IBL

Sejak 2015, saya menulis setiap hari. Dalam bentuk tulisan panjang maupun ala kadarnya. Isinya beragam, tetapi tidak jauh tentang bola basket. Sebab, saya memang tidak pandai menulis hal lain.

Meski begitu, selama 4—5 tahun ini, bukan berarti saya tidak pernah absen. Ada dua momen yang membuat saya benar-benar tidak bisa menulis. Setelah dipaksakan sekalipun.

Momen pertama terjadi pada medio 2016. Saya mengalami patah hati terbesar dalam hidup. Penyebabnya banyak, tetapi biarkan saja tanpa detail. Tidak perlu diceritakan lebih dalam.

Momen kedua terjadi pada Senin pagi, 27 Januari 2020 lalu (Minggu, 26 Januari 2020 waktu Amerika Serikat). Saat Kobe Bryant dan anaknya yang bernama Gianna Maria-Onore, juga tujuh orang lainnya, mengalami kecelakaan udara di dekat Los Angeles, California. Mereka meninggal di tempat. Kabarnya sampai ke seluruh penjuru dunia. Orang-orang berduka seketika.

Saya menyebut kedua momen tersebut sebagai “unfortunate events”. Peristiwa-peristiwa malang yang membuat saya tidak bisa melakukan hal yang biasa saya lakukan.

Aneh rasanya, padahal saya bisa menulis lebih dari tiga tulisan per hari.

Untungnya, unfortunate events tersebut tidak berlangsung lama. Selalu ada sesuatu yang mendorong saya untuk menulis kembali. Dalam bentuk cerita-cerita ketertarikan manusia. Pada umumnya, berkaitan erat dengan bola basket.

Pada momen pertama, saya berusaha meyakinkan diri terlebih dahulu bahwa patah hati terbesar dalam hidup saya tidaklah lebih besar dari banyak hal di dunia. Saya memulainya dengan rajin membaca kisah-kisah, terutama di sekitar dunia bola basket, yang menginspirasi kehidupan banyak orang, supaya juga bisa menginspirasi diri sendiri.

Salah satu cerita hidup yang saya baca saat itu adalah tentang Kobe Bryant. Sebagai bintang besar, namanya patut masuk dalam daftar sosok yang kisahnya perlu saya ulik lebih dalam.

Saya mulai membuka Wikipedia yang berfungsi sebagai pengantar sekaligus pembimbing untuk masuk ke dalam kisah Sang Black Mamba. Sebab, saat itu, saya tidak tahu harus mulai dari mana kecuali Wikipedia.

Dari satu cerita, saya melompat ke cerita lainnya tentang Bryant. Begitu terus-menerus. Sampai ada ratusan artikel yang dibaca dalam sehari. Menceritakan tentang betapa besarnya nama Kobe Bryant.

Bryant besar karena bakat dan kerjas keras. Cenderung karena kerja keras, sebenarnya. Selama 20 tahun kariernya di NBA, Bryant memang terkenal seperti itu. Bahkan, dalam perjalanannya, muncul frasa “Mamba Mentality”, yang merujuk pada betapa kuatnya mental Sang Pemain dalam menghadapi segalanya.

Bryant adalah sosok yang tidak pernah mau kalah dari siapa pun. Suatu hari, ia pernah berkata, “Jika kamu melihatku bertarung dengan seekor beruang, berdoalah untuk si beruang.”

Bryant juga orang yang kompetitif. Paling kompetitif yang pernah saya tahu. Pada lain cerita, Jay Williams, pemain NBA yang kini menjadi analis, bertemu dengan Bryant di lapangan. Setelah berjam-jam latihan menembak, Williams akhirnya selesai, sementara Bryant justru tetap menembak. Williams menghampirinya, lalu bertanya, “Hei, Kobe, kok bisa kamu latihan begitu lama?” Kobe menjawab, “Karena aku melihatmu masuk dan aku ingin kamu tahu bahwa seberapa kerasnya kamu latihan, aku akan lebih keras darimu.”

Bryant biasa menghabiskan waktu sehari-hari dengan menempa diri menjadi lebih hebat lagi. Ia mampu menggunakan kesempatan-kesempatan dengan optimal. Dalam dua kata, mungkin hanya carpe diem (seize the day atau petiklah hari) yang berhak mewakilinya.

Carpe diem sendiri merupakan semacam aforisme Latin yang berasal dari alam pikiran seorang penyair Romawi bernama Quintus Horatius Flaccus. Pada kalimat lengkapnya (carpe diem, quam minimum credula postero), kata-kata tersebut bisa berarti: Petiklah hari dan percaya sesedikit mungkin akan hari esok.

Maksudnya, manusia dianjurkan hidup dengan memanfaatkan hari ini secara penuh. Tanpa menunda-menunda urusan untuk hari esok.

Setelah membaca kisah Bryant, saya pun mulai menanamkan aforisme carpe diem dalam pikiran sendiri. Meski tidak sepenuhnya, saya percaya bahwa hari ini adalah waktu yang tepat untuk menjadi lebih baik. Sebab, hari esok tidak selalu memberi jaminan.

Bryant—secara tidak langsung—menggerakan saya untuk menulis kembali. Hari demi hari berlalu. Sejak itu, saya tidak pernah berhenti menulis. Selalu ada yang bisa dituangkan setiap hari. Meski dalam bentuk yang pendek-pendek. Bahkan, seringkali sangat personal sampai tidak berani mengunggahnya ke dalam medium apa pun, lalu dihapus begitu saja setelah dibaca berkali-kali.

Sayangnya, momen yang membuat saya tidak menulis datang sekali lagi. Bryant—yang menggerakkan saya untuk menulis—mengembuskan nafas terakhirnya di Calabasas, tempat helikopter yang ditumpanginya jatuh, dan menewaskan total sembilan orang. Kepergiannya yang mendadak membuat saya terpukul. Padahal, sejujurnya, saya tidak begitu mengidolainya.

Lucunya, tidak hanya saya, banyak orang yang juga tidak begitu mengidolainya terpukul. Bahkan, ada yang sempat tidak percaya bahwa Bryant telah tiada. Nama besarnya tanpa disadari telah masuk ke dalam hati orang per orang. Ada sesuatu yang patah kala mengetahui ia mengalami peristiwa naas.

Pada akhirnya, saya memutuskan untuk tidak menulis apa pun saat hari meninggalnya Bryant. Bukan tidak ingin, tetapi tidak bisa. Untuk menulis hasil pertandingan NBA saja tidak mampu. Apalagi yang menyangkut tentang Bryant.

Sebagai penulis, saya boleh merasa gagal hari itu. Namun, saya langsung ingat momen pertama yang membuat saya tidak bisa menulis. Mungkin saya hanya butuh istirahat, sambil—sekali lagi—membaca cerita-cerita ketertarikan manusia yang dapat menginspirasi. Salah satunya, tentu saja, kisah Kobe Bryant, termasuk puisinya di The Players’ Tribune, yang kemudian diadaptasi menjadi film peraih Oscar berjudul “Dear Basketball”.

Pada akhirnya, saya bisa menulis lagi. Tidak berapa lama. Hanya libur sehari. Buktinya, tulisan ini muncul di sini. Sebagai sebuah penanda bahwa yang pernah jatuh bisa bangkit kembali. Meminjam kalimat Bryant, “You asked for my hustle, I give you my heart,” saya pun berencana untuk bersungguh-sungguh di bidang ini.

Foto: NBA

Komentar