IBL

"Jangan bandingkan dana Rio dengan dana olahraga lain, karena konteksnya sudah berbeda. Kebanyakan olahraga lain butuh dana untuk bertahan hidup, mencetak atlet, dan berharap itu kemudian menghasilkan prestasi. Seperti medali emas SEA Games, Asian Games, atau bahkan Olimpiade. Prestasi itulah yang kemudian diklaim ’’mengharumkan nama bangsa’’."

Paragraf di atas adalah paragraf favorit saya dari tulisan kedua Azrul Ananda di bawah ini. Setelah tulisan pertama, tulisan kedua ini masih cukup signifikan dalam rangka euforia munculnya Rio di F1. Keteladanannya sudah tidak perlu diragukan lagi. Tinggal bagaimana kita (baca: pemerintah) memanfaatkan kesohoran Rio yang kini menjadi bagian dari sosok yang ditatap miliaran pasang mata dalam sembilan bulan ke depan.

Tulisan ini juga tampil di koran Jawa Pos edisi hari ini dengan judul “Rio untuk Prestasi atau Pariwisata?”.

Salam, Rosyidan, Editor.

-------

Rio untuk Pestasi atau Pariwisata?

Indonesia sudah punya duta di panggung kelas dunia. Ayo kita semua memikirkan, Rio Haryanto ini kendaraan untuk promosi apa?

***

Nuansa Indonesia sekarang sudah ada di dua ajang balap paling bergengsi di dunia.

Di arena MotoGP, walau tidak ada pembalap Indonesia, ada dua tim terbesar yang sokongannya banyak datang dari Indonesia (karena penghasilan perusahaan induknya banyak dari Indonesia.

Ada ’’Satu Hati’’ di Repsol Honda.

Ada ’’Semakin di Depan’’ di Yamaha.

Dua-duanya murni swasta, jadi tidak ada kegaduhan seperti yang terjadi untuk ajang balap satu lagi, yang sebenarnya lebih besar dan lebih global: Formula 1.

Di arena F1, Indonesia sekarang sudah menjadi ’’pemain’’. Punya pembalap kelas dunia beneran di sana, bernama Rio Haryanto.

Kita harus angkat topi kepada keluarga Rio, juga kepada keluarga-keluarga lain yang pernah –atau sedang– membawa anak mereka ke ajang balap internasional.

Karena itu ajang paling mahal untuk ditekuni. Butuh waktu lama. Dan andai punya uang segudang (sepulau) pun, belum tentu bisa lolos sampai ajang tertinggi. Baik karena minimnya kesempatan, atau karena ternyata bakat anaknya tidak cukup walau didorong pakai uang segudang (sepulau).

Saya tidak akan membahas banyak lagi soal apakah Rio layak masuk F1, karena sudah berkali-kali dibahas, dan dia SANGAT LAYAK secara talenta.

Lomba pertama di Melbourne akhir pekan lalu menambahkan satu lagi: Secara mental dia SANGAT LAYAK.

Saya juga tidak mau bicara terlalu banyak tentang uang yang dibutuhkan untuk mensponsori Rio masuk ke F1. Karena jumlahnya memang banyak, tapi sebenarnya tidak sebanyak itu.

Pihak manajemen, pihak keluarga, dan banyak pihak tulus lain sekarang sedang berusaha keras untuk memastikan Rio punya karir di F1. Dan banyak pihak tidak tulus juga sudah cawe-cawe mencari kesempatan.

Sekarang saya ingin membahas the next level-nya. Bagaimana kiprah Rio benar-benar punya manfaat untuk Indonesia.

Karena ini kesempatan yang belum pernah dimiliki Indonesia, dan mungkin tidak akan pernah lagi dimiliki Indonesia apabila Rio terhambat.

Selain berterima kasih kepada keluarga yang sudah berkorban begitu besar, kita juga harus mengangkat topi kepada Pertamina, yang mau menjadi sponsor Rio selama bertahun-tahun, termasuk tahun ini.

Ya, banyak yang bisa mengomel kalau sokongan dana Pertamina ’’tanggung’’. Walau ada juga yang bilang kalau sokongan dana Pertamina kebanyakan. Tergantung sudut pandangnya.

Kepada semua, ini harus ditegaskan: Jumlah dana yang dibutuhkan Rio untuk balapan semusim tidaklah besar kalau dibandingkan dengan uang yang berputar di F1 secara keseluruhan.

Membayar gaji Lewis Hamilton dan Fernando Alonso untuk setengah musim saja tidak cukup!

Secara pribadi, walau sangat senang ada orang Indonesia di F1, dan senang ada logo perusahaan Indonesia di mobil F1, saya merasa ada kesempatan yang terlewatkan.

Kesempatan untuk mempromosikan Indonesia secara lebih jelas.

Saya membayangkan, kalau mobil Manor yang dikendarai Rio bertulisan ’’Wonderful Indonesia’’, atau ’’Visit Indonesia’’, atau bahkan cukup ’’INDONESIA’’ saja.

Seperti ketika dulu Alex Yoong menjadi pembalap Malaysia pertama, di samping mobil Minardi-nya tertulis ’’Go KL’’ (Go Kuala Lumpur).

Mumpung ada pembalap Indonesia di F1, dan dia pembalap yang benar-benar pembalap F1.

Untuk eksposur, saya rasa tidak banyak olahraga lain, atau event lain, yang bisa mendapatkan perhatian global sebesar F1.

Dan tahun ini ada 21 lomba, terpanjang dalam sejarah. Mengunjungi semua benua (kecuali Afrika), dan ditayangkan ke sekitar 200 negara disaksikan oleh miliaran orang.

Biaya 15 juta euro? 20 juta euro? Kalau mau menghitung media eksposur, itu biaya kecil. Sekalian saja 25 juta euro supaya Rio dapat tim papan tengah. Tapi, itu tahun depan saja.

Tahun ini biar Rio belajar tenang dulu di tim papan bawah, seperti dulu yang dijalani Fernando Alonso, Ayrton Senna, dan banyak bintang lain.

Sebagai orang yang sering keliling, sedih juga mengetahui kenyataan bahwa negara Indonesia masih belum banyak dikenal. Padahal, penduduknya 250 juta. ’’Anda dari mana? Malaysia?’’ begitu saya sering disapa.

Mumpung ada Rio di F1, mobilnya bisa digunakan sebagai alat untuk menjembatani itu.

Dan harus terus diingatkan dan ditegaskan, memaksimalkan Rio masih jauh lebih murah daripada jalan yang dipilih negara lain.

Malaysia entah sudah habis berapa untuk membangun Sirkuit Sepang, lalu tiap tahun menggelar F1 dan MotoGP.

Tahun ini, Azerbaijan juga sudah punya sirkuit, dan akan dikunjungi F1. Ya ampun! Azerbaijan!

Jujur, walau pernah mendengar tentang ’’Azerbaijan’’, saya tetap harus melihat peta untuk mengetahui betul letaknya di mana.

Masak Azerbaijan bisa punya sirkuit F1 (biaya triliunan rupiah), dan bahkan membayar puluhan juta euro per tahun untuk dapat hak menyelenggarakan F1?

Mempromosikan Indonesia lewat Rio? Jauh lebih murah!

Ya, orang bisa dengan mudah bilang kalau tidak semudah itu memutuskan mendukung Rio. Ruwet, kata mereka. Saking ruwetnya, mereka bilang sampai ada lagunya.

Lagu apa? Mereka menjawab, yang baitnya berbunyi: ’’Itulah Indonesiaaaaa…’’

Saya rasa, secara political will, sekarang sudah ada kemauan untuk mendukung Rio (atau siapa pun yang mencapai level dunia) demi mempromosikan pula kejayaan Indonesia (emang kita jaya?). Buktinya, banyak petinggi yang kalau ditanya menjawab ’’kami mendukung’’.

Kalau hanya lip service, biarlah Tuhan yang membalas. Tapi, semoga saja tidak begitu.

Saya rasa, berkat gebrakan Rio menembus F1, sudah waktunya Indonesia punya plan (rencana) baru yang menggunakan olahraga untuk mempromosikan negara.

Gebrakan Rio ini bukan sekadar gebrakan olahraga. Gebrakan Rio itu adalah gebrakan manusia Indonesia dalam konteks yang jauh lebih luas.

Jangan bandingkan dana Rio dengan dana olahraga lain, karena konteksnya sudah berbeda. Kebanyakan olahraga lain butuh dana untuk bertahan hidup, mencetak atlet, dan berharap itu kemudian menghasilkan prestasi. Seperti medali emas SEA Games, Asian Games, atau bahkan Olimpiade. Prestasi itulah yang kemudian diklaim ’’mengharumkan nama bangsa’’.

Beda, Rio beda dengan itu.

Rio sudah berhasil menembus cabang yang levelnya setara dengan Olimpiade, dan eksposurnya melebihi Olimpiade.

Ada mantan pembalap internasional yang bilang: ’’Lebih sulit jadi pembalap F1 daripada menjadi astronot.’’

Bahkan, Wapres Jusuf Kalla sudah bilang: ’’Lebih sulit jadi pembalap F1 daripada menjadi presiden Indonesia.’’

Rio tidak butuh dana untuk bertahan hidup. Rio tidak butuh dana untuk mengejar prestasi. Dalam cabang balap, Rio sudah mencapai sesuatu yang belum pernah terjadi di Indonesia.

Justru Indonesia yang butuh segera berbuat, memanfaatkan gebrakan anak bangsanya ini, untuk mendapatkan manfaat yang lain.

Misalnya, menjadi platform bagi Pertamina untuk menjadi pemain dunia ala Petronas. Atau, menjadikan F1 sebagai alat promosi wisata yang total.

Bagaimanapun, mobil F1 tetap lebih keren dipasangi logo ’’Wonderful Indonesia’’ daripada taksi di London (silakan google).

Atau, untuk sustainability bintang kelas dunia masa depan, membuat program seperti di Kazakhstan. Di sana, seluruh BUMN-nya bersatu membentuk ’’Astana’’.

Lalu, dana patungan itu mereka gunakan untuk membentuk tim cycling kelas WorldTour bernama ’’Astana’’.

Tim itu mempromosikan negara, serta mempromosikan perusahaan-perusahaan negara yang ingin berkiprah secara global.

Setiap tahun, logo perusahaan yang ditampilkan beda-beda. Kadang maskapai negara, kadang perusahaan lain.

Sambil melakukannya, mereka memanfaatkan cycling untuk membina atlet-atlet Kazakhstan untuk menembus level dunia.

Azerbaijan, Kazakhstan, Malaysia. Semua sudah mengeluarkan entah berapa. Semua jauh lebih mahal daripada memanfaatkan gebrakan Rio berada di F1 tahun ini. Tapi, mereka punya plan, berani mengeksekusinya, dan saya yakin mendapatkan manfaatnya.

Toh, yang dibutuhkan Rio tergolong ’’uang kecil’’ kalau melihat skala eksposur-nya yang global. Kalau ternyata berhasil, siapa tahu benar-benar jadi platform yang baik ke depan.

Oh ya, satu lagi dampaknya: Indonesia akhirnya punya duta di tingkat global, dan itu memberikan perasaan berbeda bagi masyarakat.

Saya salut dan geleng-geleng kepala melihat betapa antusiasnya sambutan orang akhir pekan lalu. Ramai-ramai menonton Rio di televisi, dan ikut heboh di berbagai media.

Ada teman saya yang bilang: ’’Rasanya deg-degan seperti dulu sebelum nonton Ellyas Pical bertanding.’’

Wadow, zaman baheula banget itu!

Dan yang di sirkuit pasti akan merinding melihat sorakan penonton Indonesia. Bendera Indonesia bertebaran di banyak titik. Ketika lomba berakhir, saya melihat ada anak Indonesia, berbadan agak gemuk, berlari-lari masuk lintasan dengan mengenakan bendera Indonesia sebagai aksesori seperti sayap Superman.

Kapan lagi bisa melihat yang seperti itu? Benar-benar bikin merinding.

Ayo promosikan Indonesia lewat Rio Haryanto! Manfaatkan gebrakan Rio ini semaksimal mungkin! (*)

Foto oleh Bobby Arifin (Jawa Pos)

Komentar