IBL

Nuke Tri Saputra, salah satu pilar Pacific Caesar Surabaya, ingat betul seperti apa dirinya saat pertama kali ikut ekstrakurikuler bola basket di SMP. Katanya, saat itu teman-temannya sudah bisa bermain basket sedangkan ia belum. Ia disuruh berlatih sendiri di pinggir lapangan, hanya boleh melantun bola.

Berlatar dari keluarga tenis lapangan, Nuke memang tidak mengenal basket sebelumnya. Ia lalu membuat sebuah keputusan besar ketika pindah haluan dari tenis ke basket. Ia melakukan itu karena merasa tenis bukanlah isi hatinya.

Perkenalannya dengan basket terjadi ketika Nuke dan adiknya sedang bersepeda dan mampir ke GOR Joyokusumo di Pati, Jawa Tengah. Ia pun sengaja duduk dan melihat orang-orang bermain basket di sana. “Tiba-tiba ada anak yang main basket, nyamperin dan bilang ‘Ayo, lek, ikut!'” kenangnya.

Nuke Tri Saputra ketika syuting film Mata Dewa di Surabaya, Jawa Timur. Foto: Dok. DBL Indonesia

 

Berawal dari pertemuan tersebut, Nuke dan adiknya tertarik untuk ikut ekstrakurikuler basket di SMPN 1 Pati. Dari sana, ia semakin ketagihan dan selalu semangat untuk bermain basket di sekolah. Namun, masalahnya orangtuanya malah tidak setuju Nuke pindah haluan.

“Dulu aku sempet putus asa karena bingung harus olahraga apa lagi. Aku enggak bisa berkembang di olahraga tenis. Tapi orangtua juga melarang main basket, karena keluargaku yang berdarah tenis. Tapi, karena aku punya mimpi, aku pun menembus semua tembok penghalangku dan bisa jadi seperti sekarang. I’m breaking my barrier!” ujar Nuke.

Karena kegigihannya, Nuke dapat mencairkan hati orangtua untuk mengizinkannya bermain basket. Ia pun melanjutkan karirnya sebagai pelajar-atlet kala itu. Puncaknya terjadi saat ia ikut seleksi Pusat Pendidikan dan Latihan Pelajar (PPLP) di Semarang, Jawa tengah.

Sayangnya, Nuke gagal. Namun, ia tidak bisa begitu saja menyerah. Ia mencoba peruntungannya dengan mengikuti seleksi kedua. Bak gayung bersambut, ia berhasil lolos seleksi dan melanjutkan karirnya di Semarang.

“Waktu SMA, aku terinspirasi banget dengan kakak kelasku, Kak Idos. Ia berhasil lolos skuat DBL Selection dan berangkat ke Australia,” ujar Nuke mengenang kembali masa remajanya.

Sejak saat itu, Nuke terus menembus batasnya dengan latihan sekeras mungkin. Bahkan saking kerasnya, tulang hidungnya sempat bengkok. Ia pun harus istirahat empat minggu untuk pemulihan.

Di saat proses pemulihan tersebut, Nuke mendapat cobaan kedua. Kali ini bukan sekadar mencederai fisiknya. Cobaan ini bahkan menguras mental. Ibu kandungnya meninggal dunia.

“Aku drop (jatuh). Drop banget,“ kata Nuke. “Tapi, aku enggak mau pencapaianku cuma sampai sini saja. Aku enggak mau berhenti. Setelah kejadian berat itu, aku bangkit dan mengejar latihanku yang sempat terhenti.”

Dengan tekadnya yang membara, Nuke terus berlatih. Ia selalu menunjukkan yang terbaik di setiap pertandingan. Tidak heran kalau ia dan timnya sukses menjadi salah satu tim yang disegani di Semarang, termasuk dalam ajang Honda DBL 2012 Central Java Series. Sayang, kala itu ia belum mampu menjadi juara.

Kendati demikian, sosok Nuke begitu spesial. Kemampuan, sikap, dan prestasi akademiknya sama-sama baik. Bukan hal yang aneh bila akhirnya dia berhasil terpilih menjadi skuat Honda DBL All-Star 2012.

“Rasanya bangga dan sedih. Bangga karena aku bisa meraih mimpiku jadi skuat Honda DBL All-Star. Sedihnya, kenapa kok pas kayak gini Mama enggak ada. Padahal aku ingin banget membuat Mama bangga,” ujar Nuke.

Kini di usianya yang mencapai 23 tahun pada 3 Januari 2018 lalu, Nuke sudah dua musim menjadi pemain basket profesional dan merengkuh penghargaan bergengsi. Ia baru saja mendapat gelar IBL Most Improved Player of the Year.

Foto: Dok. DBL Indonesia

Komentar