck Taylor All Star menguasai pasar sepatu basket Amerika Serikat hingga akhir 1970-an. Teknologi kemudian bergeser ke sepatu basket berbahan kulit setelahnya.

Adidas Superstar

Sepatu ini adalah edisi kerah rendah (low-top) dari Pro-Model yang pertama kali diperkenalkan pada 1969. Kepopuleran sepatu ini disokong oleh prestasi pemain yang ditunjuk sebagai duta, salah satunya adalah Kareem Abdul-Jabbar. Bahkan, adidas merilis edisi khusus Pro-Model untuknya yang kemudian dinamai adidas Jabbar.

Bagian paling mencolok dari sepatu ini adalah fitur karet yang ada di bagian atas jari kaki. Fitur ini kemudian disebut sebagai Shell Toe (cangkang jempol kaki). Panel tersebut dianggap sebagai ikon yang membedakan Superstar dengan sepatu basket lainnya di era 1970-an.

Meski diproduksi sebagai sepatu basket, Superstar nyatanya beralih menjadi sepatu kasual di kultur hip-hop. Tak lain dan tak bukan adalah Run DMC, trio yang bertanggung jawab terhadap pamor Superstar di luar lapangan kayu. Sepak terjang Jam Master Jay dkk. bisa Anda simak di Majalah Mainbasket edisi Mei 2018.

Nike Blazer

Sepatu ini dibuat oleh Nike pada 1973, yang kala itu masih berstatus Ruki di ranah sneaker. Usianya baru sembilan tahun. Demi meraih atensi, Phil Knight menunjuk George “The Iceman” Gervin sebagai duta. Gervin adalah pebasket Nike pertama yang dibuatkan edisi khusus pemain (PE atau Player’s Edition) dengan menggunakan siluet Blazer. Sepatu ini kemudian dinamai Nike Blazer The Iceman PE yang dirilis setahun kemudian.

Kepopuleran Blazer sebagai sepatu basket menurun setelah Gervin pensiun. Meski demikian, kultur skateboard membawa sepatu ini ke olahraga lain. Mereka menganggap struktur sepatu ini efektif melindungi kaki dari benturan terhadap papan. Siluet ini pun kian lekat sebagai sepatu kasual berbasis retro. Wajar bila kemudian Virgil Abloh memilihnya dalam edisi eksklusif Off-White x Nike pada 2017 silam.

Converse Pro-Leather

Dari sekian pemain yang ditunjuk sebagai duta, Julius “Dr. J” Erving berperan vital dalam memperkenalkan siluet ini ke khalayak ramai pada 1976. Sepatu ini juga sebagai pengenalan logo bintang dengan panah yang dinamai “Star Chevron”. Dari sisi performa sepatu, Erving memujinya sebagai yang paling ringan di antara sepatu-sepatu basket serupa dimasanya.

Memasuki akhir 1970-an, Converse fokus membangun sebuah laboratorium performa sepatu dan biomekanika tubuh bernama StarTech. Atas kebijakan ini, Pro-Leather tidak lagi jadi prospek utama di ranah basket meski Pro-Leather dipakai Michael Jordan semasa kuliah. Alhasil, sepatu ini pun turun kasta menjadi sepatu kasual yang dijual dengan jumlah produksi lebih banyak. Keputusan tersebut membuat harganya menurun. Para pemuda penggiat skateboard lalu memilihnya karena harganya lebih murah dari Nike Blazer. Lagi-lagi kultur skateboard menyelamatkan kepopuleran sepatu basket klasik.

Puma Clyde

Ranah ini tidak akan bisa dipisahkan dari Waltz “Clyde” Frazier. Pebasket flamboyan ini jadi kunci penting kepopuleran Puma Suede. Ia adalah pemain basket profesional pertama yang namanya jadi nama sepatu basket. Puma mengambil konsep berbeda dengan menerapkan suede di bagian atas. Mendobrak tren sepatu basket era 1970-an yang kebanyakan menerapkan kulit di bagian atas.

Siluet ini sejatinya mengalami berbagai pengembangan. Dimulai tahun 1965 ketika Puma memperkenalkan Puma Basket. Dilanjutkan pada 1968 ketika mereka merilis Puma Suede. Dilanjutkan dengan kehadiran Puma Clyde pada 1973. Kultur tari jalanan (breakdance) meneruskan kepopuleran sepatu ini setelah sang pemain memutuskan pensiun. Kisah lengkapnya bisa Anda dapatkan di Majalah Mainbasket edisi Januari 2018 yang membahas 50 tahun usia sepatu ini.

Foto: Arsip daring NBA, adidas, Nike, Puma, Pro-Keds, Converse

Komentar