IBL

Sudah hampir satu dekade berlalu sejak saya pertama kali meninggalkan Kabupaten Sukabumi untuk merantau. Selama itu, ada dua kota besar yang sempat saya tinggali cukup lama: Kota Bandung dan Kota Surabaya. Saya tinggal di kedua kota itu selama total delapan tahun. Begitu pandemi Covid-19 muncul di Indonesia, akhirnya saya memutuskan untuk kembali ke kampung halaman pada awal 2020 ini.

Saat pulang, saya mendapat kesempatan untuk membantu adik dan teman-teman lama membangun akademi bola basket. Namanya Ocean Basketball Academy. Siswanya anak-anak sekitar sini. Beberapa datang dari jauh. Mereka membutuhkan waktu sekitar satu jam untuk mencapai tempat latihan. Kebetulan Kabupaten Sukabumi itu kabupaten terluas di Jawa setelah Banyuwangi.

Sejujurnya saya seringkali kagum kepada anak-anak Kabupaten Sukabumi. Sebab, skena bola basket di sini seolah hidup pada dimensi waktu yang berbeda dengan, misalnya, Bandung dan Surabaya. Ketika kedua kota itu mulai melangkah kepada hal-hal berbau modernitas, Kabupaten Sukabumi masih terjebak pada zaman purba. Animo bola basket di sini tidak ada apa-apanya dibandingkan kota-kota besar. Jangankan mengenal pemain-pemain NBA, pemain-pemain IBL saja masih samar-samar di ingatan mereka.

DBL boleh jadi malah lebih asing lagi. Coba cek sekolah di Kabupaten Sukabumi mana yang mengikuti kompetisi pelajar terbesar di Indonesia itu! Namun, sebagian anak—yang selama setengah tahun ini saya kenal—tetap punya minat yang besar kepada olahraga ciptaan James A. Naismith. Mereka punya segudang pertanyaan tentang gambaran bola basket di luar kota. Mereka bersemangat untuk sedikit demi sedikit mengenal skena yang lebih canggih dan memangkas kesenjangan tadi.

Buktinya anak-anak mau menempuh jarak yang jauh untuk mengikuti latihan. Mereka juga selalu bersemangat bangun tidur lebih awal kala saya menggelar latihan gratis di salah satu lapangan taman kota pada pukul enam pagi.

Latihan gratis ini tidak sama dengan latihan akademi. Bahkan, pesertanya jauh lebih sedikit. Namun, tujuannya mirip: Membantu mengembangkan anak-anak.

Sayangnya, saya tidak selalu punya waktu untuk menggelar latihan gratis. Sebab, saya mesti bekerja serabutan (freelance) untuk memenuhi hidup sendiri. Apalagi saya bukan seorang pelatih. Lisensi pun tidak punya. Latar belakang saya sekadar lulusan ilmu komunikasi (jurnalistik) yang selama lima tahun intens mengamati bola basket dalam dan luar negeri. Pemahaman saya terhadap olahraga permainan itu tidak lebih hebat dari, misalnya, Adrian Darmika (Mainbasket) dan Didik Haryadi (Basketball Statistic).

Belum lagi ketersediaan fasilitas, terutama lapang, yang tidak sepenuhnya memadai untuk latihan gratis. Beberapa kali kami harus berbagi atau malah berebut ruang dengan yang lain. Kebetulan taman kota adalah lapangan umum. Agak riskan jika memadatinya saat pandemi.

Oleh karena itu, saya dan teman-teman seringkali memutar otak agar anak-anak tetap bisa dekat dengan minatnya kepada bola basket sekaligus perkembangannya. Salah satunya dengan berbagi referensi dan pengalaman. Misalnya mempertontonkan video latihan menembak Sandy Brondello di kanal YouTube FIBA sambil menceritakan pengalaman subyek yang sedang mereka pelajari. Dalam ilmu komunikasi, referensi (frame of reference) dan pengalaman (field of experience) dapat membantu membentuk kesepahaman.

Pada zaman ini, teknologi juga sangat membantu kami. Dengan teknologi, saya sempat menghadirkan Arif Hidayat (garda Prawira Bandung yang pernah juara IBL plus ABL bersama CLS Knights Surabaya/Indonesia) dan Taufik Shaleh {pelatih DBL All-Star 2016 (Girls Team), pelatih SMAK Trimulia Bandung, sekaligus Bidang Kepelatihan PP Perbasi} untuk berbincang-bincang secara virtual via Instagram Live.

Antusiasme penonton dari kalangan anak-anak Kabupaten Sukabumi cukup tinggi pada waktu itu. Mereka mau menyisihkan malam minggunya untuk menonton obrolan kami dan mengenal lebih dalam tentang narasumber.

Pada waktu yang lain, saya sempat mengajak Wendha Wijaya—yang sebelumnya telah bersedia menjadi pembina Ocean—untuk bertandang ke tempat latihan kami bersama akademi besutannya. Namanya Sukabumi Basketball Academy (SBA). Meski sama-sama menyandang nama Sukabumi, Ocean dan SBA beroperasi di wilayah yang berbeda. Ocean berada di kabupaten, sementara SBA di kota.

Ketika Wendha datang, anak-anak senang bukan kepalang. Padahal dia hanya mengamati mereka dan mengobrol sebentar sambil membagikan buah tangan. Bagi anak-anak, kehadiran sosok seperti Wendha, juga Arif dan Taufik, bagai inspirasi sekaligus motivasi lain. Mereka senang melihat contoh sukses di dunia bola basket Indonesia. Ketiganya merupakan role model (panutan). Anak-anak jadi punya gambaran sekaligus harapan untuk mendapat kesempatan yang sama seperti mereka.

Sejak kembali ke kampung halaman, dan bertemu dengan anak-anak ini, saya seringkali berharap akan ada lebih banyak profesional yang mampir ke tempat kami. Entah itu pemain maupun pelatih. NBA, yang notabene liga tersohor sedunia, sudah melakukan hal seperti itu sejak lama. Mereka rutin mengirim pemain-pemainnya ke berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Biasanya pada jeda musim kompetisi.

David Stern, komisioner NBA terdahulu, adalah dalang dari kebiasaan pemain NBA yang mau terbang ke sana-sini. Ketika pertama kali menjabat, dia mencoba mengubah konsep lama dengan mengedepankan sosok pemain layaknya Disney mengedepankan Mickey Mouse. Stern percaya bahwa pemain adalah ikon yang mampu menarik minat massa dan menumbuhkan kultur bola basket yang lebih baik.

IBL sebenarnya sempat melakukan hal yang sama. Mereka punya agenda kunjungan ke tempat-tempat tertentu pada beberapa seri penyelenggaraan kompetisi. Para pemainnya, seperti trio Adhi Pratama-Kaleb Ramot-Firman Nugroho, juga pernah menginisiasi jalan-jalan sambil berbagi. Mereka berkunjung ke beberapa tempat di Jawa Barat untuk menemui anak-anak bola basket setempat.

Kabupaten Sukabumi tentu belum ada dalam peta kunjungan IBL. Kami memang belum punya daya tarik. Namun, bukan berarti tidak ada semangat sama sekali untuk menyambut para profesional.

Saat ini, meski pandemi, beberapa tokoh bola basket Kabupaten Sukabumi juga mencoba menggerakan kembali roda yang sempat berhenti. Sayangnya, mereka masih bergerak dalam bentuk kubu-kubu yang sulit bersatu. Saya rasa gara-gara itu juga skena bola basket Kabupaten Sukabumi seolah terjebak pada dimensi waktu yang berbeda. Semacam jebakan bernama zaman purba.

Maka dari itu, daripada bergerak dalam kubu-kubu, apa tidak sebaiknya kita mulai berpikir lebih jauh dan dalam. Misalnya berpikir bagaimana caranya supaya bisa mendatangkan lebih banyak profesional (baik federasi, pelatih, pemain, wasit, dan pandit) untuk membagikan referensi dan pengalamannya ke Kabupaten Sukabumi. Atau membuat kelas diskusi berisi insan-insan bola basket di seluruh kabupaten; memetakan masalah tiap wilayah untuk sekaligus mencari solusinya; membuat gebrakan dengan meninggalkan gaya lama yang saling sikut-sikutan.

Menarik, bukan?

Foto: Dok. Ocean Basketball Academy

Komentar