IBL

Sudah 20 tahun berlalu sejak Vince Carter muncul di NBA sebagai seorang ruki (rookie). Sejak itu pula, kompetisi bola basket tersohor sedunia itu telah banyak berubah. Pemain-pemain baru bermunculan, pemain-pemain lama tersingkirkan. Generasi berganti dan terus diperbarui.

Jika generasi milenial dan yang lebih lama mengenal Carter sebagai seorang pemain hebat, generasi muda seperti generasi Z dan alpha sulit mengenalnya dengan cara yang sama. Mereka akan lebih mengenal pemain-pemain seperti Stephen Curry, James Harden, atau bahkan Lonzo Ball yang naik daun karena “mulut liar” ayahnya.

Di zaman ini, sulit menemukan seorang remaja mengatakan dirinya mengidolai Vince Carter—mustahil!  

Bagaimanapun, di usianya yang sudah tidak lagi muda (41 tahun), Carter bukanlah Carter yang dulu. Ia bukan pemain yang eksplosif seperti 1-2 dekade lalu. Kini, ia bukan lagi seorang pesaing melainkan pemain yang hampir kehabisan bensin. Musim lalu saja, misalnya, ia hanya mencetak rata-rata 5,4 poin (perolehan poin terendah selama karirnya), 2,6 rebound plus 1,2 asis dalam 58 pertandingan. Kemungkinan besar menit bermainnya akan menurun musim depan karena Hawks fokus mengembangkan darah muda.

Kendati demikian, dengan sisa bensinnya itu, Carter ingin terus berusaha membuktikan dirinya bisa bersaing dengan pemain-pemain yang lebih muda. Ia ingin menunjukkan hal itu kepada media, penggemar, dan orang-orang kejam seperti netizen yang mengatakan dirinya terlalu tua untuk berada di NBA.

“Namun, bagi saya, itulah tujuannya, untuk membuktikan bahwa saya bisa melakukannya,” ujar Carter, dikutip ESPN.

Carter boleh saja berusaha membuktikannya, tetapi pertanyaannya: apakah itu masih penting? Lagi pula, ucapan netizen ada benarnya. Carter rasanya memang sudah terlalu tua untuk mengimbangi pemain-pemain yang lebih muda. Bayangkan, apa yang akan terjadi jika Carter melawan Curry? Bagaimana seorang tua bisa melawan pemain yang sedang berada di masa jayanya? Jika ia ingin bersaing dengan pemain-pemain seperti itu, tubuhnya tidak akan kuat.  Apalagi, pada titik ini, Carter tidak mungkin mengejar gelar juara dan bersaing dengan klub seperti Golden State Warriors. Hawks bukan klub yang berpeluang besar untuk mengejar hal itu.

Maka, apa yang bisa ia lakukan dan rasanya lebih penting dari sekadar pembuktian?

Satu-satunya yang bisa ia lakukan untuk memanfaatkan sisa bensinnya adalah menjadi mentor yang baik bagi rekan-rekan di Atlanta.

Saat meneken kontrak dengan Hawks, Carter juga sebenarnya menyadari itu. Ia tidak lagi datang ke sebuah tim dengan tujuan yang sama (memenangkan kejuaraan). Kini, ia hanya bertugas membantu pemain muda seperti ruki Trae Young (20 tahun), pemain tahun kedua John Collin (21 tahun), dan Taurean Prince (24 tahun) untuk mengembangkan dirinya. Carter harus memastikan mereka, terutama Young yang bahkan belum lahir ketika Carter datang ke NBA, menjadi seorang profesional seutuhnya.

“Saya ingin mereka mengerti seberapa pentingnya mereka di sini,” kata Carter, seperti dikutip USA Today.

“Itu akan menjadi dasar mereka dalam menentukan peran apa yang akan mereka ambil beberapa tahun ke depan. Jadi, ya, setelah dua minggu, mungkin, kami akan kalah empat kali beruntun. Kalah itu melelahkan? Ayo, perbaiki masalahnya! Ayo, perbaiki pendekatan kita! Berjuang lebih keras,  apa pun masalahnya, itulah yang sedang kami ubah, yang mudah-mudahan bisa berubah.”

Selain gelar juara, Carter sebenarnya bukan tidak mendapat apa-apa selama 20 tahun. Ia telah merengkuh banyak hal dalam karirnya. Ia telah menjadi bintang di kompetisi ini dengan mencetak sedikitnya 24.868 poin selama karirnya (masih bisa bertambah), masuk ke jajaran NBA All-Star delapan kali, juga sukses meraih gelar Rookie of the Year pada 1999. Itu belum lagi dihitung dengan dua medali emas bersama tim nasional Amerika Serikat di Olimpiade 2000 dan FIBA Americas Champhionship 2003.

Di antara pemain Hawks musim 2018-2019, hanya Carter yang segemilang itu. Hanya Carter, yang dengan prestasi, bisa memotivasi pemain-pemain muda melakukan hal serupa—bahkan lebih.

“Dia membentuk pola pikir kami,” kata Prince. “Itulah yang dibutuhkan oleh kami, bagaimana naik dan turunnya liga, karena kami masih memiliki keluarga yang harus kami urus, kami memiliki kehidupan di luar lapangan. Dia bisa menjadi seseorang yang kami ajak bicara tentang itu. Dia sangat berpengalaman.”

Dengan demikian, daripada berusaha membuktikan diri untuk bersaing dengan pemain muda, agaknya menjadi mentor bagi rekan-rekannya adalah opsi terbaik yang bisa dipilih. Ketika ia mulai dilupakan zaman, sisa bensinnya bisa menambah daya bagi Hawks yang ingin membangun tim di sekitar pemain muda. Itulah yang mesti dilakukan Carter untuk memanfaatkan sisa karirnya: membangun peradaban yang lebih hebat dengan membagi pengalamannya.

Foto: NBA.com

Komentar