IBL

Sekitar tiga hari sebelumnya, lapangan basket (setengah lapangan) di Critical 11 Bandung ini masih mulus. Barus saja selesai dibangun dan sudah siap dipakai. Seorang kawan yang kebetulan juga salah satu pemilik Critical 11 mengatakan bahwa lapangan basket tersebut sebentar lagi akan digarap oleh Alipjon, seniman masa kini dari Jakarta.

Siang, tanggal 3 Desember 2020, saya kembali ke lapangan basket Critical 11. Sudah berubah total. Di sana, mengenakan kemeja satin merah muda, kancing terbuka, Alipjon hilir mudik di atas lapangan. Karyanya sudah selesai. Saat itu juga, saya terpikir untuk mewawancarai Jon. Tetapi ia minta waktu dulu sejenak.

Jon berinteraksi dengan beberapa kawan yang hadir. Hari itu, rencananya memang akan ada soft opening Critical 11. Beberapa teman diundang. Tamu, siapapun sudah boleh datang.

Terletak di kompleks Angkatan Udara bandara Husein Sastranegara Bandung, saya tak paham benar dulunya tempat apa Critical 11 ini. Lebih dari dua puluh tahun tinggal di Bandung, yang saya tahu, tempat ini dulu adalah bagian dari PT. DI (Dirgantara Indonesia). Anak lama mengenalnya dengan nama IPTN (Industri Pesawat Terbang Negara).

Lantai lapangan itu benar-benar sudah menjadi “kanvas” Jon. Sambil sesekali ngobrol dengan Jon dan beberapa kawan yang hadir, saya menelusuri setiap sudut karyanya. Menikmati sapuan kuasnya. Siapa tahu pula menemukan hal-hal menarik yang nantinya bisa jadi bahan obrolan atau pertanyaan selanjutnya ke Jon.

“Gw gak tahu pebasket lain kecuali Dennis Rodman,” kata Jon di awal.

Menarik, pikir saya. Melihat karya Jon di lapangan Critical 11 sedikit banyak memang mengingatkan saya ke Dennis Rodman. Khususnya rambutnya. Saya mencoba melihat lagi keseluruhan lapangan dengan naik ke lantai dua bangunan di sana.

“Kita gak bisa foto pakai drone,” kata Jon. “Kalau ada drone terbang di sini, akan langsung ditembak jatuh.”

Jon kemudian menjelaskan kalau itu adalah risiko terkecil. Belum termasuk, pastinya, dibawa ke markas TNI AU untuk kemudian dimintai keterangan. Haha.

Saat kami bermain dan berbincang santai di lapangan, sesekali pesawat komersial hilir mudik di depan kami. Critical 11 memang berada tepat di sebelah landas pacu bandara Husein. Tak hanya pesawat komersial yang hilir mudik. Setidaknya dua kali saya memperhatikan sebuah helikopter militer terbang di atas kami dalam jarak yang cukup dekat. Saya tak tahu pasti jenis helikopter apa. Mungkin Jon lebih tahu. Yang saya tahu, helikopter tersebut mirip seperti yang muncul di film-film perang Vietnam. Helikopter Huey alias Bell UH-1 Iroquois. Tetapi bisa saja saya keliru. Sangat bisa. Bayangan saya, pilot helikopter itu juga sedang menikmati karya Jon.

“Gw panggil Jon atau Alip?” Kata saya membuka obrolan ketika akhirnya Jon selesai dengan segala urusannya.

“Kalau menurut lu gw lagi Jon, panggil Jon. Kalau menurut lu gw lagi Alip, panggil Alip,” katanya.

“Jon,” kata saya.

“Hai, Dan,” balas Jon.

Pertemuan pertama saya dengan Jon terjadi sekitar dua bulan sebelumnya. Di lapangan basket Siliwangi di tengah kota Bandung. Setiap malam Sabtu, mulai jam 8 malam sampai jam 11 saya bermain basket atau sekadar menyaksikan saja kawan-kawan di sana bermain dalam komunitas StayHype. Jon hadir dengan beberapa orang. Saya tidak begitu ingat.

Duduk di tribun tepat di sebelah lapangan Critical 11, Jon mulai menceritakan karyanya.

“Waktu itu gw nato. Ditato. Ternyata seniman tatonya adalah anak si yang punya tempat ini. Anaknya Pak Hendra. Dia lihat karya gw di media sosial. Dikabarilah gw langsung. Tiba-tiba lapangan sudah jadi. Wah cepat banget. Itu benar-benar cepat banget. Habis itu gw harus respon, ya sudah gw sikat. Temanya aviasi,” terang Jon yang waktu itu sudah menanggalkan baju merah mudanya dan lebih memilih telanjang dada.

“Di sini ada Spitfire ya (bagian keyhole). Karena itu salah satu pesawat favorit gw. Spitfire yang bisa ngalahin pesawatnya Nazi pada era itu. Pesawat Inggris. Ia jadi tema poinnya. Pesawat Spitfire. Di sini ada karya 'Blackhole' dan di tengah ada tulisan 'War Zone' itu yaa lu head to head, ankle breaker sama lawan lu. Versus-lah begitu.”

Blackhole yang disebut Jon adalah sebuah lingkar hitam seluas kurang lebih lingkaran di tengah lapangan basket. Terlihat sangat menonjol di dalam karyanya. Ditambah deskripsi dari Jon, menarik memang bagaimana Jon “menyediakan” titik mula dua pemain basket yang ingin berduel di lapangan. Satu sebagai penyerang dengan bola, dan satu lagi bertahan. Posisi blackhole terlihat ideal untuk memulai duel one on one alias satu lawan satu. Biasanya, posisi memulai serangan pada lapangan (setengah lapangan) ada tepat di atas tengah busur tripoin. Kenyataan bahwa ia ada di posisi agak serong membuatnya terasa lebih “nyaman”. Setidaknya buat saya yang suka memulai serangan dari sayap. Oh, dan secara komposisi dan aksen, blackhole ini terasa sangat kuat di antara warna-warni yang berkeliaran di sekitarnya.

Melihat karya Jon, kita akan cepat tergoda untuk mencoba memaknai setiap elemen yang muncul di sana. Bagi saya, karya Jon seolah menggambarkan energi yang kerap hadir di setiap lapangan basket namun tak pernah benar-benar kelihatan. Hanya bisa dirasakan. Jon menampilkannya. Karya Jon adalah visualisasi energi yang selalu hadir di setiap lapangan basket. Di mana saja. Di mana saja ada yang main di lapangan mana saja.

“Pengaruh basket lumayan besar di gw. Karena waktu eranya basket Bulls dan Rodman, warna-warna di basket itu sangat gw kagumi dan jadi salah satu inspirasi buat gw. Warna-warna jersei, pakaian di luar lapangan, rambutnya (Dennis Rodman), fashionnya Rodman, mereka punya gayanya masing-masing dan warnanya bright. Gw suka banget. Dan ngehe-ngehe-nya dapat. Sebrengsek itu tapi berkualitas. Jadi lu skak-ster! Misalnya Rodman nih, si anjing nih, si bangsat, tapi dia rebound bisa 28 dalam satu gim. Nol poin. Tapi tanpa Rodman, Jordan belum tentu bisa dapatkan poin sebanyak itu. Ada perannya masing-masing. Mungkin gw gak bisa main basket terlalu hebat, seperti siapa lah yang hebat. Tapi gw bisa berkontribusi dalam hal lain.”

Walau awalnya mengaku hanya tahu Dennis Rodman, Jon kemudian juga mengungkapkan kekagumannya ke beberapa pemain era kini. Ia menyebut dua nama.

“Jagoan gw Ja Morant dan Jimmy Butler. Butler punya gaya. Apalagi pas main kartu, di mana itu gw lupa, sama gerombolannya, dia pakai itu, pokoknya ngehe lah. Dia punya gayanya yang menurut gw, gw bisa relate. Kalau Ja Morant, dia kan rookie of the year yaa. Kebetulan gw juga ruki di dalam dunia ini dan gw berani bilang “of the year”. Haha. Sombong sama percaya diri beda tipis ya. Kalau yang sebal sih akan bilang sombong.”

Beberapa saat sebelum kami ngobrol, ada momen memang di mana Jon terlihat sangat menikmati karyanya yang telah rampung. Waktu itu, ia tengah mengupas atau melepas lakban yang menutupi garis-garis lapangan agar tetap putih dan tidak tertimpa sapuan-sapuan catnya. Layaknya seorang “Rookie of the Year”, Jon berjalan melepas lakban sambil menghisap sebatang cerutu. Ya cerutu. Cerutu kemenangan.

Lapangan basket Critical 11 bukanlah lapangan basket pertama yang mendapat sentuhan Jon. Sebelumnya, ia sudah pernah melukis lapangan lain. Sauze Park.

Alipjon bersama rekannya sesama seniman Adi Dharma atau yang lebih dikenal sebagai Stereoflow tengah gencar menjadikan beberapa lapangan basket untuk jadi media berkarya. Sebelum Jon menggarap Critical 11, Stereoflow baru saja menyelesaikan satu lapangan basket di daerah Pamulang, Tangerang Selatan. Saya tergoda untuk menanyakan kepada Jon apakah ia melihat Stereoflow sebagai kompetitornya saat ia meraih gelar Rookie of the Year.

“Oh gak, gak. Itu gak bisa dikalahin itu. Itu bukan sebuah kompetisi. Mungkin gw bisa kalahin diri gw sendiri. Karena gw sudah bisa bernegosiasi dengan diri gw sendiri saat ini,” tangkis Jon.

“Ya, jadi gw sama Kang Adi (Stereoflow), ‘Woy gimana ni, ayok!’ Waktu itu gw bikin Sauze Park, gak lama Sauze Park keluar, Stereoflow bikin fullcourt (Pamulang). Kang Adi kan memang sudah senior dalam hal perkaryaan. Gw respek banget karena gw juga mengagumi karyanya. Gw teks Kang Adi. Lalu dia jawab, ya sudah kita cari tiga lapangan. Tiga sama tiga. Tiga dia, tiga gw. Habis itu kita bikin satu court, kolaborasi. Habis itu kita bikin kompetisi ‘King of the Court’. Skor 2-1.”

“Siapa yang 2?” Tanya saya.

“Gw. Satu lagi kan Sauze Park. Dia sudah fullcourt sih, jadi bisa juga 2-2. Soalnya gw half and half.”

Entah karena proyek antakeduanya sudah banyak diketahui orang atau hanya karena kesan keren dari karya lapangan basketnya, Jon mengaku tidak sulit mencari lapangan basket ketiga untuk dikerjakan. Antrean sudah ada.

“Sebenarnya gw tinggal pilih mau yang mana. Sudah banyak yang tawarin. Tapi gw picky dan ngehe,” ungkap Jon yang kemudian menjelaskan kriteria jenis lapangan basket mana yang akan menarik perhatiannya untuk digarap.

“Gw gak butuh ekspos. Mereka yang butuh. Gw butuh tempat yang memang mati dan saat gw bikin karya, (tempat) itu kembali hidup. (Seperti Critical 11) Ini awalnya tempat mati, dan hanggar pesawat, itu salah satu kecintaan gw, terbang tinggi. Aku adalah meteor. Meteor itu menembus segalanya. Menembus segala lini. Dia berbaur ke manapun dia ditempatkan. Tadinya lapangan ini bagus. Sudah dicat segala macam. Tapi gw hancurkan. Tapi timbul semua yang baru kan sekarang?”

Kebaruan yang muncul setelah lapangan basket Critical 11 mendapat sentuhan Jon memang sangat terasa. Namun, sebelum menutup obrolan dengan Jon, saya mengungkapkan sebuah temuan kecil di dalam karyanya. Temuan yang saya dapatkan setelah mengeksplorasi setiap sudut ketika Jon meminta waktu sejenak sebelumnya.

Di sisi berlawanan dengan posisi blackhole, saya menemukan beberapa garis yang terasa “bukan Alipjon”. Garisnya terlalu hati-hati dan rapi. Tepi garis terlihat tajam. Tidak kasar seperti kuas yang terseret cepat dan segera diangkat, atau disapu sembarangan. Garis yang ada seolah terbentuk dari tekanan yang cukup dalam, ditarik dengan pelan, dan sapuan penuh kehati-hatian dengan memperhatikan volume cat yang menempel pada kuas. Saya kemudian mengonfirmasinya ke Jon.

Benar saja. Jon mengatakan bahwa garis itu bukan dia yang membuat. Salah satu rekannya menyelesaikan garis tersebut sambil mendapatkan bimbingan dari Jon. Penjelasan Jon kenapa ia ingin agar rekannya membuat garis yang rapi dan baik sekali lagi kembali membawa saya kepada hal serupa yang ada di dunia basket.

“Setelah lu bisa bikin (garis) yang rapi, baru lu bisa bikin yang acak-acakan. Yang berontakan. Jadi lu tahu batasnya untuk ditembus. Poinnya adalah saat lu tahu batasnya itu di mana, lu tahu bagaimana cara menembusnya.” **

Komentar