IBL

Mawar yang layu biarlah mati kemudian, tetapi Derrick Rose menolak menjadi seperti mawar itu. Ia tetap bertahan dengan dirinya sendiri ketika orang-orang, termasuk saya, melihatnya tidak seindah dulu lagi. Rose terus percaya masih ada satu bagian darinya yang ingin terus merekah seperti mawar-mawar yang dipelihara dengan baik.

Derrick Martell Rose—begitulah nama lengkapnya—memiliki babad menarik dari kisah besar NBA yang penuh drama. Cerita hidupnya seolah menegaskan kembali slogan NBA tentang “Where Amazing Happens”—tempat di mana sesuatu yang luar biasa terjadi. Sementara Rose adalah keajaiban itu sendiri. Seseorang yang membuatnya menjadi sangat mungkin terjadi.

Bagaimana tidak menyebutnya sebagai sebuah keajaiban. Ketika orang-orang kebanyakan memilih mundur setelah mengalami nasib yang sangat, sangat buruk, Rose terus menghadapinya dengan tekad sekuat baja. Mau sedalam apa pun itu, ia tetap bisa bangkit berkali-kali dari kejatuhannya sendiri. Rose adalah bukti dari betapa kompleksnya manusia, dan oleh karena kerumitannya itu, ia bisa bertahan di antara kerasnya persaingan NBA.

Bagi saya—setidaknya—cerita Rose adalah cerita yang pelik. Ia sulit dipahami nalar manusia yang tidak kuat mental. Toh, bagaimana mungkin seseorang yang jatuh berkali-kali bisa bangkit berkali-kali pula? Apakah ada hal-hal tertentu yang membuatnya begitu?

Untuk memahami itu, mungkin, kita sebaiknya kembali pada rentetan masa yang membuat Rose menjadi Rose yang sekarang. Setidaknya dari situ, saya harap kita bisa menemukan sesuatu yang ganjil, sekaligus hebat, yang menjatuhkan dan membangkitkan Rose. Sebab, secara garis besar, tulisan ini memang ingin meceritakan tentang jatuh-bangun karirnya di NBA selama satu dekade.

2008

Chicago adalah kota besar di negara bagian Illinois, Amerika Serikat. Kota itu memiliki populasi terbesar ketiga di Negeri Paman Sam. Dan, di mana pun, kota-kota besar selalu memberi ujian hidup yang tidak kalah besarnya. Rose tentu mengetahui itu, terutama karena ia tinggal di South Side, sebuah daerah yang disebut-sebut paling berbahaya di Chicago.

Hidup di lingkungan yang berbahaya tentu tidak pernah mudah. Kendati demikian, lingkungan itu pulalah yang membuat Rose menjadi lebih waspada terhadap apa pun. Apalagi ia juga dikelilingi oleh keluarga yang protektif, terutama soal bakatnya di dunia basket. Merekalah yang sejak awal melindungi Rose dari kesialan-kesialan yang hendak mendekatinya. Mereka yang mengantarkan Rose sampai ke NBA dengan mengarahkannya lewat jalan yang benar. Sebab, saat itu, ada beberapa kasus yang membuat pemain muda berbakat dieksploitasi oleh agen-agen jalanan.

Pada akhirnya, berkat peran kelurganya, Rose bisa terpilih di NBA Draft 2008. Saat itu Chicago Bulls memilihnya di urutan pertama. Di sanalah kisahnya berawal.

2009  

Rose adalah talenta terbaik di tahun itu. Ia terpilih di urutan pertama bukan tanpa alasan. Bulls sangat tahu betapa potensialnya sang garda utama. Rose bahkan membuktikannya di musim perdana.

Kala itu, Rose masih berusia 20 tahun. Ia muda dan berbahaya, juga haus akan pembuktian. Bulls lantas memberikan banyak kesempatan untuknya di musim perdana (2008-2009). Saat itu, ia bermain sebanyak 81 kali (80 starter) dengan menit bermain mencapai 37 menit. Rose sedikitnya mencetak rata-rata 16,8 poin, 3,9 rebound, dan 6,3 asis per pertandingan. Dengan penampilan impresifnya, ia pun terpilih sebagai Rookie of the Year pada 2009.

2010

Setelah berhasil menyabet gelar ruki terbaik, Rose terus membuktikan dirinya sebagai pemain bintang. Meski sempat mengalami cedera engkel di gelaran pramusim, yang kemudian menganggunya di sepanjang November 2009, Rose ternyata bisa bangkit ketika cederanya sembuh sebulan kemudian. Permainannya bahkan meningkat sehingga ia pun terpilih sebagai pemain cadangan di tim NBA All-Star 2010. Rose adalah pemain Bulls pertama yang terpilih di jajaran itu sejak Michael Jordan melakukannya pada 1998.

2011

Sejak terpilih sebagai pemain All-Star, Rose tidak butuh waktu lama untuk menjadi pemain terbaik NBA. Di tahun ketiganya, ia langsung menyabet gelar Most Valuable Player (MVP). Rose pun menjadi pemain termuda yang pernah meraih gelar tersebut dalam sejarah NBA. Saat itu, usianya baru 22 tahun. Namun, Rose bisa menjadi MVP setelah menampilkan permainan impresif dengan mencetak rata-rata 25 poin, 4,1 asis, 7,7 rebound, dan 1 steal per pertandingan. Ia mengalahkan pemain-pemain seperti Dwight Howard (2), LeBron James (3), Kobe Bryant (4), dan Kevin Durant (5) dalam perebutan gelar itu.

2012

Untung tak bisa diraih, malang tak bisa ditolak. Setelah melalui musim terbaiknya di NBA, Rose harus mengalami kejatuhannya di playoff 2012. Saat itu, ia bermain melawan Philadelphia 76ers di pertandingan pembuka putaran pertama. Nahas, Rose yang berusaha melakukan lompatan malah melukai lututnya dengan cedera pada anterior cruciate ligament (ACL). Itu merupakan momok mengerikan bagi para atlet karena, bagaimanapun, cedera itu sudah banyak membuat karir atlet selesai. Rose bahkan harus menepi selama satu musim penuh pada 2012-2013 karena operasi dan pemulihan.

2013

Penantian Rose untuk kembali ke lapangan berakhir pada 5 Oktober 2013. Saat itu, Bulls harus menghadapi Indiana Pacers di pertandingan pramusim. Rose bermain pascacedera dengan start yang pelan, tetapi ia yakin dirinya telah sembuh. Ia pun membuktikannya di pertandingan kandang melawan Detroit Pistons. Saat itu, ia mencetak 22 poin plus satu kemenangan dan kebanggaan.

“Saya pikir saya jadi lebih eksplosif sekarang,” kata Rose saat itu kepada ESPN. “Bisa sampai ke ring. Saya pikir saya bisa menerima kontak fisik sedikit lebih baik. Dan selama saya melompat dengan benar, saya pikir saya bisa melompat lebih tinggi. Mereka menguji lompatan vertikal saya. Saya meningkatkannya sekitar lima inci.”

Dengan kepercayaan diri itu, Rose pun melaju ke musim reguler. Pada awalnya, semua tampa baik-baik saja. Namun, petaka rupanya tahu kapan harus muncul. Pada November 2013, Rose mengalami cedera meniskus di lutut kanannya. Ia membutuhkan operasi untuk memperbaiki lukanya. Bulls terpaksa merelakannya absen di sisa musim.     

2015

Pada 2014, Rose akhirnya bisa kembali ke lapangan. Ia sempat bermain sejak Oktober tahun itu sampai Februari 2015. Namun, cedera meniskus yang dialaminya pada 2013 itu kambuh sehingga ia memerlukan operasi lagi. Untungnya, Rose hanya perlu menepi selama empat minggu sampai akhirnya kembali ke pengkuan Bulls.

Saat itu, Rose berhasil membawa Bulls ke playoff. Mereka bahkan bisa menembus semifinal Wilayah Barat. Sayangnya, LeBron James dan Cleveland Cavaliers memupus harapan Bulls dengan menghajar mereka dengan rekor 4-2.      

2016

Setelah kalah dari Cavs di playoff pada 2015, Rose sempat bermain semusim lagi bersama Bulls. Namun, sama seperti musim-musim sebelumnya, di tahun itu ia juga mengalami cedera. Saat itu, ia harus mengenakan topeng akibat cedera retak tengkorak di sekitar wajahnya. Namun begitu, cedera itu tidak terlalu menggangunya karena Rose bisa bermain di 66 pertandingan (semuanya starter).

Kala itu, Rose mencetak rata-rata 16,4 poin, 3,4 rebound, dan 4,7 asis per pertandingan. Catatan itu lalu menjadi akhir karirnya bersama Bulls, karena tim asal Chicago itu menukarnya ke New York Knicks di akhir musim. Rose pun terpaksa harus pindah dengan tim barunya, tetapi tetap memiliki misi yang sama untuk menjadi yang terbaik dari yang terbaik. Ia sekali lagi ingin membuktikan dirinya belum habis meski telah mengalami cedera bertubi-tubi.

2017

Ketika membela Knicks, Rose sebenarnya sempat menunjukkan peningkatan. Saat itu ia bisa mencetak rata-rata 18 poin per pertandingan di musim reguler. Namun, ia selalu jatuh di tengah-tengah perjuangan. Rose mengalami cedera meniskus di lutut kiri, sehingga ia harus melakukan operasi serupa untuk keempat kalinya dalam sembilan tahun. Cedera itulah yang kemudian membuat Knicks melepasnya menjadi pemain bebas pada 2017.

Setelah dilepas Knicks, Rose harus menghadapi ketidakpastian. Apalagi saat itu para pandit juga mengira karirnya sudah habis. Namun, Cavs kemudian datang dengan kabar baik. Mereka tertarik merekrutnya selama setahun dengan nilai kontrak minimum untuk membantu LeBron James mengalahkan Golden State Warriors. Rose pun menerimanya.

Kendati demikian, sayang beribu sayang, ketika Rose pada akhirnya menerima pinangan Cavs, ia tetap belum bisa keluar dari masalah klasiknya di tengah jalan. Cedera selalu menjadi hantu yang bergentayangan dalam karirnya. Ketika ia berharap bisa bebas dari segala sakit, cedera justru selalu menghampirinya. Ia mengalami cedera engkel dan tulang belakang ketika liga baru berjalan sekitar satu bulan. Cedera itu lantas membuat frustasinya memuncak. Rose bahkan membutuhkan waktu sendiri untuk mengevaluasi karirnya. Ia pergi meninggalkan tim lebih dari dua minggu untuk berkontemplasi.

Di saat sulit itu, keluarga kembali menjadi hal paling berharga. Rose yang frustasi mendapat suntikan motivasi dari mereka. Keluarga tidak pernah meninggalkan Rose sehingga, setelah berkontemplasi selama lebih dari dua minggu, ia akhirnya menemukan jawabannya. Ia memutuskan kembali ke Cleveland untuk bermain bersama LeBron James lagi sambil memulihkan cederanya bersama staf medik Cavaliers.

2018

Di saat Rose sedang berusaha mengembalikan performanya, nasib ternyata membawanya ke arah lain. Pada Maret 2018, Cavs memutuskan untuk menukarnya ke Utah Jazz. Namun, tim asal Salt Lake City itu justru melepasnya dua hari kemudian. Rose belum sempat mengenakan seragam Jazz di pertandingan, sementara para pandit semakin yakin karirnya akan selesai.

Kendati begitu, prediksi para pandit ternyata salah lagi. Minnesota Timberwolves pada 8 Maret 2018 merekrutnya ke barisan tim asuhan Tom Thibodeau. Kebetulan Thibs—sapaan akrabnya—pernah menangani Rose di Bulls. Ia bahkan memiliki beberapa bekas pemain Bulls di rosternya seperti Jimmy Butler dan Taj Gibson. Kedatangan Rose menjadi semacam reuni.

Sekarang

Thibs menilai permainan Rose bersama Timberwolves cukup bagus sehingga ia memakainya lagi di 2018-2019. Di musim inilah sang garda kemudian membuktikan kebangkitannya. Setelah bermain di 23 pertandingan (5 starter), ia bisa mencetak rata-rata 18,3 poin, 3 rebound, dan 4,3 asis. Itu merupakan catatan terbaiknya selama delapan musim terakhir.

Di awal musim, Rose bahkan bisa mencetak 50 poin melawan Utah Jazz pada Oktober lalu. Itu menjadi semacam balas dendam kepada Jazz karena telah melewatkannya, sekaligus pembuktikan bahwa dirinya belum benar-benar habis. Rose selalu yakin ada masanya ia bisa kembali seperti dulu. Ketika ia hampir menyerah karena frustasi, ada sesuatu yang mendorongnya untuk bangkit lagi seperti sekarang ini. Ini bagai cerita dongeng yang berusaha menyakinkan orang bahwa “peri” itu ada—keajaiban itu ada. Rose telah membuktikannya sendiri dengan kerja keras.

Maka, jika melihat babad sejarahnya selama satu dekade, sebenarnya ada banyak hal yang bisa kita pelajari dari seorang Derrick Rose. Ada kerja keras; ada kepercayaan diri; ada manajemen emosi dan banyak hal lainnya. Namun, yang lebih penting dari semua itu, di balik rasa frustasinya, Rose ternyata memiliki mental pejuang yang tidak dimiliki semua orang. Kejatuhan telah menempanya sedemikian rupa hingga menegarkan hatinya sekuat baja. Ia memiliki tekad yang tidak bisa dikalahkan orang lain. Bahkan ketika orang-orang ragu, ia tetap maju. Ia bangkit, dan pada akhirnya membuat semua orang bertepuk tangan untuknya.

Semoga tepuk tangan itu bertahan selama-lamanya.     

Foto: NBA

Komentar