IBL

Musim seolah berjalan sempurna bagi Abraham Damar Grahita di 2018-2019. Bersama Stapac Jakarta, ia berhasil menjadi juara di pramusim saat Indonesian Basketball League (IBL) menggelar IBL Go-Jek Tournament. Di musim reguler, meski Stapac tercatat kalah sekali, Abraham justru tak pernah merasakan kekalahan. Dalam kekalahan atas Bogor Siliwangi tersebut, Abraham absen lantaran ada panggilan tim nasional Indonesia untuk berlaga di Thailand.

Selain gelar bersama tim, pemain yang akrab dengan sapaan Bram ini juga berhasil mendapat penghargaan individu. Menariknya, penghargaan individu ini mungkin bisa dibilang tak biasa karena yang ia dapatkan adalah gelar Sixthman of the Year atau pemain cadangan terbaik.

Ya, Bram memang mendapatkan perubahan peran di bawah asuhan Giedrius Zibenas. Musim lalu kala Stapac masih dilatih pelatih asal Filipina, Bong Ramos, Bram selalu menjadi pilihan utama. Ia menjadi tandem untuk pemain asing Stapac, Dominique Williams di lapangan belakang. Musim ini, dari 17 gim yang ia mainkan, Bram hanya turun lima kali sebagai pemain utama (starter). Hal itu yang membuatnya bisa masuk dalam nominasi dan memenangkan Sixthman of the Year.

Di NBA, gelar Sixthman of the Year sendiri termasuk salah satu gelar individu dengan usia yang paling muda. Gelar ini baru mulai diberikan pada musim 1982-83. Dalam prosesnya, pemain-pemain yang memenangi gelar ini memang diberi peran sebagai penjaga kestabilan tim saat barisan starter mendapatkan waktu istirahatnya.

Dari semua deretan pemain NBA yang pernah mendapatkan gelar ini, ada lima pemain yang mendapatkannya lebih dari satu kali. Tiga di antaranya sudah pensiun sementara dua nama lain adalah Jamal Crawford (3X) dan  Lou Williams (2X). Dari seluruh deretan nama yang ada di daftar, satu nama lain yang melegenda dan disebut-sebut seharusnya mendapatkan gelar ini lebih dari satu kali. Ia adalah mantan pemain San Antonio Spurs, Manu Ginobili.

Ginobili adalah legenda bangku cadangan sepanjang sejarah NBA. Ia mendapatkan gelar Sixthman of the Year pada musim 2007-2008. Meski hanya tampil dua kali di laga All Star dan tercatat tiga kali menjadi All- NBA Third Team, Ginobili adalah bagian penting Spurs di era Gregg Popovich terutama memasuki milenium baru. Peran penting Ginobili adalah sebagai pencetak angka, pembawa bola, dan fasilitator tim saat rotasi mulai berjalan. Ia dengan apik memainkan peran tersebut dalam empat kali gelar juara yang ia rasakan bersama Spurs.

Satu hal yang perlu menjadi catatan lebih adalah fakta bahwa Ginobili adalah pemimpin generasi emas tim nasional Argentina. Ia membawa Argentina menjadi tim yang membuat Amerika Serikat gagal meraih emas di Olimpiade 2004 yang berujung pada perombakan besar badan tim nasional Amerika Serikat.

Belum lagi sumbangsih rataaan statistiknya yang luar biasa. Dalam masa jayanya di kurun 2004-2011, Ginobili menorehkan 16,8 poin, 4,1 rebound, 4,2 asis, dan 1,5 steal per gim. Ia juga berhasil memasukkan 45 persen tembakan keseluruhan, 37 persen tripoin, dan 84 persen dari tembakan gratis. Angka-angka tersebut saya yakini akan membuatnya menjadi pemain inti di tim lain.

Hal ini adalah hal yang serupa dengan kasus pemain pertama yang kita bahas di artikel ini, Abraham. Abraham serupa dengan Ginobili dalam hal peran sebagai pencetak angka, pembawa bola, dan fasilitator tim. Kedua pemain ini jelas akan menjadi pemain inti di tim lain, tanpa diragukan. Namun, keduanya berhasil menjalankan peran dengan apik meski secara porsi permainan cukup banyak dikurangi.

Persamaan lain keduanya adalah sistem permainan tim. Ya, kedua tim yang dibela kedua pemain ini dipimpin oleh pelatih yang bergaya Eropa. Permainan cepat dengan banyak penetrasi, pergerakan bola dinamis, dan membuka ruang secara terus-menerus menjadi andalan kedua tim. Lebih mengherankan lagi, nama kedua pelatih sama-sama dimulai dengan huruf “G.” Kedua tim juga akrab dengan warna hitam, putih, dan abu-abu.

Lalu, entah takdir atau kebetulan, Ginobili memulai karirnya sebagai pebasket profesional pada 1995 untuk Andino Sport Club di Argentina. Di tahun yang sama, sepasang suami-istri bernama Marcell Supartono dan Susana melahirkan seorang anak bernama Abraham Damar Grahita.

Satu lagi hal yang menghubungkan keduanya adalah kota asal mereka yang namanya sama-sama dimulai dengan huruf “B.” Abraham seperti kita ketahui berasal dari Bangka Belitung, sementara Ginobili berasal dari Bahia Blanca, kota di barat laut Argentina.

Akankah Abraham mengikuti jejak karir Ginobili di masa mendatang? Hanya waktu yang dapat menjawab. Namun yang pasti, Abraham sudah mampu mengimbangi raihan satu gelar Sixthman of the Year miik Ginobili. Abraham masih butuh tiga gelar juara lagi bersama Stapac untuk mengimbangi pencapaian Ginobili dengan Spurs.

Harapan besar lainnya adalah Abraham mampu memimpin tim nasional Indonesia (semoga akan mendapatkan generasi emas) menggulingkan kedigdayaan Filipina di Asia Tenggara atau bahkan melebihi itu. Hal yang sudah dilkukan Ginobili kala menggulingkan Amerika Serikat yang sudah kita bahas di atas.

Satu hal yang mungkin akan menakutkan Abraham untuk tidak mengikuti jejak Ginobili adalah fakta bahwa Ginobili tak sekalipun masuk dalam perdebatan menjadi Most Valuable Player (MVP) sepanjang ia bermain untuk Spurs. Ginobili sendiri sebenarnya pernah meraih gelar MVP kala masih bermain di Italia dan untuk tim nasional Argentina, tapi tidak bersama Spurs.

Tetapi, ada satu hal yang bisa dibilang membuat Abraham sudah unggul jauh dan rasanya tak akan mampu dikejar oleh Ginobili. Abraham punya signature shoes AD1 hasil kerja sama DBL Indonesia dan Ardiles. Sementara Ginobili “hanya” menggunakan sepatu signature milik pemain NBA lainnya. Sepatu AD1 sendiri masih tersedia dan bisa didapatkan di dblstore.com 

Foto: Hariyanto, NBA, Gilang Ramadhan

 

Komentar