IBL

Wasit itu pengadil. Itu dulu! Untuk basket sekarang, itu saja tidak cukup. 

Menyaksikan aksi tim peserta di pertandingan-pertandingan IBL terakhir, selain tambah pemain asing, belum terlihat ada yang baru. Masalah pelatih dan kepelatihan tak kunjung berubah. Sebaiknya -harus segera- dipikirkan jalan keluarnya apabila ingin ada peningkatan. 

Permainan yang kita saksikan di level tertinggi basket negeri ini memberi kesan bahwa para pemainnya tidak cukup memahami taktik bermain. Pergerakan (movement)-nya kurang efisien pun efektif. Strategi permainan, yaitu coaching, yang tampak sulit dimengerti oleh pemain sendiri, telah mencerminkan program dan kualitasnya. Hal ini bukan saja menyebabkan permainan tidak menarik, angka perolehan kecil, pun memberi kesan main basket seolah amat sulit

Kondisi demikian tentunya akan membuat teknik individu pemain maupun beregu (team play) sulit berkembang, dan yang paling merugikan adalah, level intensitas, yaitu kekuatan dan kecepatan pemain dalam beraksi sulit meningkat.

Timbul pertanyaan, apakah kondisi tersebut tidak ada hubungannya dengan sistem perwasitan?

Tentu ada. Faktor perwasitan memang harus diangkat dan diungkap jika ingin meraih prestasi, karena kita ini belum cukup baik dalam memahami kultur olahraga ini. 

Permainan basket tingkat senior di zaman sekarang, terevaluasi menjadi tiga unsur teknik utama pada sistem offense-nya. Tiga unsur tersebut adalah "hand off""pick and roll", dan "one on one play". Apabila di permainan muncul teknik permainan berbeda, seperti "alley-oop" yang semakin sering terlihat, permainan "post offense" (post play) yang semakin mudah, passing game yang kerap mencuri poin, dan lain-lain, itu semua adalah kelanjutan atau efek yang tercipta dari tiga unsur tetsebut. 

"Hand off", adalah taktik yang berguna melepaskan pemain garda atau fowarda dari kawalan ketat lawan, sekaligus membuat posisi garda/forwarda yang diberi bola dari/oleh "hand off" tersebut menjadi berbahaya bagi defense. Namun demikian, ketidaktahuan dalam melakukanya, membuat aplikasinya hanyalah untuk menyelamatkan bola dari tekanan defense, atau hanya untuk sekadar membuat bola pindah tangan. Teorinya jadi terbalik. 

Dengan demikian "hand off" menjadi permainan yang tidak mengancam bahkan tidak berguna dan merugikan shot clock

Juga masalah teknik permainan "pick n roll", sudah sejak semula pemain tidak terlatih dengan baik, sehingga tidak dapat melakukannya dengan benar.

Lalu bagaimana dengan "one on one play"

Kekurangpahaman terhadap dua faktor tersebut di atas, otomatis membuat serangan atau offensive tidak dapat memberi tekanan yang cukup kepada defense.  Otomatis pula timing atau kesempatan untuk mendapatkan situasi "one on one" sulit tercipta. "One on one play"  menjadi terbiasa dipaksakan karena dilakukan bukan pada kesempatan (timing)-nya, tetapi terpaksa karena desakan "shot clock".

Gambaran dari persoalan permainan dan pemain di atas adalah indikasi bahwa ada tidak sedikit hal yang harus dibenahi di basket kita ini. 

Perwasitan yang berjalan sendiri, terpisah dari pembinaan prestasi atlet adalah salah satunya. Peningkatan prestasi atlet tidak mungkin dapat lepas dari keterkaitan perwasitan. 

Di bawah ini adalah penjelasan singkat mengenai efek perwasitan terhadap permainan. 

Indonesia tidak mampu menghadirkan tim basketnya di kejuaraan internasional, namun mampu mengirim wasitnya bertugas di situ.  Luar biasa. Prestasi basketnya semestinya tidak seburuk seperti yang ada sekarang. Kenyataannya, kejayaan itu malah membawa masalah buat basket sendiri.  

Kita tahu bahwa wasit FiBA tidak dapat menangani basket NBA. Begitu pula sebaliknya wasit NBA tidak dapat menangani kejuaraan dunia, karena memiliki tujuan atau filosofi masing masing. Sedangkan memahami filosofi itu tidak mudah dan perlu mendapat bimbingan yang tidak sebentar. 

Boleh saja wasit dibilang hebat bila dipercaya oleh FIBA untuk bertugas di kejuaraan internasional. Namun apabila tidak sanggup memberi indikasi yang benar tatkala bertugas di IBL kepada pemain Indonesia tentang bagaimana bermain dengan benar, apa bedanya dengan wasit berlisensi A (Nasional) bahkan dengan yang lebih rendah?

Wasit yang berlisensi A tidak memiliki pengetahuan untuk berpartisipasi dalam membangun prestasi karena memang tidak dikontrol, yaitu dibimbing atau dibina sampai ke situ. Mereka hanya sebatas menjalankan tugas berdasarkan buku teori peraturan. Itupun sangat terbatas. 

Karenanya, jangan salah dalam memahami wasit. Meski sudah menangani kejuaraan internasional, belum tentu mereka paham bahwa officiating bolabasket zaman sekarang, "isn't just about the rule, but -also- handling people". Ketidakmampuan seorang wasit untuk bisa seperti itu, membuatnya memilih untuk melepas tiupan, alias loose call dalam mengambil keputusan untuk "menyelamatkan" diri. Daripada salah tiup atau mengambil keputusan yang salah. Keputusan seperti itu pasti sering menimbulkan kontroversi ketika pelatih-pelatih sudah mulai paham peraturan! Oleh karena itu, sangat tidak cerdas jika apa yang dipraktikkan di pertandingan internasional lantas diterapkan di dalam negeri yang berlevel lebih rendah dengan begitu saja.

Perlu diketahui bahwa pelatih yang baik yang memenangkan pertandingan belum tentu lantas puas, dibanding dengan apa yang diajarkannya dapat terlaksana  dengan baik. Sebab itu, seorang wasit sejati dapat memahami "what the coaches are going through". Itulah sebabnya wasit justru dapat menjadi penghalang pembinaan prestasi bila cara menangani pertandingan terlalu "buku" (overly tehcnical in making call) atau, sebaliknya lepas (loose call). Wasit seperti itu sebenarnya belum kompeten untuk berpartisipasi di dalam pembinaan prestasi.

Mengapa? 

Bila wasit tidak paham dalam menangani permainan, dapat mengakibatkan tujuan taktik dan strategi permainan yang direncanakan oleh pelatih tidak tercapai, karena "batasan-batasan" bermain yang diizinkan peraturan menjadi tidak jelas atau inkonsisten ketika berada di bawah kekuasaannya. 

Karenanya, sistem perwasitan kita dapat dikatakan tidak berada di dalam pola pembinaan. Itu pula, tanpa disadari pelatih menjadi tidak berminat menekuni peraturan. Kesalahan ini tidak kecil.(*)

 

Komentar