IBL

Kejayaan Chicago Bulls pada era 90-an tak lepas dari nama Michael Jordan serta dua rekan utamanya Scottie Pippen dan Dennis Rodman. Hanya tiga nama itu yang kerap disebut dalam setiap pembahasan. Nama Luc Longley seringkali dilupakan, atau bahkan terdengar asing.

Padahal, Longley sendiri adalah sosok central dalam serangan dan juga pertahanan Bulls kala three peat cincin juara NBA 1996, 1997, 1998. Ia lah yang bediri kokoh dalam posisi center tim Chicago kala itu.

Mungkin, karena posisinya itu lah ia terlupakan. Maklum jika diurut berdasarkan posisi, center adalah urutan kelima. Paling belakangan disebut.

Itu hanya kemungkinan. Yang jelas, Longley kalah tenar ketimbang tiga nama tadi.

Center asal Australia itu sulit teringat seperti Jordan karena poin demi poin yang disumbangkannya. Ia kalah wibawa dan kharisma dengan Pippen. Sementara dengan Rodman, bukan urusan kebengalan saja, urusan rebound, Longley hanya 4.9 per laga (PPG), tak sampai separuh dari milik Si Cacing yang menyentuh angka 13.1 per laganya.

Tapi ini basket. Permainan tim. Tak seharusnya melupakan seseorang yang menjadi bagian tim. Apalagi ia langganan starter dan posisinya center utama.

Lebih-lebih Longley adalah seorang legenda, minimal bagi Australia. Ia adalah ‘centerpiece’ bagi negaranya. Bukan hanya manusia pertama Australia yang melingkarkan cincin NBA di jarinya, ia juga orang pertama dari negeri Kangguru yang terbang dan bermain di kompetisi basket yang menjadi kiblat dunia itu.

Jalan terjal dan berliku harus ia tempuh untuk mendapatkan itu semua. Dan kisah-kisah perjuangannya itu lah yang kerap dilupakan, meskipun ada banyak pelajaran yang bisa diambil.

Datang ke Amerika pada 1991, draft nomor tujuh pilihan Minessota Timberwolves yang kala itu masih berusia 22 tahun harus terpana. Modal jago basket di negaranya dan didukung postur bongsor menjulang, tinggi 2.18m dan berat di atas 120kg, ternyata belum cukup bagi Longley muda untuk langsung menaklukkan NBA.

"Masa-masa transisiku sangat-sangat berat. Di kampus, aku memang mendominasi dengan lengan, kekuatan dan tinggiku. Tapi begitu di NBA, semua orang sama besarnya dan aku harus membangun ulang kembali permainanku,” kenang Longley.

Musim-musim awalnya di NBA pun dilalui dengan susah payah dan jarang mendapatkan minutes play (991 menit). Tak mau namanya dan nama negara tenggelam dalam deretan raksasa-raksasa NBA, Longley pun lebih memilih meningkatkan kemampuannya di luar pertandingan. Latihan dan latihan demi musim depan. Bahkan saat off season, ia memilih tak pulang ke Australia.

“Aku lebih memilih menghabiskan waktu di gym. Di Minnesota,” ujarnya.

Hasil kerja kerasnya mulai terlihat di musim ketiga. Terutama di sisi rebound. Jika total offensive rebound-nya di dua musim awalnya hanya di kisaran angka 60 atau 70-an, maka pada musim 1993-94, ia mengumpulkan total 129 rebound di ring lawan. Sementara untuk deffensive rebound, total 190 dan 169 di musim pertama dan kedua, meningkat pesat menjadi total 304 dalam musim ketiganya!

Catatan statistik itulah yang membuat dirinya menjadi incaran klub-klub lain, termasuk Chichago Bulls yang pada musim 1994 datang ke Minnesota untuk menawar Longley dengan paket tambahan center gaek mereka, Stacey King. Bulls saat itu mulai membangun kembali dinastinya dengan pemain muda karena Michael Jordan memutuskan pensiun.

Musim pertama Longley di Bulls lebih berat. Beban juara bertahan dan pembuktian bahwa tanpa Jordan mereka masih bisa mengamuk bak banteng sungguhan terasa ada di pundak tim itu. Longley dan Bulls pun tak bisa berbuat banyak karena beban itu.

Sebelum NBA musim 1995-1996 digulirkan, Jordan memutuskan comeback dari masa pensiunnya. Berkah bagi Bulls dan tentu saja Phil Jackson, sang pelatih. Phil kini pun punya racikan jitu, kombinasi antara pemain muda bertenaga dengan semangat menggebu macam Longley, dipadukan dengan pemain megabintang penuh pengalaman seperti Jordan.

"Bermain bersama MJ aku jadi tahu di sisi mana kelebihan dan kekuranganku. Dia sangat brutal dalam menilai dan membimbing rekan-rekannya. Mungkin awalnya aku tak senang, apalagi saat itu aku cedera di lengan. Tapi kemudian aku sadar bahwa ia senang jika aku berada di sekitarnya,” kenangnya terkait Jordan.

Racikan Phill dalam mengombinasikan pemain muda dan pengalaman itu pun kembali membuahkan three peat cincin bagi Bulls. Tiga cincin juara pun melingkar di jari Longley.

Usai mendapatkan tiga cincin, Longley mencoba mengadu nasib ke klub lain, Phoenix Suns selama dua musim. Setelah di New York Knicks selama semusim, ia lebih memilih pensiun karena cedera engkelnya tak kunjung membaik.

Karirnya di NBA selama satu dasawarsa itu menjadi pemicu semangat pemain-pemain dari negaranya untuk merajut mimpi di basket Amerika. Bahwa basket Australia akan terus bisa menyumbang pemainnya ke NBA. Ya, sang ‘centerpiece’ bak keran yang membuka gelombang pemain Australia ke NBA seperti Andrew Bogut (Milwaukee Bucks, 2005), Aron Baynes (San Antonio Spurs, 2013), Cameron Bairstow, (Bulls, 2014), hingga duo Jazz, Joe Ingles dan Dante Exum (Utah Jazz, 2014).

Semangat yang dipancarkan Longley dinilai mengharumkan nama negaranya di kancah basket dan olahraga internasional. Ia pun diganjar dengan dimasukkan ke Australian Basketball Hall of Fame pada 2006 serta Australian Sport Hall of Fame pada 2009.

Kini ia belum meninggalkan basket. Ia tercatat menjadi asisten pelatih dari Australian Boomers, tim nasional Australia. Tim yang pada 2013 dan 2015 lalu diantarkannya menjuarai FIBA Oceania Championship.(*)

Foto dari Getty Images.

Komentar