IBL

Pada medio 2016 silam, Sandy Febiansyakh, garda tembak BTN CLS Knights Indonesia, bercerita tentang dirinya. Ia mengaku sempat ingin berhenti bermain basket pada awal karirnya. Saat itu, ia berpikir begitu karena tidak mendapat kesempatan bermain sebanyak sekarang. Namun, dorongan dari luar rupanya membuat ia mengurungkan niat. Ia berubah pikiran bahkan latihan lebih keras untuk membuktikannya. Usahanya itu pun akhirnya berhasil dan ia bisa bertahan sampai sekarang.

Pada saat bercerita, Sandy mensyukuri keputusannya itu. Seandainya ia berhenti di tengah jalan, mungkin ia tidak akan menjadi Sandy yang sekarang. Ia belajar satu hal: jika minat terus digali, ternyata bisa membuahkan hasil.

Di samping itu, sama halnya seperti basket, dunia seni juga lekat dengan kehidupan Sandy. Ia senang dengan seni karena itu memang minatnya. Oleh karena itu, ia pun menekuninya sebagaimana ia menekuni basket. Ia tidak berpikir untuk meninggalkan seni seperti saat ia hampir meninggalkan basket. Sebab, Sandy sudah belajar, jika ia sudah menemukan minatnya, ia akan menggalinya.

Mainbasket mengobrol dengan Sandy tentang dua hal di atas sesuai CLS mengalahkan Singapore Slingers di GOR Kertayaja, Surabaya, Minggu 20 Januari 2019.

Simak obrolan kami, sebagai berikut:    

 

Dulu sempat cerita kalau Sandy hampir berhenti main basket, tapi ternyata bisa terus maju sama CLS. Seperti apa rasanya bertahan dengan CLS?

Ya, ada dorongan dari luar supaya saya ada di sini terus. Jadi, saya tidak mau memutuskan pensiun terlalu cepat. Saya juga melihat CLS seperti rumah saya. Maksudnya, saya merasa memang harus di sini dulu untuk beberapa tahun.

Akhirnya bisa bertahan sampai di sini, sampai main di ABL hari ini. Ini bahkan sudah empat kemenangan beruntun. Apa pendapatnya?

Tren bagus, apalagi di tahun baru kami baru kalah sekali. Tren bagus supaya ke depannya kami bisa mengambil gim-gim selanjutnya. Kami tidak mengharapkan gim seperti gim penutup tahun baru. Sebenarnya di gim itu kami bisa menang, tapi ternyata kalah. Dari situ kami evaluasi, jadi tren bagus, semua orang getting better.

Sebelum ini pernah ngobrol bareng pemain lain. Mereka bilang kedatangan dua pemain asing baru membawa perubahan yang signifikan. Menurut Sandy seperti apa?

Menurut saya, dua pemain ini dibilang muda juga tidak. Mereka sepantaran sama saya. Mereka berpengalaman. Mereka tahu apa yang dibutuhkan sama tim. Mereka tidak membutuhkan waktu lama untuk sinkron. Mereka mengerti ritme, keinginan pelatih, instruksi sehingga di lapangan jadi klop satu sama lain.

Mereka memang pemain—bukan bagus malah—lebih dari bagus. Mungkin ada beberapa kesalahan, tetapi kita tahu sendiri mereka membutuhkan waktu untuk recovery. Menurut saya, mereka sangat bagus.       

Ketika CLS sibuk menyiapkan diri untuk ABL 2018-2019, Sandy ada di Jakarta untuk latihan bareng timnas. Bagaimana cara Sandy beradaptasi dengan tim ini selama meninggalkan Surabaya?

Saya sering komunikasi sama pelatih. Selama saya di timnas, bukan berarti saya tidak memikirkan tim ini. Saya sering berkomunikasi sama pelatih tentang gameplan segala macam. Ternyata tidak jauh berbeda. Hanya ada perubahan pelatih baru. Jadi, itu tergantung kami menyesuaikannya saja. Saya kira tidak butuh waktu lama.

Sandy menilai performa CLS selama di ABL 2018-2019 seperti apa?

Di awal musim masih di bawah performa. Itu menurut saya, ya. Kemarin masih di bawah performa, tapi kami terus mencari ritmenya. Latihan terus sampai mendapatkan ritmenya. Saya tidak bosan latihan.

CLS dalam empat pertandingan terakhir menang terus, terutama di Kertajaya menang tiga kali beruntun. Sandy menilai performa sendiri seperti apa? Waktu itu ikut menyumbang andil dalam rekor 22 tripoin melawan Macau (Black Bears).

Itu bukan karena orang bilang, “O ya, main di rumah paling gara-gara ringnya yang bikin kamu sendiri.” Padahal kami main di mana pun sama saja. Energinya yang beda. Karena di sini ada dukungan fans, penonton, orang-orang datang ke mari untuk menonton.

Pas di luar itu tidak dapat. Beda itu. Bukan karena sering latihan di sini sebenarnya. Saya dulu latihan di mana pun tetap saja sama. Yang membedakan, ya, energi positif tadi.

Dengan performa sekarang, Sandy bisa tidak mempertahankan posisi di timnas?

Optimis saja. Kalau memang dibutuhkan tim, saya ready saja.

Apa yang diperlukan untuk jadi siap?

Kita, kan, tidak tahu seperti apa form timnas nanti. Setiap tahun inginnya masuk, tapi tidak tahu seperti apa nanti. Yang pasti, kondisi individu harus dijaga. Fokus ke depan. Fokus sama gol. As a professional player, saya terus menjaga itu.

Soal Arif, banyak orang bilang dia berhak mendapat kesempatan di timnas. Apa pendapat Sandy?

O, iya dong. Menurut saya, dari tahun lalu dia bisa bersaing di situ. Saya dengar dia mau dipanggil, tapi tidak tahu kenapa malah tidak jadi. Saya mendengar kabar angin.

Menurut saya berhaklah. Dia punya dribble bagus. Komplet, sih, dia. Dia bisa shoot; bisa main cepat; bisa main pelan. Dia coach-able juga. Pelatih minta apa, dia bisa.

Omong-omong, di luar basket, Sandy punya minat kepada seni, bahkan kuliah seni. Bagi Sandy seperti apa seni itu?

Seni itu, menurut saya, sesuatu yang saya bikin adalah yang saya senang.

Beda sama basket. Seni sama basket itu tidak bisa digabungkan. Kadang pas main Instagram ada pertanyaan: “Kok bisa di Instagramnya tidak pernah ada foto main basket?” Ya, kadang-kadang saya selipkan juga, sih. Tapi, saya upload yang saya suka. Ini yang saya suka.

Saya tidak berharap orang-orang ikut suka. Karena, menurut saya, seni itu sesuatu yang saya sukai. Saya tidak menuntut orang lain ikut suka. Idealis, tapi tidak menutup untuk komersial. Intinya saya mengerjakan apa yang saya sukai.

Di luar sana ada stigma tentang seniman dan atlet yang tidak menantu-able, katanya. Bagaimana Sandy mendobrak stigma itu; menunjukkan kalau seniman maupun atlet, bahkan seniman-atlet, bisa berprestasi?

Bisa, bisa, karena saya dari kecil percaya sama yang namanya logika. Tidak percaya sama yang namanya, “Jangan jadi itu, jangan jadi ini.”

Saya justru orangnya senang mengulik. Kalau itu sekadar omongan tanpa ada fakta, sama saja seperti dibohongi. Maksudnya, patahkanlah stigma seperti itu. Karena di luar sana banyak teman saya pemain basket yang sukses. Banyak seniman-seniman yang kelihatan amburadul, idealis, tapi karyanya di mana-mana. Mungkin terlihat seperti gembel. Mungkin karena dia seperti itu. Dia nyaman dengan itu. Tidak masalah.

Ada pesan tidak untuk teman-teman di luar sana untuk mengembangkan passion?

Kalau soal passion, jangan setengah-setengah. Kalau masih mencari passion kamu apa, cari sampai dapat. Tapi, begitu dapat jangan selalu merasa kurang, kurang, kurang. Begitu ketemu satu passion, gali terus. Sama seperti basket, begitu sudah digali, kamu bisa dapat sesuatu yang lebih dari itu nantinya. Kalau kamu merasa kurang terus, kamu tidak bakal dapat apa-apa. (GNP)

Foto: Yoga Prakasita dan Alexander Anggriawan

Komentar