IBL

Perjalanan satu pekan DBL Camp 2023 yang digelar di Jakarta, tepatnya di GOR Soemantri Brodjonegoro meninggalkan kesan yang solid untuk saya. Kebetulan, selama satu pekan itu pula saya di sana setiap hari melihat para campers (sebutan untuk pemain) dan pelatih berinteraksi. 

Untuk gelaran tahun ini, DBL sendiri tidak main-main menghadirkan sosok pelatih. Selain keberadaan dua sosok senior yang hadir di tiap tahun, Andrew Vlahov dan Shane Froling, DBL juga mendatangkan sosok Mick Downer dan Michael Lake. Makailah Dyer juga kembali datang di tahun ini, di tengah persiapannya kembali bermain di liga profesional. 

Rasa penasaran saya semakin membumbung tinggi di gelaran tahun ini. Oh iya, ini jadi kali kedua saya hadir di DBL Camp sejak awal sampai akhir, melihat perjalanan pemain dan juga pelatih. Namun, rasa penasaran saya paling tinggi di musim ini. 

Perasaan ini muncul karena saya sempat membaca dan mendengar komentar mengenai DBL Camp. Meski memiliki pemilihan bahasa yang berbeda-beda, kurang lebih pendapat yang saya dengar adalah," DBL Camp menyajikan pelatihan yang gitu-gitu aja".

Pernyataan ini membuat saya bertanya-tanya, apa yang mereka maksud dengan pelatihan yang gitu-gitu aja tersebut? Apa pelatihan yang mereka bayangkan? Apa ekspektasi mereka saat mendengar dan menjalani DBL Camp?

                                       Michael Lake

Pasalnya, sejauh saya mengikuti perkembangan basket, satu hal yang utama di basket adalah repetisi. Pengulangan demi pengulangan yang membuat akhirnya kita sampai di titik terbiasa hingga bahkan menjadi luar biasa. Hematnya, basket memang gitu-gitu aja. 

Contohnya, membenarkan mekanisme gerakan menembak tak berarti langsung mendapatkan peningkatan akurasi tembakan. Membenarkan mekanisme gerakan memperbesar peluang kita untuk meningkatkan akurasi tembakan. Satu hal yang utama untuk meningkatkan akurasi ya latihan, repetisi. Stephen Curry tentu tidak jadi penembak sejago ini jika hanya latihan menembak 100 kali per hari. 

Melatih fundamental adalah hal yang paling utama untuk pengembangan basket. Fundamental di sini tentu ada levelnya masing-masing, ya serupa seperti kita sedang belajar mengenai hal-hal lainnya. Level pemula, sampai yang jagoan. 

Perbincangan saya dengan Michael Lake, pelatih pengembangan ketangkasan individu Adelaide 36ers menjelaskan sedikit banyak tentang hal ini. Fundamental butuh waktu panjang untuk latihan dan kebanyakan orang merasa cukup terlalu cepat. Penggunaan tangan kanan, tangan kiri, pergerakan kaki kanan, kaki kiri, pivot, rebound, memberi umpan, melantun bola, semuanya harus dikuasai lebih dulu sebelum bergerak ke level selanjutnya. 

Pun demikian, Lake juga menjelaskan bahwa kita tak bisa 24 jam berlatih fundamental. Pelajaran mengenai gim itu sendiri juga penting. Artinya, dua hal ini berjalan bersamaan, paralel, tapi terukur untuk pengembangannya. 

Makailah Dyer di kesempatan terpisah menjelaskan bahwa untuk mencapai level Divisi 1 NCAA Amerika Serikat dulu, ia butuh waktu berlatih dua jam tiap hari. Melatih hal yang gitu-gitu aja. Begitu sampai ke Divisi 1, tidak berkurang justru bertambah. Mak (sapan Makailah) justru berlatih tiga jam sehari. 

Tak berhenti di dua nama di atas, perbincangan saya juga berlanjut dengan Mick Downer. Tanpa kamera, saya berbincang kurang lebih 30 menit dengan sosok yang menjadi asisten pelatih Australia di Olimpiade 2016 Rio De Janeiro ini.

Saya coba mengulas lebih dalam, apa rahasia Australia bergerak maju menjadi negara peringkat tiga dunia di klasemen FIBA. Jawabannya pun sejatinya sederhana. Ya mereka menguatkan fundamental, yang artinya sekali lagi, latihan yang gitu-gitu aja. 

 

     Mick Downer di KFC DBL Camp 2023                                        Mick Downer

Pada awal 2000-an, Mick menjelaskan bahwa Australia menyadari mereka tak cukup bersaing hanya dengan postur semata. Mereka punya banyak pemain dengan tinggi menjulang, tapi tak cukup untuk bersaing. Akhirnya, federasi basket Australia membuat sebuah kurikulum yang mewajibkan untuk seluruh pemain muda Australia harus menjalankan latihan fundamental berdasarkan kurikulum tersebut. 

Hasilnya didapat sekitar 10 tahun kemudian saat Aron Baynes muncul. Menurut Mick, Baynes adalah bigman generasi pertama yang memiliki kemampuan fundamental komplet. Ia bisa melantun bola (dribble), menembak jarak jauh, dan menberi umpan dengan baik. Baynes pun lantas masuk menjadi bagian dari juara NBA bersama San Antonio Spurs 2014. 

Dari Baynes, Australia terus menelurkan nama-nama lain. Joe Ingles, Ben Simmons, hingga Josh Giddey muncul melalui kurikulum yang mereka kembangkan ini. Bicara gaya main, nama-nama ini pun bisa kita bilang serupa, all around. 

Hal ini pula yang dibawa mereka dalam setiap perjalanan DBL Camp dari tahun ke tahun. Penguatan fundamental yang memang tampaknya gitu-gitu aja. Namun, setelah dua tahun mengikuti DBL Camp ini, satu hal yang berbeda dari gitu-gitu aja versi mereka dan Indonesia adalah detail. 

Saya melihat sendiri bagaimana Shane Froling menunjukkan cara menangkap bola yang benar. Menangkap bola untuk kontrol ataupun menangkap bola untuk langsung ditembak (catch n shoot). Saya juga melihat bagaimana Andrew Vlahov yang pernah tampil di empat Olimpiade untuk Australia mengajarkan gerakan post move dengan cekatan. Mulai dari bagaimana pemain menerima bola, melihat situasi, hingga melakukan gerakan memutar, semua ia ajarkan dengan detail, tapi mudah dimengerti. 

Andrew Vlahov di KFC DBL Camp 2023                                      Andrew Vlahov 

Lantas dari sini, saya bertanya, bagaimana orang-orang di luar sana meragukan DBL Camp dengan ucapan latihan yang gitu-gitu aja? Padahal sangat jelas, latihan gitu-gitu aja alas Australia ini membawa mereka menjadi salah satu kekuatan dunia. Latihan gitu-gitu aja ala Australia ini menciptakan pemain-pemain NBA, pemain di level tertinggi dunia. 

Jika dari Anda masih kebingungan di sini dan bertanya, terus mengapa kita tak bisa mengikuti jejak Australia? Jawabannya adalah struktural. Pertama, latihan gitu-gitu aja Australia sudah melalui penggodokan kurikulum yang tepat, untuk negara mereka. Kedua, intensitas latihan yang juga terus terukur. Ketiga, kontinuitas bahwa pengembangan pemain tak boleh meloncati "tangga-tangga" yang harus mereka lalui. 

Tentunya ini tak serta-merta bisa diterapkan di Indonesia dengan 280 juta penduduk yang secara geografis terdiri dari pulau-pulau. Tantangannya jauh lebih kompleks dari Australia. Namun, selama tidak dicoba, tidak ada upaya ke sana, ya tidak akan berkembang. 

Terakhir, peran aktif dari pemerintah juga jadi kunci utama. Mick Downer menjelaskan bahwa semua pergerakan olahraga Australia datang dari kementerian olahraga mereka pada sekitar tahun 80-an saat Australia tak bisa bersaing di Olimpiade. Kemudian ada cetak biru panjang untuk pengembangan olahraga Australia yang terus dikembangkan ke cabang olahraga masing-masing. 

Mengulang beberapa pernyataan saya di artikel ataupun podcast sebelumnya, langkah pertama untuk berkembang adalah mengakui kekurangan. Australia tahu mereka kurang pada tahun 80-an dan berharap berkembang untuk puluhan tahun selanjutnya. Tidak ada yang instan, tidak ada yang gitu-gitu aja. 

Foto: DBL Indonesia

 

Komentar