IBL

Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah,” ucap Sukarno dalam suatu kesempatan pidato memperingati HUT Republik Indonesia yang ke-21.Kalimat itu kemudian terkenal dengan akronim:Jasmerah. Kini  dalam memperingati Hari Pahlawan (10 November), tidak sulit menemukan akronim atau kalimat sederhana itu, terutama di media sosial yang punya banyak akses dalam penyebarannya.

Seperti yang sudah ditetapkan sejak lama, sederhananya Hari Pahlawan tentu saja diperingati untuk mengenang pahlawan-pahlawan di negeri ini. Dalam pengertian yang sama-sama kita maklumi, pahlawan yang diperingati setiap setahun sekali itu adalah pahlawan yang bertempur mengusir penjajah di masa silam.Akan tetapi, seiring berjalan waktu semuanya menjadi bias pengertian.

Kini siapa saja bisa menjadi pahlawan. Dalam sebuah tayangan video yang diunggah kompas.com di salah satu pelantarnya pada 10 November 2016, seorang pemuda mengaku bahwa pahlawan baginya adalah ibunya sendiri. Oleh karena itu, kita tentu boleh saja memasukan nama atlet sebagai pahlawan. Karena tidak sedikit dari mereka bahkan sudah membela negeri ini. Mereka berjuang habis-habisan mengharumkan nama Indonesia.

Sebut saja tim nasional basket Indonesia di ajang SEA Games ke-28 di Singapura pada 2015 lalu. Senyum tersungging dan tangis bahagia menjadi penghias lain raihan positif tim putra dan putri Indonesia. Sejak terpuruk beberapa tahun ke belakang, tim nasional rupanya malah berhasil membawa medali perak sebagai suatu kebanggaan yang laik dibagikan.Meski pun ada pihak tidak tahu diri menyebutnya sebagai kegagalan. Sudahlah, tidak perlu kita sebutkan pihak mana itu.

Mario Wuysang dkk. atau Marlina Herawandkk. adalah sedikit nama dari apa yang bisa kita sebut sebagai pahlawan dari tim di tahun itu. Karena sebagian lainnya ternyata datang dari tahun-tahun yang sudah berlalu.Misalnya, legenda basket Indonesia yang satu ini. Pernahkah mendengar nama Sonny Hendrawan atau Liem Tjien Song?Itu loh seorang pria kelahiran Semarang, 21 Juni 1943? Pernah bermain selama 10 tahun untuk klub Sahabat Semarang? Pernah juga membawa nama Indonesia menjadi patut diperhitungkan, setidaknya di Asia? Tidak tahu?

Saya yakin tidak banyak yang mengetahuinya, terutama generasi milenial yang doyan mencari segala halnya di internet. Catatan tentang dirinya hampir tidak ada di sana. Rekam jejak karirnya hanya ada dalam beberapa artikel pendek. Itu pun tidak diketahui sumbernya dan laik diperdebatkan keabsahannya.

Misalnya lagi, seperti juga pernah ditulis Rosyidan dalam editorial Mainbasket edisi Juni 2015, ia tahu betapa hebatnya A.F Rinaldo, Fictor Gideon Roring, Ali Budimansyah, Tri Adnyanaadi Lokatanaya, dan Marlon Adirangga ketika menjadi pemain. Akan tetapi, pertanyaannya: apakah mereka sehebat itu? Tidak ada patokan yang jelas tentang hal ini. Tidak ada catatan, seperti statistik atau apapun, yang merujuk dan menunjukkan bahwa mereka hebat.

Dengan demikian, arsip sejarah basket Indonesia perlu diakui tidak cukup bagus. Meminjam istilah Zen Rachmat Sugito untuk sepak bola, basket Indonesia dan keberadaan catatan perkembangannya itu kelas gurem. Atau mungkin, lebih tepatnya kelas kurcaci?Sulit diterima memang, tapi ya sudahlah!

Setidaknya meski catatan-catatan perkembangan sebelum NBL Indonesia hampir tidak ada. Pada akhirnya dari waktu ke waktu segalanya diperbaiki pelan-pelan. Kini penggemar basket bisa mengakses situs resmi liga atau media (massa) lainnya untuk melihat catatan-catatan itu; tentang cerita-cerita di dalam maupun di luar lapangan, termasuk statistik pertandingan.

Dengan itu, kita bisa tahu raihan mesin poin Respati Ragil Pamungkas ketika bermain di Satya Wacana Salatiga. Kita bisa tahu mengapa Galank Gunawan disebut raja rebound.Bahkan kita bisa tahu jumlah kemenangan Pacific Caesar yang bisa dihitung dengan satu jari kaki.

Kita patut bersyukur keadaan sudah lebih baik, tapi masalahnya bukan itu. Basket Indonesia itu bukan soal tahun kemarin atau dua tahun lalu, kan? Basket Indonesia itu adalah sebuah proses panjang dengan sejarah yang sama panjangnya. Untuk belajar memahami seluk beluk dunianya, tentu saja diperlukan catatan-catatan dari masa silam.

Sayangnya, catatan-catatan itu sangat minim. Sehingga kita tidak bisa memahaminya dengan utuh. Apalagi negeri ini doyan menyetir sejarah dan mengubah sekehendak hati. Coba lihat apa yang dilakukan orang-orang dari rezim Orde Baru? Ya begitulah!Seolah-olah kebenaran sejarah itu bisa dipermainkan untuk menipu generasi baru.

Lalu bagaimana generasi milenial dan selanjutnya bisa mengamalkan Jasmerah yang sempat disinggung di muka? Sulit, sulit sekali rasanya. Namun, bukan tidak bisa. Selama ada upaya untuk menelusuri semuanya, pasti ada jalan untuk membuatnya nyata. Misalnya, sejak NBL Indonesia, catatan-catatannya cukup melimpah. Sehingga pada akhirnya, kita tahu siapa saja pahlawan-atlet kita yang berjuang untuk mengharumkan nama bangsanya.Bukan hanya melalui katanya, tapi buktinya.

Maka dari itu, munculnya media-media yang mau dan rajin membahas basket menjadi keuntungan tersendiri dalam merekam jejak olahraga ini. Kemunculan fotografer seperti Ben Chandra, Mei Linda, Yoga Prakasita, Tommy Julyanto, dan Hariyanto itu adalah sebuah anugerah. Dari mereka, momen-momen menjadi terabadikan lewat foto-foto. Dengan pelantar yang semakin berkembang, mereka punya lapak yang bebas untuk digunakan. Instagram, misalnya, menjadi salah satu solusi untuk mereka berbagi.

Tidak hanya dan tidak cukup tentang fotografer. Penulis-penulis yang saya kenal, seperti Rosyidan dan Tora Nodisa, juga bagian dari perkembangannya. Catatan-catatan basket Indonesia ada dan tersebar karena upaya mereka juga. Meski kadang tanpa apresiasi berlebih, mereka tahu ketika tulisan mereka dibaca, itu adalah sebuah apresiasi yang baik. Mereka, penulis dan fotografer itu, adalah bentuk pahlawan lain yang berguna bagi perkembangan basket Indonesia. Sehingga nantinya tidak ada lagi Sonny Hendrawan lainnya, pahlawan tanpa tanda bukti.

Foto: leganerd.com

Komentar