IBL

Santer dikabarkan beberapa hari ini, delapan pemain plus satu ofisial klub bola basket Siliwangi terlibat skandal. Sesuai dengan surat edaran Perbasi nomor 508/XI/PP/2017, sembilan orang tersebut diberikan sanksi lantaran terjaring aktivitas match fixing. Hukumannya pun beragam, dari dilarang beraktivitas di dunia bola basket Indonesia selama 2-5 tahun hingga larangan seumur hidup oleh Indonesian Basketball League.

[Baca juga: IBL Hukum Pemain Terlibat Match Fixing Seumur Hidup dan Akhirnya Surat Itu Keluar (8 Pemain IBL yang Terlibat Pengaturan Skor)]

Istilah match fixing itu sendiri sebenarnya sudah lama dikenal masyarakat dunia. Dalam dunia olahraga, misalnya, match fixing atau pengaturan pertandingan (dikenal juga dengan istilah pengaturan skor) secara garis besar adalah perjudian. Aktivitasnya bisa melanggar aturan pertandingan bahkan hukum suatu negara, karena pelakunya berusaha mendapatkan keuntungan dari memanipulasi pertandingan sedemikian rupa. Keuntungan itu biasanya dalam bentuk uang.

Jenis-jenis Manipulasi

Jenis-jenis manipulasi seperti match fixing yang terjadi belakangan ini boleh jadi beragam. Akan tetapi, Mainbasket melihat jenis-jenis manipulasi secara umum cocok dengan tiga kategori yang dikeluarkan Norwegia. Menurut Kementerian Budaya Norwegia seperti dikutip hukumpedia.com, ada tiga jenis manipulasi. Pertama, match fixing. Aktivitas ini merupakan suatu jenis pengaturan hasil akhir yang bersifat konvensional. Misalnya, suatu tim atau pemain dibayar untuk sengaja kalah.

Kedua, spot fixing. Manipulasi jenis ini merupakan upaya pengaturan pertandingan pada saat-saat tertentu ketika pertandingan berjalan, tetapi tidak memengaruhi hasil akhir. Dalam bola basket, misalnya, saat lemparan bebas. Atau dalam sepak bola, misalnya, tendangan penalti.

Terakhir, point shaving. Aktivitas ini melibatkan skor, tetapi bukan merupakan hasil akhir. Misalnya, sebuah tim dibayar untuk menahan perolehan poin lawan agar margin tidak lebih dari 10 poin dalam bola basket.

Pelaku, Motif, dan Konsekuensi

Kevin Carpenter, pengacara sekaligus editor eksekutif lawinsport.com, mengulas match fixing dalam sebuah tulisan berjudul “Match-Fixing—The Biggest Threat to Sport in the 21st Century?”. Menurutnya, pelaku manipulasi dalam olahraga rentan terjadi di kalangan individu. Penjelasan paling masuk akal tentang itu, menurut Carpenter, karena individu lebih mudah dikontrol daripada tim. Itulah mengapa wasit menjadi target utama dari manipulasi pertandingan, mengingat kendalinya lebih mudah, sebab risikonya sangat besar jika ketahuan.

Dalam tulisannya, Carpenter juga mengatakan, uang merupakan motivasi utama dalam kasus manipulasi pertandingan. Akan tetapi, motif itu jarang berdiri sendiri. Uang akan didukung oleh motif-motif lain. Misalnya, kasus wasit dari Lebanon, Ali Sabbagh, pada 2012. Saat itu Sabbagh tidak hanya ditawari uang, tetapi juga pelacur gratis. Tawaran itu akan diberikan saat ia datang ke Singapura untuk menjadi wasit pertandingan AFC Cup antara Tampines dan East Bengal. Syaratnya, ia bisa mempengaruhi hasil akhir laga tersebut.

Seperti yang terjadi pada para pemain Siliwangi, pelaku-pelaku manipulasi pada umumnya mendapat hukuman. Carpenter membaginya ke dalam tiga bentuk konsekuensi: hukuman dari pihak berwenang, sanksi kriminal, dan rusaknya reputasi. Konsekuensi terakhir, katanya, bisa memberikan dampak yang lebih merusak daripada lainnya.  

Kasus Match Fixing di Mancanegara

Sepak bola sebagai olahraga populer dunia sulit menghindar dari match fixing. Selalu saja ada oknum yang ingin mencederai semangat Fair Play yang terkenal dalam olahraga itu. Kasus-kasus manipulasi pun jadi banyak terjadi dalam sepak bola.

Skandal manipulasi pada sepak bola Eropa disebut sebagai manipulasi terbesar pada 2013. Satuan polisi Eropa bernama Europol (semacam Interpol) pada Konferensi The Hague mengungkapkan penyelidikan terkait pengaturan pertandingan di 380 laga yang melibatkan 425 pemain, ofisial, dan banyak pihak di segala penjuru Eropa. Skema dari perjudian ini melibatkan sindikat besar di Asia dan cabang-cabangnya di Eropa.

Di Italia, praktik manipulasi ini dapat dijumpai di beberapa kasus. Salah satunya dalam skandal Calciopoli yang terkuak pada 2006. Skandal sepak bola tersebut terkenal lantaran melibatkan tim-tim papan atas Serie A dan Serie B. Tim-tim itu di antaranya Juventus, AC Milan, Fiorentina, Lazio, dan Reggina. Juve bahkan haris tersingkir dari pentas utama ke Serie B. Klub lainnya mendapat sanksi pengurangan angka, denda, hingga laga tanpa penonton dan larangan berlaga di turnamen lokal.

Dalam sejarah manipulasi di Amerika Serikat, kasus Black Sox di Major League Baseball terkenal sebagai skandal kontroversial. Delapan pemain Chicago White Sox bersekongkol dengan penjudi untuk sengaja kalah melawan Cincinnati Reds di World Series 1919. Padahal mereka disebut-sebut sebagai calon juara terkuat. Kejadian itu kemudian mempermalukan Komisi Nasional dan mencederai semangat olahraga Amerika Serikat.

Di dunia bola basket sendiri, manipulasi pernah terjadi di kompetisi setingkat mahasiswa pada 2011. Sepuluh orang, termasuk dua bekas pemain dan seorang bekas ofisial, di University of San Diego terlibat manipulasi pertandingan sejak 2008. Mereka melakukan point shaving yang melibatkan tempat judi di Las Vegas.      

Kasus Match Fixing di Indonesia

Kasus-kasus manipulasi pertandingan dan judi di Indonesia setidaknya hampir selalu melibatkan sepak bola. Detik Sport dalam kanal About the game bahkan pernah menayangkan cerita panjang tentang itu. Mereka mengisahkan sejarah judi di Indonesia ke dalam tiga tulisan.

Dalam tulisan pertama berjudul “Judi dan Match Fixing di Indonesia (Bagian 1): Fenomena Judi Toto”, Aqwam Fiazmi Hanifan sebagai penulis mengisahkan aktivitas judi di Indonesia sudah ada sejak lama, terutama di tahun 1950-an. Saat itu legalitas judi sepak bola tidak hanya disahkan, tetapi juga dikelola negara. Program ini terkenal dengan nama Totalitas Negara atau akrab disapa judi toto.

Judi Toto ini diikuti berbagai kalangan, termasuk pemain. Wawancara Detik Sport bersama Rukma, pemain Persib dan tim nasional era 1950-an sampai 1960-an, menggambarkan hal itu. Menurutnya, di zaman itu sudah biasa para pemain ikut memasang taruhan. Salah satunya kasus Andi Ramang dan Noorsalam dari PSM Makassar yang disebut menerima suap kala itu. Skandal tersebut kemudian menjadi pelajaran berharga bagi klub-klub untuk membentengi timnya dari judi.

Sayangnya, kasus manipulasi tidak berhenti di situ. Pada 1962, 10 pemain timnas Indonesia terlibat kasus suap yang terkenal dengan sebutan Skandal Senayan. Kasus itu sekaligus mencerminkan bobroknya sepak bola Indonesia. Apalagi mereka melibatkan pemain-pemain klub besar. Salah satu ceritanya dituangkan Aqwam dalam bukunya berjudul “Persib Undercover: Kisah-kisah yang Terlupakan”. Ia juga menyebutkan, skandal di era itu sebagai titik kulminasi judi toto.

Maka dengan demikian, jika melihat praktek manipulasi pertandingan Siliwangi yang santer diberitakan belakangan ini, kemungkinan hal itu terjadi akibat dari pengalaman-pengalaman judi masa lalu. Karena bagaimana pun, sejarah mengajarkan hal-hal yang sama kepada generasi penerusnya. Judi dan manipulasi ini hal berbahaya, apalagi jika melibatkan pemain. Coba bayangkan pemain di dalam satu tim melakukan manipulasi dan mendapat uang dari sana. Mereka akan lebih mudah mengatur pertandingan.(*)

Komentar