IBL

Suasana meriah tampak dari Lapangan Rampal, Malang, pada 21-22 Juli 2018. Gelaran IBL Gojek 3x3 Indonesia Tour hadir sebagai tontonan menarik anak muda Kota Apel menghabiskan senja akhir pekan. Meski sempat turun hujan, atmosfer antusiasme tetap terasa hingga malam tiba.

Hadirnya DJ Renzei dari Jakarta terbukti menghidupkan suasana. Sejak siang hingga tutup acara, ia beraksi dengan dentuman musik hip-hop kekinian. Genre musik yang dibuat warga afro-amerika itu tampaknya melebur dengan aroma persaingan para peserta. Bukan tanpa alasan musik hip-hop dipiilh untuk mengiringi acara basket. Sejarah mencatat, basket jalanan dan musik hip-hop punya cerita keterkaitan yang panjang. Wajar bila kini para rapper punya kesempatan tampil di NBA. Sebut saja Kendrick Lamar saat final NBA All-Star 2017.

Legenda streetball Indonesia Richard "Insane" Latunusa (kiri) dan DJ Renzei saat memeriahkan IBL Gojek 3x3 Indonesia Tour di Malang.

 

Musik hip-hop tumbuh di jalanan Amerika Serikat sebagai bentuk peberontakan warga afro-amerika terhadap musik yang dibawa kulit putih. Liriknya penuh dengan ujaran protes terhadap pemberlakuan tindakan rasialisme. Tempo tinggi musiknya melambangkan semangat membara untuk menyuarakan kata hatinya.

Di saat bersamaan, basket tumbuh sebagai olahraga yang diidolakan masyarakat Amerika Serikat. Mereka, warga afro-amerika, juga menyukai basket. Mereka biasa menghabiskan waktu sore bermain basket di lapangan pinggir jalan. Beberapa diantaranya bahkan bisa memasuki ranah tertinggi kompetisi basket Amerika Serikat.

kehadiran pebasket afro-amerika menunjukkan bahwa mereka juga bisa bersaing secara langsung dengan warga berkulit putih. Tidak hanya gaya permainan, bahkan gaya berbusana glamor pun dimulai dari pebasket afro-amerika. Dialah Walter “Clyde” Frazier. Legenda basket New York Knicks itu melejit lewat permainan memukau dengan gaya berbusana eksentrik di luar lapangan. Sepatunya, Puma Suede, juga jadi pilihan para anak muda afro-amerika untuk bergaya tahun 1973.

Riwayat langsung basket dan musik hip-hop tercatat melalui grup hip-hop afro-amerika bernama Sugarhill Gang. Pada 1979, lewat lagu berjudul Rapper’s Delight, mereka mencantumkan lirik “I got a colors TV so I can see the Knicks play basketball”. Selang lima tahun, muncul sosok Kurtis Blow yang merilis lagu bertema basket.

Tahun 1984, rapper dan b-boy Kurtis Blow menggebrak radio Amerika Serikat lewat lagu berjudul “Basketball”. Lagu ini menunjukkan betapa Blow begitu menyukai olahraga basket dari berbagai sisi. Ia menyebutkan pemain favoritnya yaitu Magic Johnson, Larry Bird, Willis Reed, Kareem Abdul-Jabbar, serta Wilt Chamberlain di lirik “Tell me if you were in the joint, the night Wilt scored 100 points”.

SLAM mengatakan, momentum melejitnya lagu “Basketball” bersamaan dengan NBA yang dinobatkan sebagai liga basket tertinggi Amerika Serikat. Hal ini didapat setelah bergabungnya ABA dan NBA dengan tujuan memajukan basket Negeri Paman Sam. Disamping itu, kehadiran sosok-sosok besar tersebut jadi pendongkrak popularitas dua hal yang berbeda ini.

Jangan lupakan Run DMC. Trio hip-hop ini juga punya kontribusi dalam menghubungkan basket dan genre yang mereka usung. Berbeda dengan Sugarhill Gang dan Kurtis Blow yang menyertakan basket di liriknya, Run DMC hadir dari gaya busana. Saat rapper nyaman dengan baju glamor nan mahal, Jam Master Jay dkk justru lebih menyukai gaya berbusana yang dianggap sebagai akar gaya busana athleisure. Mereka mendekatkan basket dengan hip-hop lewat lagu berjudul “My adidas”. Lagu itu adalah ungkapan fanatisme terhadap sepatu basket legendaris adidas Shell Toe Superstar.

Pertumbuhan kultur hip-hop dan basket era 1980-1990-an tidak hanya tentang musik. Mereka meleburkan berbagai aspek seperti gaya berbusana, aliran tarian, hingga adu gengsi. Dari sini pula muncul istilah swag atau bahasa slank dari keren. Meski hip-hop tumbuh sebagai musik yang merembet ke berbagai aspek, terdapat unsur persaingan didalamnya. Penikmat kultur itu berlomba untuk jadi yang terkeren (the swaggiest). Hal itu sejalan dengan pebasket yang berlomba untuk jadi juara atau jadi yang terbaik di NBA. Pendapat itu diutarakan laman Bleacher Reports pada 28 November 2009 lewat rubrik Sport’s Critics.

Seragam tanding (jersey) pebasket juga jadi pelengkap gaya berbusana ala hip-hop. Celana kedodoran, sepatu besar, kaos besar, seragam basket, kalung besar, serta topi snapback seakan jadi gaya wajib penggiat kultur ini. Hal itu diinisiasi saat grup A Tribe Called Quest merilis video klip lagu “Check the Rhime” pada 1991. Phile Dawg sang vokalis menggunakan seragam Pookey Wiggington dari Seton Hall.

Snoop Dogg, Dame Dash, dan Jay-Z berpose ketika menonton laga keempat final NBA musim 2001-2002

 

Tren itu berlanjut ke penggiat hip-hop setelahnya. MC Brains dan House of Pain menggunakan seragam Larry Bird di video klip lagu masing-masing. Gaya berbusana itu seakan membudaya dan melejit era 1990-an. Hal ini semakin meneguhkan bahwa hip-hop dan basket tidak bisa dilepaskan.

Memasuki era modern, seragam basket sudah jadi pilihan bagi rapper yang ingin tampil maksimal. Gaya berbusana itu semakin terasa setelah banyak rapper afro-amerika menggunakannya seperti Nelly, Ludacris, Missy Elliot, Jay-Z, hingga Snoop Dogg.

Lewat pelbagai momentum diatas, kini basket dan hip-hop sudah seperti amplop dan perangko. Mereka tidak bisa dipisahkan. Hampir di setiap acara basket, lantunan rapper dan penggiat hip-hop jadi suguhan wajib. Pemilihan lagu itu tidak hanya karena sebagai penyemangat, namun karena kultur yang secara historis menjodohkan mereka. Maka dari itu, wajar bila gelaran IBL Gojek 3x3 Indonesia Tour turut diramaikan dengan alunan dahsyat dari musisi rap internasional.

Foto: Getty Images

Komentar