IBL

LeBron James, Golden State Warriors, dan insan bola basket NBA lainnya belakangan ini tampak berseteru dengan presiden Amerika Serikat, Donald Trump. Jika James menunjukkan sikap tidak sukanya kepada Trump lewat media sosial ataupun massa, Golden State Warriors lain lagi. Tim juara NBA 2017 itu menghindar dari Sang Presiden yang mengundangnya ke Gedung Putih. Alih-alih merayakan kemenangan bersama Presiden, Warriors justru mengunjungi Smithsonian National Museum of African-American History and Culture untuk merayakannya bersama warga Amerika Serikat.

Dengan melihat sikap-sikap itu, para insan basket NBA agaknya punya cara mereka masing-masing untuk “menegur” Trump. Begitu pun dengan Roger Waters. Musisi yang terkenal lewat band Pink Floyd ini membacakan sebuah puisi untuk ikut menegur Presiden.

Waters, 74 tahun, muncul dalam sebuah video di YouTube. Dalam video itu, ia membacakan puisi Mahmoud Darwish yang disebut "The Penultimate speech of the 'Red Indian' to the white man" untuk menegur keputusan Trump mengakui Jerusalem sebagai ibukota Israel. Video itu juga muncul bertepatan dengan 70 tahun Nakba, 700 ribu orang pelarian Arab Palestina yang terusir dari rumahnya selama perang.

Roger Waters mencoret tembok penghalang Israel-Palestina dengan cat semprot di Bethlehem pada 2006. Foto: Getty Images via Independent

 

Waters tidak sendirian ketika merekam video berjudul “Supremacy” tersebut di Paris dan London. Ia ditemani sekelompok musik asal Palestina, Trio Joubran. Mereka mengiringi suara Waters dengan alunan musik yang mendukung isi puisi.

“Sebenarnya, puisi ini menarasikan pidato terakhir pendudukan asli Amerika kepada orang kulit putih, tapi puisi itu juga berbicara untuk penduduk asli Palestina,” jelas Waters, seperti dikutip Rolling Stone, Rabu 14 Maret 2018. “Faktanya, puisi itu selalu relevan untuk semua korban kolonialisme di manapun.

Di video tersebut, wajah Waters—tampak kepalanya saja—muncul dengan warna hitam-putih; rambut berantakan dan brewok yang tebal. Mulutnya tidak berbicara sepatah katapun, kepalanya hanya bergerak sesukanya, tetapi suaranya membacakan puisi itu terdengar seiring musik berbunyi. Pesannya bermakna luas, lalu mengerucut pada satu hal tentang menegur Donald Trump.

Mereka menutup puisi itu dengan:

After the relics are gone

Where, oh white master, are you taking my people...

and yours?

Foto: Getty Images via Independent

Komentar