IBL

Orang tua saya selalu mengingatkan ini: Kalau mengerjakan sesuatu, jangan terlalu dipikirkan. Yang penting terus kerja keras, nanti hasil dan yang diinginkan akan datang dengan sendirinya.

Dalam hidup saya, pesan tersebut telah terbukti dalam berbagai bidang. Yang tidak pernah saya bayangkan, bisa menjadi kenyataan di dunia sepatu. Lebih spesifik lagi: Sepatu basket.

Walau pernah jadi kolektor sepatu level gila, saya tidak pernah membayangkan bakal punya sepatu edisi Azrul Ananda alias Aza. Apalagi sampai enam edisi, dengan hadirnya AZA 6 hasil kolaborasi Ardiles dan DBL di penghujung 2018/awal 2019 ini.

Bukan sekadar punya sepatu, semuanya membawa misi jelas.

Bukan sekadar punya-punyaan. Bukan sekadar keren-kerenan.

Walau tetap harus keren!

Awalnya, sepatu Azrul Ananda adalah untuk membuktikan kalau industri olahraga di Indonesia bisa bikin sesuatu yang keren. Dan belakangan --dimulai dengan AZA 5 di penghujung 2017-- supaya industri olahraga Indonesia bisa mendorong partisipasi olahraga di negeri sendiri.

Semua itu bermula pada 2009…

Pada 2008, liga basket SMA yang saya prakarsai, Honda DBL, mulai agresif berekspansi ke berbagai penjuru Indonesia. Dalam beberapa tahun hingga 2008, liga ini telah di-support oleh brand sepatu basket asing. Keinginan untuk bekerja bersama brand Indonesia belum terwujud.

Kemudian, sahabat saya Prajna Murdaya –bos Grup Berca-- memberi penawaran yang tidak mungkin kami tolak. Dalam sebuah meeting, dia tiba-tiba menunjukkan dua pasang sepatu merek League. Yang satu putih polos dengan aksen jahitan biru, satu lagi hitam polos dengan aksen jahitan emas. Di bagian belakangnya ada logo DBL. Di lidahnya ada nama “Azrul Ananda” dan tanda tangan saya.

Sepatu itu bernama Gravity 2k8 DBL. Sekarang, saya mengingatnya sebagai AZA 1. Desain polos sangat saya sukai, karena seperti memulai segalanya dengan kertas kosong.

Dan ini sepatu Indonesia, buatan Indonesia. Eng ing eng! Sekarang waktunya melangkah ke depan!

Ternyata, sambutan penjualan sepatu itu menggembirakan. Setelah itu, setiap tahun, muncul edisi Azrul Ananda.

Pada 2010, ada Pure Player Ltd Aza, dengan desain tinggi dan warna biru gelap beraksen oranye. Warna itu adalah warna corporate orisinal DBL, sekaligus salah satu kombinasi warna favorit saya.

Pada 2011, ada Yin Yang Ltd Azrul Edition. Sepatu ini bisa dibilang yang membuat “brand AZA” melejit. Warnanya kombinasi hijau dan putih. Satu, karena besar di Surabaya dan Jawa Timur, di mana tradisi olahraganya selalu berwarna hijau. Plus, almamater saya adalah California State University Sacramento, yang warnanya identik hijau.

Saya punya pengalaman seru soal Yin Yang ini. Mas Imam Nahrowi, Menteri Pemuda dan Olahraga yang juga dari Jawa Timur, ternyata pernah membeli dan mengenakannya. Alasan dia sangat bisa dimaklumi: Karena warnanya hijau…

Lalu pada 2012, muncul Hyper Drive 2 Low AZA. Warnanya hitam sembur ungu. Sumber inspirasinya: Sacramento Kings, tim basket favorit saya.

 

Semuanya selalu mendapat sambutan pasar yang baik. Selalu sold out, bahkan harus diproduksi ulang. “Sepatu edisi Azrul Ananda selalu menjadi produk yang ditunggu-tunggu,” kata Prajna saat rilis Hyper Drive 2 Low AZA dulu.

Pada saat ini, saya mulai terbiasa lihat nama dan tanda tangan saya pada sebuah sepatu, atau terpasang pada dinding gerai sportswear di berbagai mal.

Saya selalu merasa aneh. Karena walau saya suka olahraga dan bisa banyak olahraga, saya bukan pemain basket! Pemain NBA saja belum tentu punya sepatu sendiri. Pemain Indonesia saja belum ada, walau akan segera ada.

Mungkin, orang memberi respons positif karena semua produk itu dihasilkan berkat misi yang positif dan benar-benar dari hati. Karma?

 

Waktu berjalan. DBL terus berkembang. Saya bahkan punya pengalaman manis dan berharga menjadi commissioner liga basket nasional (NBL Indonesia) selama lima musim.

Saya menyadari, harus ada upaya ekstra untuk membuat basket semakin populer di Indonesia. Basket sudah populer. Tapi belum sepopuler yang diimpikan banyak penggemarnya.

Ya, DBL, tepatnya Honda DBL, sudah menjangkau hampir semua provinsi di Indonesia. Ya, peserta liga basket pelajar ini sudah lebih dari 40 ribu orang setiap tahunnya, dengan penonton di stadion lebih dari 1 juta orang per tahun.

Tapi, basket masih belum sebesar itu. Basket masih bisa jadi jauh lebih besar lagi. Itu berarti, partisipasinya harus ditingkatkan. Saya percaya, olahraga apa saja, kalau mau maju, harus terus bekerja keras untuk meningkatkan tingkat partisipasinya. Baik itu partisipasi sebagai peserta maupun menjadi penonton/penggemar.

Lalu saya dan teman-teman di DBL Indonesia, perusahaan anak muda dan olahraga, memikirkan faktor-faktor apa yang menghalangi partisipasi tersebut. Lalu, apa yang bisa kita lakukan untuk mendorong partisipasi tersebut.

Ternyata, untuk basket, salah satu kendala adalah sepatu.

Ya, di negara kita ini, harga sepatu basket bisa menjadi sebuah barrier. Sebuah penghalang. Apalagi kalau melihat pengalaman kami mengembangkan basket di luar Jawa.

Gayung bersambut. Kami bertemu partner baru. Tidak jauh-jauh. Sama-sama berpusat di Surabaya. Ardiles merupakan produsen sepatu terbesar Indonesia, namun mereka tidak pernah terjun di basket. Dengan pertemuan ini, ada dua organisasi, dari sisi yang berbeda, bertemu untuk mencapai tujuan sama.

Yaitu membuat sepatu basket yang berkualitas tinggi, keren, tapi dengan harga terjangkau. Untuk menghancurkan barrier penghalang, untuk memudahkan semakin banyak anak Indonesia bermain basket.

Pada 2017, kolaborasi DBL Ardiles ini melahirkan AZA 5. Warnanya hitam dominan, warna paling saya sukai ketika dulu masih sering main basket. Aksen kuning merupakan pengganti emas.

Kami menekankan, harga harus di bawah Rp 500 ribu sepasang. Ardiles mampu menjawabnya dengan harga spektakuler: Di bawah Rp 400 ribu!

Yes, ini dia jawaban untuk basket Indonesia!

 

Dan ternyata, sambutan pun heboh. Dari data yang kami punya, kami yakin AZA 5 adalah sepatu basket terlaris di Indonesia. Saya pergi ke kota-kota kecil di beberapa provinsi, saya bisa menemukan sepatu ini di toko-toko “tradisional” di pinggir jalan. Bangga rasanya, sekaligus puas karena misi penyebaran basketnya berjalan dengan baik.

Nah, sekarang, what’s next? Setelah AZA 5 apa?

Kami tidak pernah diam.

Tidak lama setelah AZA 5 dilepas ke pasaran, DBL Indonesia dan Ardiles langsung move on to the next projects. Lanjut berkolaborasi untuk AZA 6 serta sepatu-sepatu lain.

Misi untuk AZA 6 merupakan evolusi dari AZA 5. Satu, harga tetap harus terjangkau. Tetap di bawah Rp 500 ribu. Bahkan, semua sepatu kolaborasi DBL dan Ardiles harganya harus di bawah Rp 500 ribu.

Kedua, kualitas dan wearibility-nya harus naik kelas. Khusus untuk sepatu AZA 6, harus memiliki fungsi ekstra sebagai sepatu sehari-hari. Karena bagaimana pun, tidak semua orang/anak bisa atau mampu membeli lebih dari satu sepatu.

Dan tentu saja, harus tetap keren! Tetap harus memberi kebanggaan!

AZA 6 harus bisa mendorong lagi industri olahraga Indonesia, sambil terus mendorong partisipasi basket untuk berbagai kalangan. Sepatu ini juga akan didukung oleh seri-seri lain dalam kolaborasi DBL Ardiles, yang juga terus mengeksplore sisi-sisi lain basket Indonesia.

Karena Indonesia bisa.

Karena Indonesia HARUS bisa! (azrul ananda)

Komentar