IBL

Dalam lima musim terakhir, ada dua tim yang secara konsisten menjadi kuda hitam di Wilayah Barat. Pertama adalah Denver Nuggets dan yang kedua adalah Utah Jazz. Namun, keberhasilan Nuggets melaju hingga final Wilayah Barat musim lalu menurut saya sudah menggugurkan status mereka sebagai kuda hitam. Nuggets sudah selayaknya mendapatkan predikat sebagai salah satu tim terkuat di Wilayah Barat.

Bagaimana dengan Jazz? Untuk Jazz, kasusnya berbeda. Kegagalan mereka memanfaatkan keunggulan (3-1) di putaran pertama palyoff musim lalu atas Nuggets adalah bukti bahwa tim ini masih di level underdog. Selain itu, di musim reguler pun, Jazz masih tidak cukup menyeramkan. Jazz memang selalu berhasil lolos ke playoff dalam empat musim ke belakang, namun mereka selalu finis di urutan lima atau enam klasemen akhir.

Hal itu cukup berbeda dengan Nuggets yang dua musim lalu finis di urutan kedua dan musim lalu finis di urutan ketiga. Musim lalu, Nuggets yang tidak diunggulkan oleh banyak pihak hanya kalah dari Los Angeles Lakers dan Clippers. Kita semua tahu bagaimana besarnya perbedaan pasar dan aktivitas perekrutan pemain tim Los Angeles dan Nuggets. Oleh sebab itu, sekali lagi Nuggets tak bisa kita sebut sebagai tim kuda hitam lagi.

Namun, melihat apa yang terjadi sejauh ini di musim 2020-2021, saya akui Jazz mulai datang dengan mentalitas berbeda. Mereka tidak melakukan transaksi besar di jeda musim selain mengikat Jordan Clarkson, Donovan Mitchell, dan Rudy Gobert dengan perpanjangan kontrak. Tidak ada perubahan signifikan secara komposisi tim dari musim lalu. Bahkan, secara inti pemain, mereka adalah tim yang kurang lebih sama dalam empat musim terakhir.

Atas hal ini, bisa dibilang Jazz adalah salah satu tim dengan waktu berkumpul skuat inti terlama di liga. Jika kita umpamakan hal ini dengan termin pertanian, maka Jazz sudah melewati empat musim menanam dan seharusnya ini waktunya mereka melakukan panen atas hal tersebut. Ya, ini adalah waktu terbaik untuk Jazz mengubah predikat mereka.

Meski mengawali musim dengan tidak terlalu baik (4-4), Jazz kemudian seolah menemukan ritme yang tepat untuk berlari kencang. Tim asuhan Quin Snyder tak terkalahkan dalam delapan gim terakhir mereka, catatan terbaik di NBA musim ini, sejauh ini. Hanya ada Lakers dan Clippers yang memiliki rekor beruntun yang nyaris serupa dengan tujuh kemenangan beruntun.

Melihat hal ini, saya pun penasaran dan mencoba melihat lebih dalam pencapaian Jazz musim ini dari statistik. Secara tradisional, Jazz tidak terlihat terlalu mencolok. Mereka memimpin liga hanya di dua statistik, tripoin masuk dan rebound. Namun, begitu bergeser ke statistik lanjutan, Jazz semakin terlihat menarik.

Jazz berada di lima besar baik secara offensive dan defensive rating (defensive peringkat empat). Tidak ada tim yang menempati lima besar di dua nomor ini sejauh ini. Secara net rating, Jazz berada di peringkat empat, hanya kalah dari Lakers, Milwaukee Bucks, dan Clippers. Namun, ketiga tim lainnya ini bisa dibilang hanya kuat di satu area saja. Bucks dan Clippers adalah peringkat teratas offensive rating sednagkan Lakers adalah teratas di defensive. Lakers bisa disebut sebagai tim terbaik di liga saat ini karena offensive rating mereka berada di peringkat enam dan rasanya tidak ada yang terkejut dengan catatan mereka.

Jazz memimpin liga dalam hal persentase rebound dengan perbedaan mencapai 0,5 persen dari Lakers di peringkat dua. Secara efektivitas serangan, Jazz yang seperti kita bahas sebelumnya memiliki tripoin yang cukup bagus duduk di peringkat empat liga. Mereka kalah dari Brooklyn Nets, Clippers, dan Bucks. Kehebatan Jazz secara pertahanan juga terlihat di statistik efektivitas serangan lawan (Opp eFG%) dan persentase percobaan tembakan gratis lawan (Opp FTA%). Jazz menempati peringkat dua teratas untuk hal ini yang artinya, tim yang melawan Jazz akan memiliki efektivitas dan percobaan tembakan gratis yang rendah.

Dari hal-hal di atas, bisa kita simpulkan bahwa Jazz adalah tim yang menyerang dan bertahan sama baiknya. Bahkan, bisa dibilang mereka adalah tim terbaik secara keseimbangan menyerang dan bertahan. Mereka kuat dalam tripoin yang merupakan hal penting dalam permainan basket era sekarang dan mereka juga kuat secara rebound yang merupakan kunci untuk menghentikan lawan. Oh iya, satu lagi, Jazz berada di 10 terbawah untuk Pace. Yang artinya, Jazz bermain dengan tempo yang lambat dan semakin lambat dalam kurun tiga tahun terakhir namun mereka semakin membaik.

Catatan-catatan tersebut tentunya tidak lepas dari kemampuan personel. Secara komposisi tim, Jazz masih setia menurunkan Mike Conley, Mitchell, Royce O’Neal, Bojan Bogdanovic, dan Gobert di starter. Ini adalah susunan starter sejak musim lalu, namun mereka sering gagal turun karena faktor cedera yang melanda.

Dari barisan cadangan, Jordan Clarkson dan Joe Ingles jadi dua pemain pertama yang akan menggantikan lima nama sebelumnya. Setelahnya baru ada nama-nama seperti Derrick Favors, Georges Niang, Miye Oni, Udoka Auzubike, dan beberapa nama lain yang saya yakin tidak familiar di telinga Anda. Nama-nama sisanya bisa Anda lihat di sini, sulit untuk menuliskan semuanya karena mereka sebenarnya tidak mendapatkan menit bermain yang relevan.

Ada enam pemain Jazz yang menorehkan rataan dua digit poin. Mitchell tentunya jadi yang terdepan dengan 24,3 poin dan 5,0 asis per gim. Keduanya adalah yang tertinggi sepanjang karier Mitchell. Untuk asis, tampaknya Anda sekalian harus mulai semakin mendalami permainan Mitchell. Perubahan Mitchell sebagai fasilitator sebenarnya mulai terlihat di “gelembung” Orlando musim lalu. Namun, di musim ini, ia semakin mengukuhkan statusnya sebagai poros utama serangan Jazz baik sebai pencetak angka ataupun fasilitator.

Hal menarik dari Jazz adalah top skor kedua mereka bukanlah pemain starter. Dengan rataan 17,4 poin dan akurasi tripoin 41 persen, Clarkson adalah top skor kedua tim. Hebatnya lagi, ia menorehkan catatan tersebut hanya dengan 24,8 menit per gim. Jika performa ini bisa dipertahankan, gelar Sixthman of the Year mutlak untuknya.

Mitchell memang berkembang sebagai fasilitator, namun ia bukanlah fasilitator utama Jazz, Conley adalah orang itu. Conley memiliki rataan 5,9 asis dibarengi dengan 16,4 poin per gim. Selain asis, Conley juga memimpin tim ini untuk steal per gim dengan 1,6. Akurasi tripoin salah satu veteran liga ini juga masih terjaga di angka 42 persen.

Meski tak semencolok musim lalu, Bojan Bogdanovic tetap memainkan peran besar untuk tim ini. Saat kebanyakan lawan fokus pada pegerekana Mitchell dan Conley, Bojan kerap menjadi pemecah kebuntuan. Cedera yang membuatnya absen di “gelembung” tampaknya cukup berpengaruh dengan penurunan performanya. Namun, jika Bojan menemukan lagi sentuhannya, Jazz bisa jauh lebih berbahaya dari sekarang. Bojan memiliki rataan 13,5 poin per gim.

Kontroversi kontrak besarnya beberapa waktu lalu memang cukup menyedot perhatian. Namun, tampaknya hal tersebut tak terlalu mempengaruhi Gobert di lapangan. Ia masih konsisten menjadi “pekerja kotor” Jazz. Menjadi tembok (pick), merebut rebound, dan melakukan blok. Gobert memiliki catatan 12,1 poin, 13,5 rebound, dan 2,7 blok per gim. Gobert adalah peringkat dua pemberi asis (yang tak terhitung) melalui screen dengan 6,8 per gim. Ia hanya kalah dari Domantas Sabonis.

Joe Ingles juga semakin terlihat menikmati perannya sebagai cadangan. Pun demikian, ia masih menjadi fasilitator ketiga tim dengan catatan 3,6 asis per gim. Kehadiran Ingles membuat Snyder tenang-tenang saja saat Bojan tak kunjung menemukan sentuhannya. Ditambah akurasi tripoin mencapai 43 persen, Ingles adalah momok untuk pertahanan lawan dari bangku cadangan Jazz.

Tidak ada tim tangguh tanpa pemain bertahan perimeter yang baik dan atas hal itu Jazz terus memainkan Royce O’Neale. Ya, tugasnya adalah bertahan dan menembak tripoin. Meski beragam statistik lanjutan tak menempatkan Royce sebagai pemain bertahan elite, ia tetaplah pilihan pertama Jazz menjaga bintang lawan yang berada di lapangan belakang (back court). Meski mayoritas bermain sebagai small forward, Royce bisa berfungsi sebagai shooting guard hingga power forward. Fleksibilitas ini membuatnya terus menjadi bagian penting dari Jazz dalam dua musim terakhir. Royce juga memimpin tim untuk urusan tripoin dengan 46 persen dari 4,1 percobaan.

Derrick Favors dan Georges Niang adalah dua sosok yang memainkan peran penting lainnya. Favors adalah bigman kedua di dalam tim ini, setelah Gobert. Meski berjarak cukup jauh dari semua aspek dengan Gobert, Favors cukup bisa menggantikan peran Gobert saat ia istirahat. Sedangkan hal menarik dari Niang adalah fakta bahwa ia adalah pemain dengan +/- terbaik ketiga di tim setelah Conley dan Gobert. Meski undersized untuk power forward, Niang adalah opsi ketiga tim untuk rotasi area forwarda disamping Royce, Bojan, dan Ingles. Sejauh ini, Niang sudah memainkan peran tersebut dengan porsi yang pas.

Musim ini akan menjadi pembuktian Jazz untuk menasbihkan diri mereka sebagai salah satu tim terkuat di Wilayah Barat. Seharusnya, sudah tak ada lagi sebutan kuda hitam untuk mereka di akhir musim ini. Waktu empat tahun membentuk skuat ini sudah lebih dari cukup untuk Jazz berkembang dan menuai hasilnya.

Di pandangan saya, mereka akan menjadi The Next Denver Nuggets dengan peluang melaju ke playoff yang sangat tidak terprediksi. Jika tidak ada cedera yang melanda, saya yakin Jazz paling jauh melaju ke final wilayah. Untuk melaju ke final, mereka butuh mencari sosok dengan pengalaman juara lagi dan bukan tidak mungkin sosok seperti ini hadir di tengah musim nanti.

I’ll see you down the road Jazz!

Foto: NBA

 

Komentar