IBL

Athalia Wynne Prastika, garda utama Stella Duce 1, melantun bola ke sisi lawan. Ia mempercepat lantunannya, kemudian tiba-tiba berhenti, dan mempercepatnya lagi untuk melewati penjagaan. Sesekali ia menusuk (drive) ke arah ring. Namun, lebih sering mengoper daripada mencetak angka.

Lawan pun kehilangan fokus. Mereka bingung memilih antara mengantisipasi gerakan menusuk Athalia atau operannya. Sebab, dua-duanya sama bahaya. Tusukan dan operan itu bisa berbuah poin.

Sabtu, 2 November 2019. GOR Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) juga hampir penuh sesak. Suara riuh rendah pendukung Stece—sebutan Stella Duce 1—terdengar ke seantero gelanggang. Athalia berada di tengah-tengah atmosfer Final Party Honda DBL D.I. Yogyakarta Series 2019.

Setiap kali mencetak poin, para pendukung semakin keras berteriak. Athalia dkk. bersemangat. Ia bahkan mengucapkan terima kasih atas dukungan siswi-siswi Stece yang berani naik ke atas tribun untuk menyemangati tim bola basketnya.

“Salut,” kata Athalia soal pendukungnya. “Kalau bukan karena mereka, kami tidak bisa di sini. Dukungan teman-teman di Stece sangat berarti. Mereka yang bikin atmosfer selama di DBL ini menjadi penuh semangat.’

Oleh karena dukungan itu pula, Athalia ingin menjadi “pelayan” terbaik. Sebagai seorang garda utama, ia berusaha berperan sebagai tangan kanan pelatih. Tugasnya menyalurkan bola kepada para eksekutor yang mendulang poin.

Kebetulan, atas kerja kerasnya, Athalia berhasil melakukan itu. Stece pun keluar sebagai juara. Kepala Pelatih Andreas Agus Arjatmoko senang bukan main. Apalagi itu merupakan gelar ketujuh Stece sejak mengikuti Honda DBL pertama kalinya. Ia memuji Athalia karena telah tampil mengesankan.

“Boleh dibilang, dia itu “pelayan” terbaik kami,” ujar Andreas usai Final Party. “Tugasnya melayani para eksekutor. Memang begitu. Ia lebih sering mengoper bola kepada teman-temannya agar bisa mencetak poin.”

Sebagai pemain yang sebenarnya mampu mencetak poin, Athalia menerima saja peran itu. Baginya, tim lebih penting dari nafsu pribadi. Lagipula, ia bisa sesekali mencetak poin saat kondisi memungkinkan. Tugas melayani dengan operan-operan bukan berarti tidak lebih mulia dari yang mencetak poin.

Selama satu musim kompetisi 2019, Athalia tampil dalam lima pertandingan, termasuk Final Party melawan SMAN 2 Yogyakarta. Ia mencetak rata-rata 5 poin, 6,2 rebound, 6 asis, dan 5 steal. Persentase tembakannya (FG%) rendah di angka 15 persen. Namun, Andreas sangat mempercayainya sebagai pengatur permainan. Athalia bisa bermain sampai 28 menit 28 detik per pertandingan.

“Saya sangat mengandalkannya,” ungkap Andreas. “Sebab, dia playmaker terbaik kami. Dia bisa mengatur serangan dengan baik. Operannya juga cukup bagus. Makanya saya suruh dia untuk oper, oper, oper. Fastbreak. Main cepat. Beberapa kali kami dapat poin dari sana.”

Athalia juga mengakui dirinya sebagai sosok penting di Stece. Namun, ia ingin tetap rendah hati karena bola basket bukan permainan orang per orang. Siswi kelas 12 itu tahu dirinya bisa sampai menjadi juara berkat teman-temannya juga.

Menurut Athalia, Stece telah bermain baik selama satu musim kompetisi, terutama di Final Party. Mereka mampu menjaga motivasi sejak awal. Apalagi lawannya adalah Smada. Athalia menilai mereka punya tekad untuk menumbangkan Stece yang dominan di Honda DBL.

“Mereka tidak punya satu pemain yang unggul, tetapi benar-benar hustle. Mereka mau berjuang untuk mengalahkan kami,” kata Athalia.

Meski akhirnya menjadi juara, Athalia mengaku perjalanannya tidak mulus. Ia ternyata sempat kesulitan juga. Mengingat perannya sebagai “pelayan” tim.

“Iya, kesulitan,” kata Athalia soal perannya. “Soalnya aku yang mengatur permainan. Kalau mentalnya jatuh, tim jadi kebingungan. Di pertandingan sebelumnya (Fantastic Four), mental kami sempat agak jatuh, jadi bingung.”

Tidak cukup di situ, Athalia punya kesulitan lain. Masalah luar lapangan seperti pendidikan juga kadang membuatnya harus bekerja ekstra. Sebagai pelajar sekaligus atlet, ia mesti pintar membagi waktu. Saat itulah ia belajar soal prioritas.

“Harus pintar bagi waktu memang. Kadang habis latihan, pulang malam, masih harus belajar dan mengerjakan tugas. Jadi, terpaksa tidur larut malam,” ujar Athalia.

Untungnya, siswi berusia 17 tahun itu selalu menemukan cara untuk bangkit. Ia sadar tujuan sehingga fokus saja ke sana. Athalia bahkan rela bekerja keras agar menjadi juara lagi tanpa mengesampingkan pendidikan.

Pada akhirnya, semua itu berbuah baik. Stece juara, Athalia masuk ke jajaran First Team. Itu merupakan sebuah penutup yang manis. (put)

Foto: DBL Indonesia

Komentar