IBL

Oleh Hafidz Fikri Asyari

Izinkan aku menceritakan pengalamanku selama basket di SMA.

Waktu aku masih di tahun pertama SMA, timku pernah kalah setengah bola (satu poin) di final sebuah kejuaraan di kabupaten. Kami keluar lapangan dengan kepala tertunduk. Ada satu temanku yang menangis karena di situasi (play) penting, ia kehilangan bola, tercuri lawan dan berujung kami ketinggalan satu bola. Ada satu temanku lagi yang misuh-misuh karena dia gagal menuntaskan play atau serangan terakhir.

Keesokan harinya, mereka berdua menjadi “aneh”. Temanku yang kena foul out, datang ke lapangan Perbasi kotaku jam 5 pagi. Membawa bola dan kerucut latihan (cone). Dia hanya melantun (dribble), melantun dan melantun sampai jam 6. Kemudian lanjut sekolah.

Temanku yang gagal menuntaskan play, setiap latihan, selalu datang satu jam lebih awal. Membawa bola. Latihan menembak gratis (free throw) 200 kali. Di akhir latihan, dia selalu pulang setelah memasukkan 10 tripoin dari setiap sudut.

Mereka melakukan itu selama mereka SMA.

Waktu berlalu, kami ada di tahun kedua.

Singkat cerita, temanku yang menangis tadi, terpilih di DBL All Star 2014. Dia menjadi yang pertama di SMA kotaku yang masuk DBL All Star dan hingga sekarang belum ada yang menyusulnya ke sana.

Temanku yang satunya, dia memang tidak terpilih DBL All Star. Namun di tim kabupaten untuk Popda dan Porprov, dia selalu menjadi pilihan pertama untuk menembak dan pengambil keputusan di pertandingan-pertandingan penting maupun di saat-saat genting (clutch game).

Kemudian sudah bisa ditebak. Tim SMA kami mendominasi di kabupaten.

...

Mungkin ceritaku di atas tidak bisa dibandingkan seluruhnya dengan apa yang sedang dialami tim nasional (timnas) kita. 

Kalah di banyak gim internasional. Selisih kalah lebih dari 20 point. Di-dunk pemain 17 tahun dari Lebanon. Bau. Fouled out, dan lain sebagainya.

Aku sendiri yakin, para pemain timnas kita akan melakukan lebih dari apa yang dua temanku lakukan setelah kalah.

Kembali ke gym. Melatih upper body agar bisa flexing setelah under-ring melawan Jun Maar Fajardo atau melakukan gestur menunjuk tanah sambil berteriak "This is my house!" setelah melakukan blok kepada Japeth Aguilaar. Itu bayanganku.

Kembali ke lapangan. Menembak 1000 tripoin setiap latihan, agar saat pertandingan bisa membuat komentator teriak "In your face!" setelah menembak tiga angka dari sudut sulit.

Kembali ke lapangan untuk latihan melantun, melantun, dan melantun, bersama mentor yang tepat, agar bisa ankle breaker, step back three ke salah satu pemain Filipina dan kami semua berdiri dari tempat duduk sambil mengangkat tiga jari kami tinggi-tinggi tepat setelah tembakan step back three dilepaskan dan "Wooooo! Masuk!”

Hingga pada akhirnya, di akhir gim, ada tabuhan drum dan teriakan "In-do-nesia!" Bukan lagi teriakan-teriakan dari bahasa lain. 

Karena kita menang!

Itu harapan-harapanku.

Aku tidak berekspektasi pemain timnas kita untuk melakukan hal itu setiap hari, tidak. Aku sangat-sangat-sangat mendukung pemain timnas kita untuk berlibur, istirahat, refreshing, apapun itu karena pemain timnas kita juga manusia.

Tapi aku yakin, sebagai penonton, bahwa pemain timnas kita pasti memiliki mentalitas untuk selalu bangkit (bounce-back) dari setiap kekalahan. 

Para pemain senior, pemain muda, semuanya. Aku percaya pada kekuatan mental mereka.

Selalu.(Hafidz Fikri Asyari)

Foto: FIBA

Komentar