IBL

Pemain bernomor punggung delapan itu selalu tampak bersemangat ketika memasuki lapangan. Namanya Nicholas Axel Suharejo. Ia merupakan garda utama SMA Regina Pacis Bogor. Wajahnya cenderung serius. Namun, selalu menikmati segala tantangan dalam permainan bola basket.

Bagi Nicholas, setiap pertandingan bagaikan perang. Ketika ia melangkah masuk ke lapangan, semua orang yang berbeda seragam adalah musuhnya. Mereka harus dikalahkan.

“Saya di sini tuh buat “berkelahi”, bukan buat damai-damai,” kata Nicholas kepada Mainbasket. “Yang di lapangan itu musuh. Harus saya bantai.”

Tekad Nicholas untuk menang memang besar. Tekad itu muncul setelah kegagalannya di Honda DBL West Java Series 2018. Saat itu, Regina Pacis tumbang tanpa sempat merasakan gelar juara.

Menurut sang pemain, Regina Pacis tahun lalu memang mudah dikalahkan. Mereka terlalu mengandalkan kemampuan individu. Nicholas bahkan sering bermain sendiri. Padahal satu tim bola basket itu setidaknya diisi lima orang di lapangan.

Nicholas juga sadar satu hal: Mentalitas Regina Pacis tahun lalu belum ada apa-apanya. Ia menilai, mental pemain masih hijau. Mereka lebih mementingkan untuk terlihat keren di hadapan orang banyak dibanding menjadi seorang juara.

Pada akhirnya, mentalitas seperti itu memukul diri mereka sendiri. Regina Pacis tumbang. Nicholas pun jatuh.

Untungnya, Nicholas dkk. tidak melulu terbawa arus. Mereka mampu bangkit. Pengalaman buruk menyisakan pelajaran besar. Mereka mulai berbenah dari sana.

“Awalnya bingung kenapa bisa kalah. Beberapa bulan kemudian mikir, ‘Oh ternyata salahnya di sini.’ Akhirnya mulai diperbaiki,” kenang Nicholas tentang pengalaman pahitnya. “Dulu tidak bisa menembak, jadi latihan menembak. Dulu mainnya juga sendiri banget. Tidak percaya sama tim. Soalnya, di SMP timnya jelek banget. Jadi, main sendiri. Pas SMA masih begitu awal-awal. Masih bisa menang. Ternyata musuhnya berkembang. Mulai kebaca. Pemain RP (Regina Pacis) mainnya sendiri doang. Makanya kami kalah. Setelah itu kami jadi belajar percaya sama tim.”

Hal yang sama diungkap Jerrell Susilo, rekan setimnya. Menurut Jerrell, Regina Pacis dulu memang individual. Mereka tidak begitu mempercayai tim. Sampai akhirnya kekalahan di Honda DBL memberi mereka pelajaran.

Bagi Jerrell sendiri, Nicholas adalah sosok penting. Jerrell bisa bermain bola basket seperti sekarang atas bantuan Nicholas. Apalagi mengingat dulu ia tidak bisa apa-apa. Jerrell mulai bisa bermain bola basket setelah Nicholas berbagi ilmu untuk mengembangkan permainan.

“Dulu awal-awal tuh masih belum bisa apa-apa,” kata Jerrell. “Mainnya juga begitu-begitu saja. Terus, belajar sama yang lebih bisa. Nicholas itu sering bantu saya. Sampai sekarang.”

Pada 2019, perjuangan Nicholas dan Jerrell bersama Regina Pacis sampai ke puncaknya. Mereka berhasil menjadi juara Honda DBL West Java Series. Nicholas saat itu merupakan salah satu potongan penting tim dalam meraih gelar. Ia adalah pemimpin. Kepala Pelatih Regina Pacis Fajar Maulana pun mengakui hal itu.

“Anak ini bisa diandalkan. Dia yang mengatur kami ketika di lapangan. Dia memang motor tim ini,” ujar Fajar.  

Sementara itu, bagi Nicholas, Fajar adalah sosok pelatih yang unik. Di bawah asuhannya, ia merasa berkembang, termasuk secara mental. Ia mampu mengatasi tekanan sehingga bisa fokus kepada pertandingan. Itu semua berkat Fajar yang membimbing selama tiga tahun di SMA.

Menurut Nicholas, ia bisa berkembang di bawah asuhan Fajar karena sang pelatih mempercayainya. Fajar menaruh kepercayaan kepada anak-anak asuhnya sehingga mereka bebas menentukan nasibnya. Apalagi Regina Pacis memang sulit terpaku pada satu pola permainan tertentu.

“Kalau pelatihnya bukan Fajar, kami tidak bakal sejauh ini,” ujar Nicholas. “Soalnya, pemain-pemain kami itu susah diatur. Kalau diatur banget jadi jelek mainnya. Tahun lalu sebenarnya pelatihnya sama, cuma dia mencoba main pola. Sistemnya tuh tidak bisa jalan. Pemain kami tuh tidak bisa main sistem. Lebih suka isolation, fastbreak, segala macam.”

Gelar juara tentu menjadi sebuah pencapaian besar untuk Regina Pacis, terlebih bagi Nicholas. Sang pemain sudah mengincar gelar itu sejak lama. Ia ingin melakukannya di tahun pertama, tetapi belum timnya ternyata belum siap. Sampai akhirnya Nicholas bisa meraih itu di tahun kedua alias tahun terakhirnya di SMA. Sebab, ia sudah duduk di kelas 12. Pemain berusia 17 tahun itu tidak akan bisa mengikuti Honda DBL lagi tahun depan.

Nicholas sendiri sebenarnya sudah bermain bola basket sejak SD. Itu pun tidak sengaja. Nicholas tadinya ingin mengikuti ekstrakurikuler sepak bola. Namun, olahraga itu tidak ada dalam daftar pilihan. Yang ada hanyalah bola mini. Nicholas tidak tahu kalau bola mini itu bentuk lain dari sepak bola yang dikenalnya.

“Tanya teman soal bola mini. Saya tanya, ‘Eh, ini bola mini apaan?’ Katanya main kelereng,” cerita Nicholas. “Bola mini main kelereng, ya sudah jadinya pilih bola basket, hahaha.”

Sejak mengira bola mini adalah main kelereng, Nicholas jatuh ke dunia bola basket. Ia bahkan mulai serius menekuninya ketika SMP. Nicholas diajak masuk ke sebuah klub bernama Bogor Raya. Di sanalah ia semakin memupuk kecintaannya kepada bola basket.

Tahun-tahun berlalu, Nicholas semakin senang bermain bola basket. Ia pun lulus dari SMP dan masuk ke Regina Pacis. Di sanalah ia bertemu dengan teman-temannya yang sekarang, termasuk Jerrell dan Fajar. Mereka bahu membahu untuk menjadi juara. Sampai akhirnya mimpi itu bukan lagi mimpi. Gelar juara sudah ada di dalam hati masing-masing. Mereka berhasil. Nicholas senang. (put)

Foto: Akhmad Rizal/DBL Indonesia

Komentar