IBL

Beberapa pelatih sering menganggap remeh statistik. Padahal statistik merupakan kumpulan fakta berbentuk angka yang mencerminkan performa pemain dan timnya. Analisis berdasarkan statistik bahkan semakin sering digunakan oleh klub-klub NBA. Dengan itu, klub dapat merencanakan, memahami, dan mengukur performa mereka berdasarkan fakta di lapangan—bukan asumsi yang terbangun dari subjektivitas.

Dalam bola basket, terdapat dua model pengukuran statistik, yaitu model bottom up dan top down.

Bottom Up

Pengukuran statistik model bottom up adalah pengukuran performa yang dibangun berdasarkan pencapaian individu. Model bottom up dapat ditemui dalam box score, kecuali plus-minus. Dengan metode bottom up, kita dapat mengukur statistik individu seperti poin, rebound, pelanggaran, dan sebagainya.

Model bottom up sendiri bukan tanpa cela. Ia jelas punya kekurangan. Model itu hanya mengukur pencapain statistik individu tanpa melihat kontribusi rekan-rekannya dalam menghasilkan pencapain tersebut. Misalnya, terdapat lawan yang gagal melakukan tembakan, lalu atlet A melakukan defensive rebound. Model bottom up akan mengukur pencapain atlet A dengan bertambahnya defensive rebound, tetapi tidak mengukur pencapaian rekan lain yang melakukan box out. Semua rekan yang berkontribusi dalam pencapaian statistik atlet A diabaikan.

Dalam melakukan evaluasi, jika hanya menggunakan satu kategori model bottom up, bisa membuat penilaian performa pemain menjadi bias. Sebagai contoh, pada Piala Presiden 2019, rata-rata produktivitas angka Nuke Tri Saputra lebih tinggi dibandingkan Sevly Victory Rondonuwu. Nuke memiliki rata-rata 16,5 angka, sedangkan Sevly memiliki rata-rata 16,3 angka.

Jika hanya dilihat dari produktivitas angka, performa Nuke akan lebih baik dibanding Sevly. Namun, ketika penilaian performa ditambahkan efektivitas tembakan, maka akan terlihat performa dari sudut pandang yang lain, sehingga tercipta penilaian performa yang lebih luas.

Top Down

Pengukuran statistik model top down adalah pengukuran performa yang dibangun dengan memperhitungkan pencapaian tim, dan akan berdampak langsung terhadap semua individu yang bermain bersama. Salah satu contoh model top down adalah plus-minus. Misalnya, atlet A dari tim Z dimainkan saat skor pertandingan masih 0-0. Kemudian, atlet A menghasilkan tembakan dua angka. Maka, seluruh rekan yang berada di lapangan akan mendapatkan +2.

Meski tampak menarik, model top down juga tentu punya kelemahan. Model ini bisa saja membuat kesalahan saat mengukur pencapaian statistik pemain dengan kemampuan tertentu. Misalnya, atlet A dengan kemampuan di bawah rata-rata bermain dengan empat rekan yang mempunyai kemampuan di atas rata-rata, maka atlet A akan kena getahnya dengan mendapatkan nilai plus-minus yang tinggi. Nilai itu didapat lantaran empat pemain lainnya tampil bagus.

Dalam buku yang dipublikasikan Stephen M. Shea dan Christopher E. Baker, dicontohkan pada musim kompetisi NBA periode 2012-2013, Mario Chalmers mengungguli Chris Paul dalam hal statistik plus-minus. Penyebab tingginya statistik plus-minus Chalmers adalah karena bermain dengan pemain hebat seperti LeBron James dan Dwayne Wade. Ketika performa Chalmers ditambahkan satu model lagi, yaitu bottom up, akan terlihat performa individu yang sebenarnya.

Oleh karena kedua model di atas mempunyai kelemahan, maka alangkah baiknya model-model itu digunakan bersamaan. Menggabungkan model bottom up dan metode top down diperlukan agar tercipta penilaian performa individidu yang lebih baik. Berkenalan dengan keduanya merupakan hal yang lebih penting lagi. Sebab, mengenal model-model pengukuran statistik bisa memperluas pengetahuan kita tentang bola basket.

Foto: Dika Kawengian

Komentar